Pengusaha warteg masih dipusingkan tempe
A
A
A
Sindonews.com - Pasokan tempe masih menjadi momok bagi usaha warteg di Jakarta Utara khususnya daerah Koja dan Semper. Hal ini diakui oleh Wawan, pemilik warteg di Koja yang sudah berjualan selama 8 tahun di kawasan tersebut.
"Yang paling susah sekarang itu masih tempe, bahkan kadang-kadang habis," ucapnya saat ditemui Sindonews, Selasa (5/11/2013).
Diakuinya, dia sering membeli bahan masak untuk makanan yang ia jual di pasar-pasar tradisional. Harga tempe yang ia beli sekarang perbaloknya Rp4.000, sebelumnya dia bisa membeli tiga balok dengan harga Rp10.000.
"Dulu Rp10.000 saja sudah dapat tiga balok tempe, sekarang satu balok sudah Rp4.000 bahkan minggu lalu beli satu balok tempe harganya Rp5.000," keluhnya.
Dia mengatakan, banyak pelanggannya yang memang memfavoritkan tempe sebagai pilihan mereka. Misalnya tempe goreng, tempe orek, gorengan tempe, bahkan beberapa menu yang dia masak terdapat tempe di dalamnya.
"Kita kan belinya di pasar, kalau lagi ada ya ada, kalau gak ada berarti kosong, masalahnya tempe selalu dicari orang, apalagi di daerah sini banyak pekerja kuli," ucap Wawan.
Hal senada juga diungkapkan Woro, pemilik warteg di daerah Semper. Dia mengatakan kebanyakan pasar di kawasan tersebut memang mengalami kelangkaan tempe, tidak diketahui penyebabnya.
Woro bercerita pernah wartegnya tidak mendapatkan tempe sama sekali selama tiga hingga empat hari dikarenakan tingginya harga kedelai saat itu. Sehingga wartegnya mengalami penurunan secara penghasilan.
"Penghasilan warteg per hari biasanya bisa dapat Rp500 ribuan, tapi pas kita tidak menyajikan tempe turun Rp350 ribu lebih kurang," ungkapnya.
Karena hal tersebut, Woro selalu berusaha menyajikan tempe agar pendapatan harian warteg yang ia kelola tidak merugi. "Biasanya kalau di pasar-pasar sini habis, kita ke daerah Jiung Kemayoran, di sana kita sudah ketemu orang yang produksi tempe. Tapi kalau di pasar sini ada, kita beli di sini," tutupnya.
"Yang paling susah sekarang itu masih tempe, bahkan kadang-kadang habis," ucapnya saat ditemui Sindonews, Selasa (5/11/2013).
Diakuinya, dia sering membeli bahan masak untuk makanan yang ia jual di pasar-pasar tradisional. Harga tempe yang ia beli sekarang perbaloknya Rp4.000, sebelumnya dia bisa membeli tiga balok dengan harga Rp10.000.
"Dulu Rp10.000 saja sudah dapat tiga balok tempe, sekarang satu balok sudah Rp4.000 bahkan minggu lalu beli satu balok tempe harganya Rp5.000," keluhnya.
Dia mengatakan, banyak pelanggannya yang memang memfavoritkan tempe sebagai pilihan mereka. Misalnya tempe goreng, tempe orek, gorengan tempe, bahkan beberapa menu yang dia masak terdapat tempe di dalamnya.
"Kita kan belinya di pasar, kalau lagi ada ya ada, kalau gak ada berarti kosong, masalahnya tempe selalu dicari orang, apalagi di daerah sini banyak pekerja kuli," ucap Wawan.
Hal senada juga diungkapkan Woro, pemilik warteg di daerah Semper. Dia mengatakan kebanyakan pasar di kawasan tersebut memang mengalami kelangkaan tempe, tidak diketahui penyebabnya.
Woro bercerita pernah wartegnya tidak mendapatkan tempe sama sekali selama tiga hingga empat hari dikarenakan tingginya harga kedelai saat itu. Sehingga wartegnya mengalami penurunan secara penghasilan.
"Penghasilan warteg per hari biasanya bisa dapat Rp500 ribuan, tapi pas kita tidak menyajikan tempe turun Rp350 ribu lebih kurang," ungkapnya.
Karena hal tersebut, Woro selalu berusaha menyajikan tempe agar pendapatan harian warteg yang ia kelola tidak merugi. "Biasanya kalau di pasar-pasar sini habis, kita ke daerah Jiung Kemayoran, di sana kita sudah ketemu orang yang produksi tempe. Tapi kalau di pasar sini ada, kita beli di sini," tutupnya.
(gpr)