Menanti keperkasaan rupiah di 2014

Senin, 30 Desember 2013 - 10:36 WIB
Menanti keperkasaan...
Menanti keperkasaan rupiah di 2014
A A A
SEDIH, satu kata yang menggambarkan perjalanan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sepanjang 2013. Tahun ini, bukanlah perjalanan baik bagi rupiah pasca menikmati kejayaan nilai tukar terhadap USD yang berlangsung sejak 2009.

Hanya dalam tempo 16 bulan setelah sempat menyentuh nilai tukar terkuatnya pada Maret 2011, di mana rupiah sempat mencapai level Rp8.763/USD, akhirnya secara pelan-pelan terdepresiasi hingga level Rp12.100/USD.

Depresiasi nilai tukar rupiah mulai terjadi pada 1 Juli 2013. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada penutupan perdagangan Senin (1/7/2013) melemah 5 poin dari Rp9.929/USD, Jumat (28/6/2013) menjadi Rp9.934/USD.

Bahkan, pada pertengahan Juli, nilai tukar rupiah menyentuh Rp10.000/USD. Pelemahan berkala ini disinyalir terjadi akibat naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tingkat inflasi.

"Memang kondisinya seperti itu. Artinya Rp10 ribu (per dolar AS) bukanlah angka keramat," ujar Wakil Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro saat masih menjabat sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu.

Banyak pihak yang tidak menyangka bahwa pelemahan berkala sejak awal Juli merupakan awal rontoknya rupiah yang berlangsung hingga akhir 2013.

Bahkan, pidato Nota Keuangan Pemerintah yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 16 Agustus di Parlemen, tidak membuat pasar merespon positif. Sebaliknya, rupiah terus anjlok pasca pidato SBY tersebut. Rupiah kembali terdepresiasi, hingga akhirnya menyentuh Rp11.000/USD pada akhir Agustus 2013.

Pengamat valuta asing (valas), Rahadyo Anggoro Widagdo pada saat itu berpendapat bahwa nilai tukar rupiah akan terus tertekan di kisaran Rp11.000/USD hingga akhir 2013.

"Akan sulit kembali normal bila pemerintah tidak memberikan kebijakan yang konkret. Kalau pun akan menguat, paling hanya bisa ke Rp10.500-an," ujar Anggoro.

Meski pemerintah sebagai pemangku kebijakan fiskal dan BI sebagai pemangku kebijakan moneter telah mengambil kebijakan untuk menenangkan pasar, terbukti depresiasi nilai tukar rupiah masih terjadi lebih dalam.

Paket Kebijakan ekonomi pertama yang dilakukan pemerintah dan kebijakan Gubernur BI Agus Martowardojo yang menaikkan BI Rate hingga mencapai 7,5 persen pada Desember dari 5,75 persen pada Mei terlihat masih belum mampu menahan pelemahan rupiah hingga akhirnya menyentuh angka 12.000/USD pada 12 Desember 2013.

Head of Research & Analysis BNI, Nurul Eti Nurbaeti mengatakan, penguatan USD yang terjadi secara global setelah rilis data tenaga kerja dan penjualan ritel Amerika Serikat (AS) menimpa mata uang global dan rupiah.

"Apalagi nilai tukar rupiah di pasar offshore cenderung terdepresiasi hingga memengaruhi pergerakan di dalam negeri," kata dia.

Salah satu penyebab ambruknya nilai tukar rupiah ini di antaranya adalah rencana Bank Sentral AS untuk kembali menarik dana likuiditas atau yang biasa dikenal dengan sebutan tapering off dari negara-negara berkembang, dikarenakan kondisi perekonomian AS yang mulai membaik pasca krisis 2008-2009.

Hal ini memberikan sentimen negatif terhadap pasar yang membuat hampir seluruh mata uang di negara berkembang juga anjlok.

Menteri Keuangan (Menkeu), M Chatib Basri bahkan sempat melontarkan statement bahwa pelemahan rupiah akan berlanjut hingga 2014. Namun, statement tersebut dikoreksi kembali.

Hal senada dikatakan analis ekonomi dari Bank Mandiri, Rully Arya Wisnubroto yang mengemukakan, rupiah hingga 2014 masih akan tertekan dan sulit untuk bangkit hingga butuh waktu dua tahun, rupiah bisa kembali menguat.

