BPR dituntut tingkatkan efisiensi
A
A
A
Sindonews.com - Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dituntut tingkatkan efisiensi serta memperbesar serapan dana masyarakat menghadapi persaingan bisnis keuangan.
Demikian dikemukakan Ketua DPP Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo) Joko Suyanto pada Seminar Penguatan Lembaga BPR untuk Pengembangan Ekonomi Jawa Barat yang Berdaya Saing di Hotel Savoyy Homan, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Senin (1/7/2013).
Menurut dia, evisiensi BPR menjadi tuntutan pasca kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang diprediksi berimbas pada kenaikan biaya operasional. Kondisi tersebut berpotensi penaikan suku bunga kredit yang dipastikan akan semakin membebani masyarakat.
"BPR harus melakukan langkah efisiensi. Kenaikan BBM diharapkan tidak memberi impak risiko yang memburuk atas kredit BPR. Di hilir harus ada penyelamatan kredit apabila ada masalah yang muncul," jelas Joko.
Di hulu, Portopolio BPR juga mesti terjaga dengan mengedepankan prinsip prudensial pada kondisi baik. Diakui dia, secara nasional, nilai kredit BPR mencapai Rp55 triliun dengan plafon rata rata Rp16 juta/debitur. Sayangnya, rasio kredit macet (nonperforming loan /NPL) BPR masih di atas 5,1 persen dan cenderung meningkatkan pada pertengahan tahun ini.
Belum lagi, lanjut dia, sekitar 10 persen modal kerja BPR berasal dari kredit lingkage atau sekitar Rp10 triliun. Artinya, BPR harus menanggung risiko bunga dari perbankan peminjam. Sementara ini, suku bunga linkage pada posisi 10-12 persen. Artinya, BPR mesti mematok suku bunga kredit lebih tinggi dari suku bunga perbankan peminjam.
Perbankan dan BPR, mestinya menjadi mitra dalam pengembangan keuangan keuangan. "Harapan kita, perbankan bisa lebih kompetitif memberikan bunga kredit linkage agar BPR bisa lebih ekspansif," jelas dia.
Demikian dikemukakan Ketua DPP Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo) Joko Suyanto pada Seminar Penguatan Lembaga BPR untuk Pengembangan Ekonomi Jawa Barat yang Berdaya Saing di Hotel Savoyy Homan, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Senin (1/7/2013).
Menurut dia, evisiensi BPR menjadi tuntutan pasca kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang diprediksi berimbas pada kenaikan biaya operasional. Kondisi tersebut berpotensi penaikan suku bunga kredit yang dipastikan akan semakin membebani masyarakat.
"BPR harus melakukan langkah efisiensi. Kenaikan BBM diharapkan tidak memberi impak risiko yang memburuk atas kredit BPR. Di hilir harus ada penyelamatan kredit apabila ada masalah yang muncul," jelas Joko.
Di hulu, Portopolio BPR juga mesti terjaga dengan mengedepankan prinsip prudensial pada kondisi baik. Diakui dia, secara nasional, nilai kredit BPR mencapai Rp55 triliun dengan plafon rata rata Rp16 juta/debitur. Sayangnya, rasio kredit macet (nonperforming loan /NPL) BPR masih di atas 5,1 persen dan cenderung meningkatkan pada pertengahan tahun ini.
Belum lagi, lanjut dia, sekitar 10 persen modal kerja BPR berasal dari kredit lingkage atau sekitar Rp10 triliun. Artinya, BPR harus menanggung risiko bunga dari perbankan peminjam. Sementara ini, suku bunga linkage pada posisi 10-12 persen. Artinya, BPR mesti mematok suku bunga kredit lebih tinggi dari suku bunga perbankan peminjam.
Perbankan dan BPR, mestinya menjadi mitra dalam pengembangan keuangan keuangan. "Harapan kita, perbankan bisa lebih kompetitif memberikan bunga kredit linkage agar BPR bisa lebih ekspansif," jelas dia.
(gpr)