Kenaikan Harga Daging Sapi Masih Membayangi

Selasa, 31 Desember 2013 - 14:52 WIB
Kenaikan Harga Daging...
Kenaikan Harga Daging Sapi Masih Membayangi
A A A
KEKURANGAN stok daging sapi di dalam negeri, telah memicu gejolak harga pangan. Hal ini ditandai dengan melonjaknya harga daging sapi sepanjang 2013.

Sejumlah pengamat ekonomi memproyeksikan harga daging sapi 2014 akan bernasib sama dengan tahun ini. Berbagai solusi dan langkah dilakukan. Salah satu yang ditawarkan dalam menangani masalah kenaikan harga daging sapi adalah dengan memperbaiki sistem kuota, tata niaga serta karantina sapi.

Direktur Indef, Enny Sri Hartati mengemukakan, dengan kondisi fundamental tata niaga yang belum ada perubahan, maka tidak akan terjadi perubahan lebih baik terhadap harga daging tahun depan.

"Dengan kondisi seperti itu selama tidak ada perubahan kebijakan dalam tata niaga, diprediksi tidak hanya 2014, bahkan tahun-tahun mendatang akan mengalami nasib sama, yaitu harga daging tinggi melampaui harga ekonomis," ujar Enny, saat dihubungi Sindonews di Jakarta, Jumat (27/12/2013).

Pada prinsipnya, harga daging tergantung demand dan supply, tetapi faktor yang menentukan adalah tata niaga. Yaitu, bagaimana distribusi dan pasar sangat berpengaruh signifikan pada pembentukan harga.

Harga daging juga dipengaruhi pertumbuhan ekonomi penduduk Indonesia yang tidak merata dan terkontrol. Di mana, pertumbuhan kelas menengah terpusat di pulau Jawa, dan terkonsentrasi di kota-kota besar, seperti di Jabodetabek, Bandung, dan lainnya.

Artinya, kata dia, konsumsi daging menjadi konsumsi kelas menengah. Di mana permintaan konsumsi kelas menengah meningkat, khususnya di kota-kota besar. Sayang, dari sisi supply di Jabodetabek pasti kecil dan terbatas. Padahal, secara akumulasi supply daging untuk Indonesia tidak defisit.

Jika dilihat potensi peternakan sapi di Indonesia Timur, dan Jawa Timur, ini memiliki potensi yang sangat besar, hanya saja masih menyimpan persoalan, yaitu distribusi. Sistem distribusi antar pulau Indonesia sangat lemah, mahal, belum ada logistik, dan sistem industri yang bisa mengontrol masalah pendistribusian.

Misalnya, sapi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tidak dipasok ke Pulau Jawa melainkan ke Malaysia, karena jalur distribusi yang lebih mudah. Begitu juga di Jawa Timur yang ternyata over supply untuk daging sapi, namun sangat sulit dibawa ke Jawa Tengah, Jawa Barat maupun lainnya di pulau Jawa.

Semua itu terkait transportasi darat yang harus dipikirkan. Di sisi lain, jika terlalu lama di jalanan sapi akan cepat mati atau mengalami penyusutan bobot. Itu akan menyebabkan kerugian dan sangat tidak efisien.

Sementara, jika Tanjung Priok tidak dibanjiri oleh daging impor maka supply bisa didapat dari lampung yang berpotensi penghasil sapi. Tetapi karena Indonesia dibanjiri daging impor maka harga daging lokal pun menjadi tertekan dan menyebabkan tidak ada insentif bagi peternak untuk meningkatkan produktifitasnya.

Karena jalur perdagangan yang lemah, akhirnya pemerintah harus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan pasokan daging dalam negeri. Sayang, yang menguasai tata niaga impor adalah kartel. Kartel inilah yang akhirnya membentuk harga dan membuat harga daging sapi menjadi mahal dan akan terus naik melampaui nilai ekonomisnya.

Nilai ekonomis yang dimaksud adalah nilai impor ditambah dengan biaya lapangan, biaya bongkar muat dan biaya lainnya, sehingga muncul harga domestik lokal.

Pengaturan RPH

Pemerintah juga diharapkan bisa mengatur Rumah Pemotongan Hewan (RPH), sehinngga memiliki instrument pengendalian harga. RPH memang menjadi permasalahan. Di mana, dulu masing-masing daerah atau wilayah memiliki RPH yang kepemilikannya diatur oleh Pemerintah Daerah (Pemda).

