Ekspor timah 7.000 ton/bulan terganjal izin
A
A
A
Sindonews.com - Di tengah gencarnya pemerintah untuk menggenjot ekspor demi menyelamatkan neraca transaksi berjalan, sekitar 7.000 ton timah per bulan tak bisa diekspor. Produksi timah dari 30 produsen/smelter tersebut terganjal aturan baru yang mengharuskan ekspor timah dilakukan melalui bursa komoditi.
Pasalnya, 30 produsen/smelter pemegang hak eksportir terbatas (ET) tersebut, tak terdaftar sebagai anggota Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) yang baru saja meresmikan transaksi fisik komoditas timah.
Mereka yang tergabung dalam konsorsium perusahaan timah Serumpun Tin di Bangka Belitung itu tak bergabung dengan BKD, lantaran sudah terlebih dahulu bersepakat dengan Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) untuk menyelenggarakan transaksi timah.
"Kami sejak 2011 mengkaji pasar fisik timah dengan BBJ, dan 20 Agustus lalu mendaftarkannya ke BAPPEBTI, tapi belum dapat izin. Dengan begitu kami di Serumpun Tin tak bisa melakukan ekspor mulai tanggal 30 Agustus 2013 kemarin," kata Direktur Utama PT Serumpun Tin Tjahyono Mukmin, dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (4/9/2013).
Untuk diketahui, anggota Serumpun Tin saat ini berjumlah 18 perusahaan, 12 perusahaan lagi diklaim menjadi calon anggota.
BBJ sendiri yang mengaku sudah terlebih dahulu mendaftarkan ke Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), tak kunjung mendapat izin. Wasit pasar komoditi tersebut lebih dahulu memberikan izin kepada BKDI.
Potensi ekspor yang hilang, menurut Tjahyono, jika dihitung dengan harga timah yang saat ini mencapai USD21.000 per ton cukup besar. Dari sisi royalti buat negara saja per bulan tak kurang sebesar Rp45 miliar bisa menguap. Jumlah tersebut belum termasuk sumbangan ke negara lewat bea keluar dan pendapatan untuk daerah.
Dari data Direktorat Bea dan Cukai, ekspor timah per bulannya bisa mencapai 10.000 sampai 12.000 ton. Dengan jumlah 7.000 ton yang dihasilkan Serumpun Tin, bisa dibilang sekitar 70 sampai 80 persen timah yang diekspor bakal susut dalam hal volume.
"Kami sendiri sih masih bisa menahan ekspor sampai 6 bulan misalnya, tapi apakah negara harus kehilangan potensi pendapatannya?" serunya.
Melihat kenyataan ini, Tjahyono berharap jika BAPPEBTI bisa memberikan izin kepada BKDI, hal yang sama juga bisa diberikan kepada BBJ. Ini karena dalam Permendag Nomor 32/M-MDAG/PER/6/2013 tidak menyebutkan secara spesifik ditujukan hanya untuk satu bursa saja.
"Artinya BBJ kami harapkan juga bisa dikeluarkan izinnya. Kami masih optimistis bisa menyelenggarakan perdagangan fisik timah yang realistis dan bisa menjadi harga acuan timah lewat BBJ," pungkasnya.
Pasalnya, 30 produsen/smelter pemegang hak eksportir terbatas (ET) tersebut, tak terdaftar sebagai anggota Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) yang baru saja meresmikan transaksi fisik komoditas timah.
Mereka yang tergabung dalam konsorsium perusahaan timah Serumpun Tin di Bangka Belitung itu tak bergabung dengan BKD, lantaran sudah terlebih dahulu bersepakat dengan Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) untuk menyelenggarakan transaksi timah.
"Kami sejak 2011 mengkaji pasar fisik timah dengan BBJ, dan 20 Agustus lalu mendaftarkannya ke BAPPEBTI, tapi belum dapat izin. Dengan begitu kami di Serumpun Tin tak bisa melakukan ekspor mulai tanggal 30 Agustus 2013 kemarin," kata Direktur Utama PT Serumpun Tin Tjahyono Mukmin, dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (4/9/2013).
Untuk diketahui, anggota Serumpun Tin saat ini berjumlah 18 perusahaan, 12 perusahaan lagi diklaim menjadi calon anggota.
BBJ sendiri yang mengaku sudah terlebih dahulu mendaftarkan ke Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), tak kunjung mendapat izin. Wasit pasar komoditi tersebut lebih dahulu memberikan izin kepada BKDI.
Potensi ekspor yang hilang, menurut Tjahyono, jika dihitung dengan harga timah yang saat ini mencapai USD21.000 per ton cukup besar. Dari sisi royalti buat negara saja per bulan tak kurang sebesar Rp45 miliar bisa menguap. Jumlah tersebut belum termasuk sumbangan ke negara lewat bea keluar dan pendapatan untuk daerah.
Dari data Direktorat Bea dan Cukai, ekspor timah per bulannya bisa mencapai 10.000 sampai 12.000 ton. Dengan jumlah 7.000 ton yang dihasilkan Serumpun Tin, bisa dibilang sekitar 70 sampai 80 persen timah yang diekspor bakal susut dalam hal volume.
"Kami sendiri sih masih bisa menahan ekspor sampai 6 bulan misalnya, tapi apakah negara harus kehilangan potensi pendapatannya?" serunya.
Melihat kenyataan ini, Tjahyono berharap jika BAPPEBTI bisa memberikan izin kepada BKDI, hal yang sama juga bisa diberikan kepada BBJ. Ini karena dalam Permendag Nomor 32/M-MDAG/PER/6/2013 tidak menyebutkan secara spesifik ditujukan hanya untuk satu bursa saja.
"Artinya BBJ kami harapkan juga bisa dikeluarkan izinnya. Kami masih optimistis bisa menyelenggarakan perdagangan fisik timah yang realistis dan bisa menjadi harga acuan timah lewat BBJ," pungkasnya.
(gpr)