Kebutuhan bahan peledak di dalam negeri meningkat
A
A
A
Sindonews.com - Kebutuhan bahan peledak (eksplosif) di dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir ini memperlihatkan kecenderungan meningkat. Hal itu tidak terlepas dari makin maraknya kegiatan usaha pertambangan di dalam negeri seiring dengan terus meningkatnya komoditi tambang di pasar internasional.
Wilayah Indonesia yang kaya akan berbagai sumber daya mineral, seperti batu bara, granit, bauksit, nikel, tembaga, emas, perak dan lain-lain telah menjadi tujuan investasi di bidang pertambangan yang sangat menarik, baik bagi pengusaha lokal maupun asing.
Karena itu, tidak mengherankan apabila kegiatan investasi di sektor pertambangan terus meningkat melebihi kegiatan investasi di sektor usaha lainnya.
PT Trifita Perkasa Mining Service merupakan salah satu perusahaan strategis yang mengkhususkan diri dalam industri bahan peledak di sektor pertambangan. Perusahaan ini telah menggeluti industri bahan peledak sejak 2005.
Dengan memanfaatkan bahan dasar berupa amonium nitrat itulah, Trifita mengembangkan berbagai produk bahan peledak untuk keperluan komersial untuk perusahaan pertambangan nasional.
Comercial Deputy Director Trifita Andry Warsono menjelaskan, perusahaan pada tahun ini mempunyai kapasitas produksi amonium nitrat (AN) sebesar 120 ribu ton. Kapasitas produksi menurun sekitar 25 ribu ton dibanding tahun lalu mencapai 145 ribu ton.
Penurunan kapasitas produksi disebabkan karena harga komoditas mineral dan batu bara yang terus menurun.
"Tahun ini, produksi kita turun karena harga komoditasnya lagi lesu. Tahun lalu kita bisa produksi sekitar 145 ribu ton," katanya di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Rabu (4/9/2013).
Dia menjelaskan, bahan peledak diimpor dari Australia, Filipina dan China. Amonium nitrat tersebut dijual dengan rata-rata USD700/ton, kemudian untuk meledakan satu titik area pertambangan dengan panjang diameter sekitar 100 meter membutuhkan sekitar 8-10 ton AN.
"Kalau dihitung normal perusahaan tambang biasanya sehari meledakan satu titik pada area tambangnya dengan pengeluaran dana sekitar USD24 juta," jelasnya.
Director & COO Trifita SM Herlambang menambahkan, perusahaannya saat ini telah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan tambang besar, seperti PT Freeport Indonesia, Newmont, Bampu Group dan perusahaan tambang lainnya.
Rata-rata setiap tahun, perusahaan memasok amonium nitrat ke Freeport sebanyak 1.500 ton, Newmont 1.500 ton dan Bampu Group sekitar 6.000 ton.
"Kami optimis kedepan sektor tambang masih jadi primadona walaupun untuk sekarang lagi kurang bagus karena harga komoditas turun," kata dia.
Selain itu, lanjut dia, persaingan produk bahan peledak untuk keperluan komersial di dalam negeri selama ini sudah begitu ketat. Di lain pihak, proses perijinan untuk mengimpor bahan peledak tidaklah mudah karena harus mendapat izin dari Kepolisian, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan dan Badan Intelijen Negara.
Perlu diketahui kebutuhan bahan peledak di dalam negeri dewasa ini diperkirakan sebesar 200 ribu ton/tahun.
Wilayah Indonesia yang kaya akan berbagai sumber daya mineral, seperti batu bara, granit, bauksit, nikel, tembaga, emas, perak dan lain-lain telah menjadi tujuan investasi di bidang pertambangan yang sangat menarik, baik bagi pengusaha lokal maupun asing.
Karena itu, tidak mengherankan apabila kegiatan investasi di sektor pertambangan terus meningkat melebihi kegiatan investasi di sektor usaha lainnya.
PT Trifita Perkasa Mining Service merupakan salah satu perusahaan strategis yang mengkhususkan diri dalam industri bahan peledak di sektor pertambangan. Perusahaan ini telah menggeluti industri bahan peledak sejak 2005.
Dengan memanfaatkan bahan dasar berupa amonium nitrat itulah, Trifita mengembangkan berbagai produk bahan peledak untuk keperluan komersial untuk perusahaan pertambangan nasional.
Comercial Deputy Director Trifita Andry Warsono menjelaskan, perusahaan pada tahun ini mempunyai kapasitas produksi amonium nitrat (AN) sebesar 120 ribu ton. Kapasitas produksi menurun sekitar 25 ribu ton dibanding tahun lalu mencapai 145 ribu ton.
Penurunan kapasitas produksi disebabkan karena harga komoditas mineral dan batu bara yang terus menurun.
"Tahun ini, produksi kita turun karena harga komoditasnya lagi lesu. Tahun lalu kita bisa produksi sekitar 145 ribu ton," katanya di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Rabu (4/9/2013).
Dia menjelaskan, bahan peledak diimpor dari Australia, Filipina dan China. Amonium nitrat tersebut dijual dengan rata-rata USD700/ton, kemudian untuk meledakan satu titik area pertambangan dengan panjang diameter sekitar 100 meter membutuhkan sekitar 8-10 ton AN.
"Kalau dihitung normal perusahaan tambang biasanya sehari meledakan satu titik pada area tambangnya dengan pengeluaran dana sekitar USD24 juta," jelasnya.
Director & COO Trifita SM Herlambang menambahkan, perusahaannya saat ini telah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan tambang besar, seperti PT Freeport Indonesia, Newmont, Bampu Group dan perusahaan tambang lainnya.
Rata-rata setiap tahun, perusahaan memasok amonium nitrat ke Freeport sebanyak 1.500 ton, Newmont 1.500 ton dan Bampu Group sekitar 6.000 ton.
"Kami optimis kedepan sektor tambang masih jadi primadona walaupun untuk sekarang lagi kurang bagus karena harga komoditas turun," kata dia.
Selain itu, lanjut dia, persaingan produk bahan peledak untuk keperluan komersial di dalam negeri selama ini sudah begitu ketat. Di lain pihak, proses perijinan untuk mengimpor bahan peledak tidaklah mudah karena harus mendapat izin dari Kepolisian, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan dan Badan Intelijen Negara.
Perlu diketahui kebutuhan bahan peledak di dalam negeri dewasa ini diperkirakan sebesar 200 ribu ton/tahun.
(rna)