Negara gagal, Indonesia nyaris jatuh ke jurang!
A
A
A
Sindonews.com – Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral menyebutkan terdapat empat indikator bagi negara Indonesia mengapa disebut sebagai negara gagal. Yakni negara gagal memonopoli kekerasan dan tidak berwibawa dimana kelompok yang memegang peran memonopoli kekerasan, dengan ormas merajalela.
Selain itu, kata dia, negara juga gagal dalam hal pelayanan public seperti transportasi publik, listrik, maupun pembuatan KTP. Serta negara juga gagal menjalankan politik luar negeri dan masalah perbatasan. Negara juga gagal dalam memperoleh legitimasi keputusan.
“Misalnya soal jaminan sosial dimana kepercayaan rakyat merosot, kenaikan pajak membuat wajib pajak takut bayar pajak takut dikorup, dalam konteks Indonesia berada di posisi 63 dari 180 negara gagal, Indonesia belum gagal tapi di tepi jurang, nyaris jatuh dan gagal, dari kacamata kita sebagai pengamat keempat indikator itu belum maksimal dilakukan pemerintah,” ujarnya, kemarin.
Semestinya, lanjut suami politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka itu, pemerintah atau eksekutif bisa lebih baik dalam menjalankan tugasnya. Sebab Indonesia memiliki banyak keunggulan dalam hal Sumber Daya Alam, jumlah penduduk dan letak geografis.
“Kalau mencari yang salah semuanya salah eksekutif yang pertama kali harus disalahkan, baru bisa ditelusuri mungkin penyebabnua karena legislatifnya kurang pengawasan, tapi memang masih ada harapan, saya kira memikirkan ulang tentang rezim sekarang bahwa Indonesia indeksnya tahun 2011, 2012 tak banyak berubah, artinya harus bisa lebih baik, ini sudah indanger, nyaris,” tegasnya.
Ia mencontohkan kegagalan negara dalam mengendalikan kekerasan sudah gagal dengan banyaknya muncul ormas anarkis, terutama peran aparat yang seharusnya mempunyai otoritas yang tegas mengatasi itu. Serta pelayanan publik pun harus bisa lebih baik lagi serta memperbaiki tatanan kerjasama internasional dan juga negara tetangga.
“Pembuatan KTP harus cepat, listrik enggak padam, polisi harus tangkap kelompok ormas yang bakar sejumlah tempat vital, dan jangan ada kekerasan dalam pendirian rumah ibadah, kekerasan hanya negara yang berhak mengendalikan, namun saat ini banyak kelompok merasa negara ini adalah negara milik mereka, tanpa ada kendali,” tukasnya.
Selain itu, kata dia, negara juga gagal dalam hal pelayanan public seperti transportasi publik, listrik, maupun pembuatan KTP. Serta negara juga gagal menjalankan politik luar negeri dan masalah perbatasan. Negara juga gagal dalam memperoleh legitimasi keputusan.
“Misalnya soal jaminan sosial dimana kepercayaan rakyat merosot, kenaikan pajak membuat wajib pajak takut bayar pajak takut dikorup, dalam konteks Indonesia berada di posisi 63 dari 180 negara gagal, Indonesia belum gagal tapi di tepi jurang, nyaris jatuh dan gagal, dari kacamata kita sebagai pengamat keempat indikator itu belum maksimal dilakukan pemerintah,” ujarnya, kemarin.
Semestinya, lanjut suami politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka itu, pemerintah atau eksekutif bisa lebih baik dalam menjalankan tugasnya. Sebab Indonesia memiliki banyak keunggulan dalam hal Sumber Daya Alam, jumlah penduduk dan letak geografis.
“Kalau mencari yang salah semuanya salah eksekutif yang pertama kali harus disalahkan, baru bisa ditelusuri mungkin penyebabnua karena legislatifnya kurang pengawasan, tapi memang masih ada harapan, saya kira memikirkan ulang tentang rezim sekarang bahwa Indonesia indeksnya tahun 2011, 2012 tak banyak berubah, artinya harus bisa lebih baik, ini sudah indanger, nyaris,” tegasnya.
Ia mencontohkan kegagalan negara dalam mengendalikan kekerasan sudah gagal dengan banyaknya muncul ormas anarkis, terutama peran aparat yang seharusnya mempunyai otoritas yang tegas mengatasi itu. Serta pelayanan publik pun harus bisa lebih baik lagi serta memperbaiki tatanan kerjasama internasional dan juga negara tetangga.
“Pembuatan KTP harus cepat, listrik enggak padam, polisi harus tangkap kelompok ormas yang bakar sejumlah tempat vital, dan jangan ada kekerasan dalam pendirian rumah ibadah, kekerasan hanya negara yang berhak mengendalikan, namun saat ini banyak kelompok merasa negara ini adalah negara milik mereka, tanpa ada kendali,” tukasnya.
()