Kondisi tersebut berbeda dengan saat ini yang diatur oleh swasta. Inilah yang membuat pemerintah pusat maupun Pemda tidak memiliki kuasa lagi untuk memengaruhi harga karena pengendaliannya bukan di pemerintah.

Terlihat bahwa kenaikan harga daging juga terjadi pada harga daging ayam potong, sejak awal Desember. Di mana harga daging ayam potong terus mengalami kenaikan hingga Rp27 ribu per kilogram (kg), padahal harga semula hanya Rp22 ribu per kg.

Misalnya, di DI Yogyakarta (DIY), berdasarkan hasil pantauan harga yang dilakukan Biro Administrasi Perekonomian dan SDA Setda DIY, Selasa (17/12/2013) menyebutkan, harga daging sapi mengalami kenaikan Rp7 ribu per kg di Pasar Bringharjo DIY dari sebelumnya Rp98 ribu per kg menjadi Rp103 ribu per kg. Sedangkan di Pasar Kranggan dari Rp96 ribu per kg menjadi Rp103 ribu per Kg.

Pasokan daging sapi di Salatiga, Jawa Tengah selama beberapa hari terakhir ini berkurang. Akibatnya, sejumlah pedagang terpaksa harus berebut untuk mendapatkan daging dari distributor. Kondisi ini juga berpengaruh pada harga jual. Harga daging sapi langsung naik antara Rp2.000 sampai Rp3.000 per kg.

Daging sapi kualitas nomor satu yang semula harganya Rp85.000 per kg, kini naik Rp2.000 menjadi Rp87.000 per kg. Sedangkan daging sapi kualitas nomor dua naik Rp3.000 dari harga Rp77.000 menjadi Rp80.000 per kg pada 5 Desember 2013.

Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Bayu Krisnamurthi mengakui, harga daging juga banyak terpengaruh dampak depresiasi rupiah. Terutama pasokan untuk pasar segar, di mana para pedagang dan pembeli sapi menyukai sapi eks bakalan impor.

"Di pasar segar pedagangnya tetap dan pembelinya senang yang eks impor itu termasuk bakalan impor," ujar Bayu di Jakarta, Rabu (18/12/2013).

Dia mengatakan, banyak sapi bakalan eks impor terserap di pasar becek karena mayoritas pembeli di pasar ingin memastikan kehalalan daging tersebut ketimbang berupa daging.

"Dan mereka sudah punya jaringan yang kuat diantara para pedagang dan itu yang buat intervensi impor tidak langsung masuk ke pasar segar," lanjutnya.

Untuk persiapan suplai daging 2014, Bayu mencoba membuat perencanaan yang lebih komprehensif dan melakukan intervensi menjelang hari besar.

Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Waryawan juga pernah mengungkapkan, alasan Indonesia harus mengimpor daging sapi. Dia mencatat kebutuhan sapi potong di dalam negeri saat ini mencapai 3-4 juta ekor per tahun. Sementara stok sapi tahun ini berkurang hanya sebanyak 12 juta ekor.

"Pada tahun sebelumnya stok sapi kita mencapai 15-16 juta. Untuk sapi yang boleh dipotong hanya 2 juta ekor. Problemnya, bagaimana kita mengisi sisanya itu. Mau enggak mau kita harus impor," ujar Gita saat berkunjung ke Gedung Sindo, Kamis (12/12/2013).

Menurutnya, melihat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa, idealnya dengan pertambahan penduduk sebanyak 350 juta dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia memiliki 60 juta ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan lepas dari impor.

Sebagai perbandingan, Gita mencontohkan persediaan sapi di Brasil. Negara tersebut memiliki 100 juta ekor sapi. Ini jauh lebih banyak dengan kondisi di Indonesia.

"Konsumsi daging sapi di Brasil mencapai 33 Kg per tahun. Sementara konsumsi di Indonesia hanya 2,5 Kg dan tahun depan diperkirakan 3 Kg. Namun, mereka berhasil memenuhi kebutuhan karena memiliki stok sapi yang mencukupi," tandasnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0828 seconds (0.1#10.140)