Industri Indonesia harus bangun keunikan
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat perindustrian dari Alomet & Friend, Mathiyas Thaib mengkhawatirkan masa depan sektor industri di Indonesia. Menurutnya, APEC dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bukan hanya peluang tetapi juga ancaman.
“Kalau tidak hati-hati, Indonesia bisa terjebak sekedar menjadi pasar bagi produk-produk asing. Beberapa tahun ke belakang gejala-gejalanya sudah terlihat,” ungkap mantan ketua Ikatan Sarjana dan Master Teknik Industri Indonesia (ISTMI) ini dalam rilisnya, Senin (19/8/2013).
Menurut Mathiyas, produk-produk Indonesia masih kurang kompetitif di pasar global. Apalagi kebijakan fiskal dan moneter terkesan kontraproduktif. Suku bunga kredit yang tinggi, menjadi salah satu indikator. Belum lagi adopsi teknologi yang terseok-seok.
“Untuk dapat bersaing, industri Indonesia harus membangun keunikan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia harus mampu merancang dan melaksanakan proses kerja yang tidak mudah ditiru pesaingnya. Jadi bukan hanya pencitraan atau jurus-jurus marketing,” lanjut pemilik sertifikat Project Management dari Project Styrning Institute, Stockholm, Swedia ini.
Mathiyas mencontohkan industri di China. Korporasi di negeri tirai bambu itu menargetkan diri sebagai produsen produk-produk bagi masyarakat kelas menengah-bawah. Pasalnya kalangan ini mencapai 68 persen dari total penduduk dunia. Lagipula pasar ini belum tergarap, karena industri Eropa dan AS berfokus pada masyarakat kelas atas.
“Dengan keunggulan ini, korporasi China merambah industri-industri mass-market, termasuk industri high-tech dan specialty. Inilah yang disebut keunikan yang tidak bisa ditiru oleh industri Eropa dan AS. Ini yang disebut daya saing sejati,” tegasnya.
Ke depannya, Mathiyas mengharapkan adanya sinergi antara pemerintah dan pelaku industri tanah air. Pemerintah wajib memberlakukan kebijakan-kebijakan yang pro industri domestik. Tetapi para pelaku industri juga harus melakukan continues improvement melalui inovasi proses.
“Konsumen kita sudah cerdas. Mereka mengejar faster, cheaper, better. Jadi produk-produk kita ke depan harus berorientasi ke sana, kepada konsumen,” pungkasnya.
“Kalau tidak hati-hati, Indonesia bisa terjebak sekedar menjadi pasar bagi produk-produk asing. Beberapa tahun ke belakang gejala-gejalanya sudah terlihat,” ungkap mantan ketua Ikatan Sarjana dan Master Teknik Industri Indonesia (ISTMI) ini dalam rilisnya, Senin (19/8/2013).
Menurut Mathiyas, produk-produk Indonesia masih kurang kompetitif di pasar global. Apalagi kebijakan fiskal dan moneter terkesan kontraproduktif. Suku bunga kredit yang tinggi, menjadi salah satu indikator. Belum lagi adopsi teknologi yang terseok-seok.
“Untuk dapat bersaing, industri Indonesia harus membangun keunikan. Perusahaan-perusahaan di Indonesia harus mampu merancang dan melaksanakan proses kerja yang tidak mudah ditiru pesaingnya. Jadi bukan hanya pencitraan atau jurus-jurus marketing,” lanjut pemilik sertifikat Project Management dari Project Styrning Institute, Stockholm, Swedia ini.
Mathiyas mencontohkan industri di China. Korporasi di negeri tirai bambu itu menargetkan diri sebagai produsen produk-produk bagi masyarakat kelas menengah-bawah. Pasalnya kalangan ini mencapai 68 persen dari total penduduk dunia. Lagipula pasar ini belum tergarap, karena industri Eropa dan AS berfokus pada masyarakat kelas atas.
“Dengan keunggulan ini, korporasi China merambah industri-industri mass-market, termasuk industri high-tech dan specialty. Inilah yang disebut keunikan yang tidak bisa ditiru oleh industri Eropa dan AS. Ini yang disebut daya saing sejati,” tegasnya.
Ke depannya, Mathiyas mengharapkan adanya sinergi antara pemerintah dan pelaku industri tanah air. Pemerintah wajib memberlakukan kebijakan-kebijakan yang pro industri domestik. Tetapi para pelaku industri juga harus melakukan continues improvement melalui inovasi proses.
“Konsumen kita sudah cerdas. Mereka mengejar faster, cheaper, better. Jadi produk-produk kita ke depan harus berorientasi ke sana, kepada konsumen,” pungkasnya.
(gpr)