Ekonom: Redenominasi rupiah hanya ilusi
A
A
A
Sindonews.com - Program penyederhanaan nilai mata uang (redenominasi) yang dicanangkan dan telah disosialisasikan pemerintah, menimbulkan penafsiran berbeda dari pakar ekonomi. Redenominasi dinilai hanya sebuah ilusi yang dilakukan moneter perbankan tanpa adanya substansi.
Hal itu dikatakan Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Ma'ruf saat diskusi terbatas di Fakultas Ekonomi UMY, Jumat (25/1/2013). Menurut Ma’ruf, kebijakan yang dibuat pemerintah dan Bank Indonesia (BI) ini hanya kegiatan yang bersifat 'lips service'.
"Kebijakan ini bukan kebijakan substantif. Tapi lebih pada atribut saja, biar kelihatannya uang kita gagah, seperti di negara-negara lain. Kebijakan redenominasi dilakukan hanya untuk menutupi kelemahan yang menjadi tanggung jawab BI," ungkap dia.
Menurutnya, untuk menutupi kelemahannya, BI mengeluarkan kebijakan yang seolah-olah bagus. Padahal, tidak memiliki substansi sama sekali. Dia juga mencurigai adanya potensi untuk terjadinya ancaman berbahaya dari sisi moral dalam kebijakan redenominasi.
Selain itu, Ma'ruf juga menduga akan ada penggelontoran dana yang tidak kecil untuk proyek BI tersebut. Belum lagi, dipastikan akan ada upaya penunggangan oleh kebijakan-kebijakan pragmatis atau aksi-aksi pragmatis lainnya.
"Ini sangat berbahaya. Kebijakan yang harusnya bersifat privatisasi ini, ternyata ada orang-orang tertentu yang diuntungkan dengan privatisasi tersebut. Saya khawatir, hal ini kemungkinan besar bisa terjadi dalam proyek redenominasi itu. Apalagi saat ini sudah menjelang pemilu 2014," imbuh dia.
Ma'ruf mengungkap, masayarakat mungkin senang adanya redenominasi ini, karena melihat uang yang awalnya Rp10 ribu menjadi Rp10. Tetapi, kebanggaan itu hanya kebanggaan semu. Kebanggaan sebenarnya, baru bisa dirasakan masyarakat Indonesia jika nilai tukar rupiah baik, tidak seperti sekarang ini.
"Jadi, masyarakat harus cerdas dalam mengkritisi ini. Saya menyarankan pada BI agar lebih memfokuskan diri pada masalah pengendalian inflasi dan perbaikan nilai tukar rupiah," katanya.
Hal itu dikatakan Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Ma'ruf saat diskusi terbatas di Fakultas Ekonomi UMY, Jumat (25/1/2013). Menurut Ma’ruf, kebijakan yang dibuat pemerintah dan Bank Indonesia (BI) ini hanya kegiatan yang bersifat 'lips service'.
"Kebijakan ini bukan kebijakan substantif. Tapi lebih pada atribut saja, biar kelihatannya uang kita gagah, seperti di negara-negara lain. Kebijakan redenominasi dilakukan hanya untuk menutupi kelemahan yang menjadi tanggung jawab BI," ungkap dia.
Menurutnya, untuk menutupi kelemahannya, BI mengeluarkan kebijakan yang seolah-olah bagus. Padahal, tidak memiliki substansi sama sekali. Dia juga mencurigai adanya potensi untuk terjadinya ancaman berbahaya dari sisi moral dalam kebijakan redenominasi.
Selain itu, Ma'ruf juga menduga akan ada penggelontoran dana yang tidak kecil untuk proyek BI tersebut. Belum lagi, dipastikan akan ada upaya penunggangan oleh kebijakan-kebijakan pragmatis atau aksi-aksi pragmatis lainnya.
"Ini sangat berbahaya. Kebijakan yang harusnya bersifat privatisasi ini, ternyata ada orang-orang tertentu yang diuntungkan dengan privatisasi tersebut. Saya khawatir, hal ini kemungkinan besar bisa terjadi dalam proyek redenominasi itu. Apalagi saat ini sudah menjelang pemilu 2014," imbuh dia.
Ma'ruf mengungkap, masayarakat mungkin senang adanya redenominasi ini, karena melihat uang yang awalnya Rp10 ribu menjadi Rp10. Tetapi, kebanggaan itu hanya kebanggaan semu. Kebanggaan sebenarnya, baru bisa dirasakan masyarakat Indonesia jika nilai tukar rupiah baik, tidak seperti sekarang ini.
"Jadi, masyarakat harus cerdas dalam mengkritisi ini. Saya menyarankan pada BI agar lebih memfokuskan diri pada masalah pengendalian inflasi dan perbaikan nilai tukar rupiah," katanya.
(izz)