"Pelemahan rupiah salah satunya didorong oleh rencana pengurangan stimulus The Fed. Di mana saat ini masih menjadi spekulasi," kata Rully.

Agus Marto juga menyebut depresiasi rupiah yang terjadi di Indonesia sejalan dengan pelemahan yang terjadi di seluruh kawasan Asia seperti Thailand, Malaysia, India, dan negara-negara kawasan.

"Mungkin juga banyak investor global yang ingin cuti liburan dan menukarkan kembali (repatriasi) keuntungan ke mata uang mereka," lanjut Agus menjelaskan fenomena yang terjadi.

Secara umum, Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menyebut fenomena pelemahan nilai tukar rupiah ini terjadi karena sentimen negatif pasar atas kondisi global yang terjadi. "Karena kalau kita hitung secara fundamental kisarannya hanya Rp10.900 sampai dengan Rp11.200 saja," terang Destry.

Tapi, baik Chatib, Agus Marto, para pengamat ekonomi, bahkan Wakil Presiden Boediono sepakat bahwa era uang mudah (easy money) yang dikucurkan oleh The Fed, telah berakhir. Dan kekuatan 'semu' rupiah yang terjadi selama beberapa tahun terakhir akan menuju kondisi fundamental rupiah kembali seperti 2009 ketika stimulus The Fed tersebut belum dikucurkan.

"Kita tidak mungkin mempertahankan nilai tukar rupiah sebesar Rp9.000/USD atau cadangan devisa kita akan habis," kata Boediono.

Dampak lebih lanjut

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar tentunya berimbas buruk bagi perkembangan harga-harga komoditas terutama komoditas impor.

Seperti contoh harga daging impor yang juga ikut melonjak dan berada di kisaran Rp93.329 dikarenakan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).

"Memang banyak terpengaruh (pelemahan rupiah) karena para pedagang dan pembeli dagingnya juga menyukai sapi eks bakalan impor," ujar Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi.

Pelemahan rupiah juga diyakini akan membuat harga-harga kendaraan terutama roda empat akan terkerek, karena mayoritas sparepart dan komponen pembuatan mobil yang mengandalkan impor.

Presiden Direktur PT Astra Internasional, Prijono Sugiarto mengatakan, depresiasi rupiah akan memberikan tekanan pada lini bisnis otomotif terutama bisnis 2W dan 4W. "Untuk segmen otomotif, (nilai tukar) rupiah terus beranjak naik. Sehingga harus ada penyesuaian harga yang akan kami lakukan," kata Prijono.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi mengatakan, bahwa jika pelemahan rupiah terhadap USD terjadi secara terus menerus akan memaksa para pengusaha menaikkan harga. "Kami sudah melakukan perhitungan-perhitungan dan mencocokkan harga untuk tahun depan," kata dia ketika dihubungi Sindonews, beberapa waktu lalu.

Meski demikian, Sofjan juga mengaku berat untuk menaikkan harga mengikuti depresiasi rupiah. Pasalnya, jika menaikkan harga dan tidak ada yang membeli akan menjadi percuma dan akan timbul kerugian bagi pengusaha. "Dilema ini yang kadang membuat kita sakit kepala," lanjutnya.

Hal yang paling menakutkan dari melemahnya nilai tukar rupiah ini adalah subsidi BBM yang diperkirakan akan kembali menembus angka Rp200 triliun di akhir tahun ini. Meski pemerintah telah berhasil menekan volume konsumsi BBM di bawah 51 juta kiloliter.

Padahal dalam APBNP 2013 pemerintah telah mematok target tidak lebih dari Rp199,8 triliun untuk subsidi BBM. Namun depresiasi rupiah membuat angka tersebut melonjak.

"Tahun ini konsumsi BBM kami perkirakan tidak akan melebihi target 48 juta kiloliter. Namun nilai subsidinya tetap akan tembus Rp200 triliun karena kurs rupiah tidak seperti yang diasumsikan," terang Bambang Brodjonegoro.

Defisit neraca berjalan sumbang pelemahan rupiah

Banyak pihak yang menyalahkan rencana tapering off yang dilakukan The Fed adalah faktor utama dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD. Namun pemerintah tidak memungkiri bahwa ada faktor internal yang menyebabkan hal tersebut.

