Pemindahtanganan frekuensi Axis ke XL dipertanyakan
A
A
A
Sindonews.com - Merger dua operator telekomunikasi, PT XL Axiata dengan PT Axis Telekom Indonesia yang sejatinya merupakan wujud dari konsolidasi pasar, ternyata lebih banyak memunculkan pro dan kontra. Keputusan Menkomfinfo Tifatul Sembiring yang langsung memberikan frekuensi 1800 MHz milik Axis kepada XL Axiata dalam merger keduanya, terus menuai kritik.
Pengamat hukum bisnis dan telekomunikasi dari Universitas Indonesia Edmon Makarim mengatakan, karakteristik industri jasa telekomunikasi adalah sektor industri jasa yang teratur atau regulated. Ini lantaran menyangkut kebutuhan dasar berkomunikasi setiap warga negara yang menggunakan sumber daya milik negara dan berdampak kepada hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu, perlu diawasi jangan sampai merger itu dapat memicu terjadinya dominasi frekuensi. Edmon menilai pengaturannya adalah dengan mekanisme perizinan agar tidak terjadi interferensi dalam spektrum frekuensi. Pasalnya dikhawatirkan bisa mengakibatkan pemanfaatan spektrum frekuensi menjadi tidak optimal untuk kesejahteraan rakyat.
“Guna menjawab kebutuhan dasar berkomunikasi warga negara yang diselenggarakan secara efisien untuk mendapatkan layanan yang murah, hukum persaingan usaha yang sehat diperlukan untuk membuat pemanfaatan sumber daya tersebut optimal dan efisien bagi masyarakat,” tuturnya di Jakarta, Jumat (3/1/2014).
Sementara itu Gunawan Wibisono, Pemerhati Telekomunikasi dari Universitas Indonesia menambahkan, pemindahtanganan frekuensi, seyogianya tidak begitu saja dilakukan. Ini karena menyangkut aset penting negara yang sarat dengan prosedur ketat.
"Saya kok heran ya, ada fakta pengalihan aset penting negara hanya cukup dengan izin menteri, contohnya dalam proses merger XL Axiata dengan Axis Telekom," kata Gunawan.
Menurutnya, dengan adanya fakta telah disetujuinya merger XL-Axiata dan Axis maka, Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2000 akhirnya menjadi "banci". Karena di satu sisi melarang, tapi di satu sisi juga membolehkan.
Regulator seharusnya mencegah terjadinya transaksi spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan serta mencegah terjadinya transaksi sumber daya alam yang terbatas secara terselubung itu. Ia mengatakan, harus ada batas transaksi sumber daya terbatas atau sumber daya itu harus dikembalikan ke pemerintah.
Pasalnya, frekuensi bukanlah aset perusahaan sehingga tak bisa ikut serta dalam proses merger atau akuisisi. Ia menjelaskan, pada pasal 25 PP 53/2000 menyebutkan bahwa adalah izin stasiun radio yang boleh dipindahtangankan atas seizin menteri, bukannya frekuensi.
Selain melanggar UU Telekomunikasi Tahun 1999, pemberian frekuensi secara langsung tanpa adanya komitmen pembangunan seperti diatur dalam ketentuan modern lisencing, juga dianggap sebagai bentuk keistimewaan (privilege). Kemenkominfo dan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) bisa dianggap mengistimewakan operator asal Malaysia, XL Axiata.
Menkominfo Tifatul Sembiring sebelumnya mengungkapkan, berdasarkan simulasi yang dilakukan pihaknya, pasca merger keduanya akan terjadi perubahan pangsa pasar dari tiga besar operator (Telkomsel, Indosat dan XL). Pangsa pasar XL-Axis diperkirakan naik sekitar 27-39 persen, yang berarti sukses menggerus pangsa pasar Indosat dan Telkomsel.
Pengamat hukum bisnis dan telekomunikasi dari Universitas Indonesia Edmon Makarim mengatakan, karakteristik industri jasa telekomunikasi adalah sektor industri jasa yang teratur atau regulated. Ini lantaran menyangkut kebutuhan dasar berkomunikasi setiap warga negara yang menggunakan sumber daya milik negara dan berdampak kepada hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu, perlu diawasi jangan sampai merger itu dapat memicu terjadinya dominasi frekuensi. Edmon menilai pengaturannya adalah dengan mekanisme perizinan agar tidak terjadi interferensi dalam spektrum frekuensi. Pasalnya dikhawatirkan bisa mengakibatkan pemanfaatan spektrum frekuensi menjadi tidak optimal untuk kesejahteraan rakyat.
“Guna menjawab kebutuhan dasar berkomunikasi warga negara yang diselenggarakan secara efisien untuk mendapatkan layanan yang murah, hukum persaingan usaha yang sehat diperlukan untuk membuat pemanfaatan sumber daya tersebut optimal dan efisien bagi masyarakat,” tuturnya di Jakarta, Jumat (3/1/2014).
Sementara itu Gunawan Wibisono, Pemerhati Telekomunikasi dari Universitas Indonesia menambahkan, pemindahtanganan frekuensi, seyogianya tidak begitu saja dilakukan. Ini karena menyangkut aset penting negara yang sarat dengan prosedur ketat.
"Saya kok heran ya, ada fakta pengalihan aset penting negara hanya cukup dengan izin menteri, contohnya dalam proses merger XL Axiata dengan Axis Telekom," kata Gunawan.
Menurutnya, dengan adanya fakta telah disetujuinya merger XL-Axiata dan Axis maka, Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2000 akhirnya menjadi "banci". Karena di satu sisi melarang, tapi di satu sisi juga membolehkan.
Regulator seharusnya mencegah terjadinya transaksi spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan serta mencegah terjadinya transaksi sumber daya alam yang terbatas secara terselubung itu. Ia mengatakan, harus ada batas transaksi sumber daya terbatas atau sumber daya itu harus dikembalikan ke pemerintah.
Pasalnya, frekuensi bukanlah aset perusahaan sehingga tak bisa ikut serta dalam proses merger atau akuisisi. Ia menjelaskan, pada pasal 25 PP 53/2000 menyebutkan bahwa adalah izin stasiun radio yang boleh dipindahtangankan atas seizin menteri, bukannya frekuensi.
Selain melanggar UU Telekomunikasi Tahun 1999, pemberian frekuensi secara langsung tanpa adanya komitmen pembangunan seperti diatur dalam ketentuan modern lisencing, juga dianggap sebagai bentuk keistimewaan (privilege). Kemenkominfo dan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) bisa dianggap mengistimewakan operator asal Malaysia, XL Axiata.
Menkominfo Tifatul Sembiring sebelumnya mengungkapkan, berdasarkan simulasi yang dilakukan pihaknya, pasca merger keduanya akan terjadi perubahan pangsa pasar dari tiga besar operator (Telkomsel, Indosat dan XL). Pangsa pasar XL-Axis diperkirakan naik sekitar 27-39 persen, yang berarti sukses menggerus pangsa pasar Indosat dan Telkomsel.
(gpr)