HPP gula naik, konsumen merugi
A
A
A
Sindonews.com - Forum Industri Pengguna Gula (FIPG) apabila harga patokan petani (HPP) dinaikan menjadi Rp8.750 per kilogram (kg) dari Rp7.000 per kg. Pasalnya, kenaikan yang sekitar 25 persen itu dinilai bisa merugikan konsumen.
"FIPG tidak setuju menaikan HPP dengan tujuan melindungi petani gula. Menaikan HPP hanya memberi dampak negatif untuk konsumen, 230 juta penduduk, dan industri kecil serta rumah tangg," kata Ketua FIPG Franky Sibarani di Jakarta kemarin.
Menurutnya, setiap penentuan HPP gula, maka harga di tingkat ritel akan mengalami kenaikan.
"Naik Rp1.500 sebagai biaya distribusi dan margin pedagang. HPP Rp7.000 per kg, maka harga di ritel Rp8.500 per kg. Faktanya, harga saat ini sudah mencapai Rp9.000-Rp10.000 per kg," jelasnya.
Ketika HPP naik menjadi Rp8.500 per kg, maka harga di tingkat ritel bisa mencapai Rp10.250 per kg.
"Bukan industri mamin berskala kecil dan rumah tangga saja yang kesulitan, tapi juga konsumen pengguna," tegasnya.
Dia menjelaskan, gula menjadi bahan baku penting untuk industri makanan dan minuman, yakni sekitar 20-80 persen gula dari total bahan baku. Gula digunakan untuk produk biskuit atau kue serta manisan dan sirup yang banyak diproduksi di daerah-daerah.
"Sementara bahan baku industri makanan dan minuman dapat mencapai 50-60 persen dari biaya pokok produks," ucapnya.
Akibat dari kenaikan HPP gula, maka, kata dia, akan mendorong harga gula kristal putih (GKP) naik 25-35 persen di tingkat ritel menjadi sekitar Rp10.250-Rp11.000 per kg.
"Industi kecil dan rumah tangga yang menggunakan GKP akan 'mati' dan mengakibatkan meningkatnya pengangguran baru," paparnya.
Industri makanan dan minuman yang menengah besar, kata dia, mendapat jaminan gula dari produsen gula rafinasi. Sementara industri kecil dan rumah tangga, lanjutnya, masih banyak yang mengandalkan GKP sebagai bahan baku pemanis.
"Jumlah industri kecil dan rumah tangga makanan dan minuman sekitar satu juta yang mempekerjakan dua juta lebih pekerja dan empat kali lipat pekerja untuk sektor pendukung lainnya," jelasnya.
Dia menambahkan, FIPG meminta agar pemerintah tidak mempertahankan industri gula yang tidak effisien.
"GKP yang dihasilkan perusahaan gula BUMN kurang dari 50 persen tapi pemerintah setiap tahun harus memberikaan perlindungan terhadap perusahaan gula yang tidak efisien dengan cara menetapkan HPP. Perusahaan gula swasta yang menghasilkan GKP mendapat keuntungan dari kebijakan ini," tandasnya.
"FIPG tidak setuju menaikan HPP dengan tujuan melindungi petani gula. Menaikan HPP hanya memberi dampak negatif untuk konsumen, 230 juta penduduk, dan industri kecil serta rumah tangg," kata Ketua FIPG Franky Sibarani di Jakarta kemarin.
Menurutnya, setiap penentuan HPP gula, maka harga di tingkat ritel akan mengalami kenaikan.
"Naik Rp1.500 sebagai biaya distribusi dan margin pedagang. HPP Rp7.000 per kg, maka harga di ritel Rp8.500 per kg. Faktanya, harga saat ini sudah mencapai Rp9.000-Rp10.000 per kg," jelasnya.
Ketika HPP naik menjadi Rp8.500 per kg, maka harga di tingkat ritel bisa mencapai Rp10.250 per kg.
"Bukan industri mamin berskala kecil dan rumah tangga saja yang kesulitan, tapi juga konsumen pengguna," tegasnya.
Dia menjelaskan, gula menjadi bahan baku penting untuk industri makanan dan minuman, yakni sekitar 20-80 persen gula dari total bahan baku. Gula digunakan untuk produk biskuit atau kue serta manisan dan sirup yang banyak diproduksi di daerah-daerah.
"Sementara bahan baku industri makanan dan minuman dapat mencapai 50-60 persen dari biaya pokok produks," ucapnya.
Akibat dari kenaikan HPP gula, maka, kata dia, akan mendorong harga gula kristal putih (GKP) naik 25-35 persen di tingkat ritel menjadi sekitar Rp10.250-Rp11.000 per kg.
"Industi kecil dan rumah tangga yang menggunakan GKP akan 'mati' dan mengakibatkan meningkatnya pengangguran baru," paparnya.
Industri makanan dan minuman yang menengah besar, kata dia, mendapat jaminan gula dari produsen gula rafinasi. Sementara industri kecil dan rumah tangga, lanjutnya, masih banyak yang mengandalkan GKP sebagai bahan baku pemanis.
"Jumlah industri kecil dan rumah tangga makanan dan minuman sekitar satu juta yang mempekerjakan dua juta lebih pekerja dan empat kali lipat pekerja untuk sektor pendukung lainnya," jelasnya.
Dia menambahkan, FIPG meminta agar pemerintah tidak mempertahankan industri gula yang tidak effisien.
"GKP yang dihasilkan perusahaan gula BUMN kurang dari 50 persen tapi pemerintah setiap tahun harus memberikaan perlindungan terhadap perusahaan gula yang tidak efisien dengan cara menetapkan HPP. Perusahaan gula swasta yang menghasilkan GKP mendapat keuntungan dari kebijakan ini," tandasnya.
()