Chatib Basri mengakui faktor internal tersebut adalah defisit neraca berjalan Indonesia yang masih besar atau 4,4 persen dari PDB hingga 2013, akibat impor yang lebih besar dari ekspor. "Memang rencana The Fed tersebut adalah faktor utama, tapi kita juga punya permasalahan internal yang harus segera dibenahi," tegas Chatib.

Meski demikian, Menkeu menegaskan bahwa defisit tersebut masih lebih baik ketimbang yang terjadi jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM subsidi. "Karena baru dinaikkan Juni, jadi belum bisa meng-cover penyesuaian yang kita lakukan, baru di kuartal III kelihatan," ujar Chatib saat itu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa menegaskan bahwa penguatan neraca berjalan (current account) adalah strategi utama yang akan dilakukan pemerintah agar rupiah kembali menguat terutama dengan mengurangi importasi dan menambah volume barang-barang yang dapat diekspor.

"Strategi berikutnya adalah memperkuat rupiah dengan pelaksanaan paket-paket ekonomi yang telah ditetapkan pemerintah," ujar Hatta.

Seperti diketahui Paket kebijakan ekonomi pemerintah jilid I terdiri dari rencana untuk memperkecil defisit neraca pembayaran yang merupakan penyebab internal dari melemahnya nilai tukar rupiah. Seperti pemberian keringanan ekspor dengan keringanan pajak kepada industri berorientasi ekspor, dan juga penetapan pajak barang mewah (PPnBM) dari sebelumnya 75 persen menjadi 125 persen.

Kemudian, pada Desember pemerintah juga mengeluarkan paket kebijakan kedua yang berisi penyesuaian pengenaan PPh Pasal 22 Atas Impor Barang Tertentu menjadi 7,5 persen, dan juga kemudahan perizinan dan pelayanan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Diharapkan dengan kedua paket kebijakan itu dapat membantu menekan impor dan meningkatkan ekspor barang untuk mengatasi defisit neraca pembayaran. "Ditambah lagi penetapan mandatory biodiesel 10 persen kita harapkan hal tersebut dapat menekan current account deficit," ujarnya Hatta.

Selain itu, dia juga mengakui penyebab melemahnya rupiah masih diakibatkan faktor internal (defisit transaksi berjalan) dan juga faktor eksternal (tapering off The Fed). "Tetapi hal ini mencerminkan fundamental kita saat ini," ujarnya.

Di sisi lain, BI juga mengeluarkan banyak bauran kebijakan untuk menghadapi pelemahan rupiah. Selain menaikkan BI Rate dengan total kenaikan kumulatif 175 basis poin Agus Marto juga mengeluarkan kebijakan lainnya.

BI meningkatkan jumlah Bilateral Swap Agreement (BSA) dengan sejumlah negara untuk mengantisipasi dampak terburuk dari melemahnya rupiah apabila cadangan devisa USD97 miliar dipakai.

Meski demikian, tidak semua pihak menyambut baik paket kebijakan ekonomi dan bauran kebijakan BI akan efektif menekan defisit neraca pembayaran dan menstabilkan rupiah.

"Persoalannya yang punya dolar tidak percaya dengan rupiah dan hampir semua pelaku pasar kecewa dengan paket ini," kata Direktur Indef, Enny Sri Hartati.

Alih-alih menambah 'dosis' paket tersebut, Enny meminta pemerintah dapat menargetkan proyeksi-proyeksi makro yang ada di APBN 2014 secara tepat sasaran untuk mengembalikan kepercayaan pasar. "Jadi pemerintah memiliki solusi riil dan signifikan untuk mengembalikan kepercayaan pasar tersebut," imbuhnya.

Hal ini ditanggapi positif oleh pemerintah, dalam hal ini Menkeu Chatib Basri yang mengatakan, APBN 2014 yang baru disahkan Oktober 2013, berorientasi pada stabilisasi ekonomi dalam negeri. "Baru pada 2015 kita akan bicara tentang pertumbuhan (ekonomi) kembali," tegas Chatib.

Terakhir, nada optimistis juga keluar dari Presiden SBY yang percaya Indonesia mampu keluar dari situasi ini, berdasarkan pengalaman 1998 dan 2008.

"Jika kita semua bersatu dan kerja keras, Insya Allah ekonomi kita akan tetap terjaga dan kita bisa kurangi dampak gejolak global saat ini," pungkas SBY, melalui akun twitternya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0762 seconds (0.1#10.140)