Ini faktor harga daging bertahan tinggi
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengatakan, sejak H-2 Lebaran, harga daging sapi bertahan pada kisaran Rp100 ribu sampai Rp120 per kilogram (kg).
Menurutnya, upaya pemerintah menekan harga ke titik normal pada kisaran Rp80 ribu per kg belum berhasil, meski sudah menambah kuota impor hingga ribuan ton melalui Bulog serta impor sapi bakalan siap potong, belum mampu menstabilkan harga.
Dia menuturkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan harga daging tidak bisa secara drastis ke titik normal. Pertama, psikologi pasar yang belum pulih di mana hampir 1,5 tahun ketersediaan stok daging sapi diambang ketidakpastian.
"Pemerintah dalam hal ini selalu menjamin bahwa daging lokal akan mampu menyuplai kebutuhan pasar. Pada kenyataan tidak terbukti, sehingga harga gejolak daging semakin tidak menentu," ujar dia dalam rilisnya, Rabu (7/8/2013).
Kedua, kata dia, pemerintah telambat mengantisipasi kebutuhan daging sapi menjelang Lebaran. Pemerintah bertindak setelah pada hari ke tiga Ramadan. Di mana harga daging sapi sudah menembus Rp120 ribu per kg. Penambahan kuota impor yang didatangkan secara bertahap tidak memiliki dampak signifikan menekan harga.
"Karena kedatangannya tidak sekaligus, di sisi lain pasar membutuhkan pasokan yang besar untuk memenuhi demand yang begitu tinggi. Termasuk kedatangan sapi bakalan siap potong juga sudah terlalu mepet, sehingga tidak bisa didistribusikan secara merata," terangnya.
Seharusnya, kata Sarman, tiga bulan sebelum Ramadan pemerintah sudah melakukan evaluasi kebutuhan daging dan yang paling penting sumbernya daging tersebut. Sehingga, jika daging lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar makan alternatif daging impor dapat dilakukan. Maka, stok tersedia sebelum Ramadan.
Ketiga, lanjut dia, Bulog dalam melaksanakan operasi pasar kurang, karena awalnya melalui pasar tradisional yang mengganggu para pedagang daging. Bahkan, sempat muncul isu bahwa daging impor tidak halal dan tidak berkualitas yang membuat masyarakat enggan membeli daging impor.
"Walaupun isu itu sebenarnya tidak benar. Seharusnya Bulog melakukan operasi pasar langsung ke pemukiman masyrakat, melalui kecamatan atau kelurahan," kata Sarman.
Menurutnya, upaya pemerintah menekan harga ke titik normal pada kisaran Rp80 ribu per kg belum berhasil, meski sudah menambah kuota impor hingga ribuan ton melalui Bulog serta impor sapi bakalan siap potong, belum mampu menstabilkan harga.
Dia menuturkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan harga daging tidak bisa secara drastis ke titik normal. Pertama, psikologi pasar yang belum pulih di mana hampir 1,5 tahun ketersediaan stok daging sapi diambang ketidakpastian.
"Pemerintah dalam hal ini selalu menjamin bahwa daging lokal akan mampu menyuplai kebutuhan pasar. Pada kenyataan tidak terbukti, sehingga harga gejolak daging semakin tidak menentu," ujar dia dalam rilisnya, Rabu (7/8/2013).
Kedua, kata dia, pemerintah telambat mengantisipasi kebutuhan daging sapi menjelang Lebaran. Pemerintah bertindak setelah pada hari ke tiga Ramadan. Di mana harga daging sapi sudah menembus Rp120 ribu per kg. Penambahan kuota impor yang didatangkan secara bertahap tidak memiliki dampak signifikan menekan harga.
"Karena kedatangannya tidak sekaligus, di sisi lain pasar membutuhkan pasokan yang besar untuk memenuhi demand yang begitu tinggi. Termasuk kedatangan sapi bakalan siap potong juga sudah terlalu mepet, sehingga tidak bisa didistribusikan secara merata," terangnya.
Seharusnya, kata Sarman, tiga bulan sebelum Ramadan pemerintah sudah melakukan evaluasi kebutuhan daging dan yang paling penting sumbernya daging tersebut. Sehingga, jika daging lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar makan alternatif daging impor dapat dilakukan. Maka, stok tersedia sebelum Ramadan.
Ketiga, lanjut dia, Bulog dalam melaksanakan operasi pasar kurang, karena awalnya melalui pasar tradisional yang mengganggu para pedagang daging. Bahkan, sempat muncul isu bahwa daging impor tidak halal dan tidak berkualitas yang membuat masyarakat enggan membeli daging impor.
"Walaupun isu itu sebenarnya tidak benar. Seharusnya Bulog melakukan operasi pasar langsung ke pemukiman masyrakat, melalui kecamatan atau kelurahan," kata Sarman.
(izz)