Pemerintah didesak terapkan UU Minerba tepat waktu
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Komisi VII DPR Bobby Adhityo Rizaldi mendesak pemerintah untuk menerapkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) terkait larangan ekspor mineral mentah tetap diberlakukan pada 12 Januari 2014.
Dia mengatakan, penerapan regulasi tersebut akan memberi dampak positif terhadap industri pertambangan nasional secara keseluruhan dan dapat meningkatkan nilai tambah ekspor nasional, mengurangi defisit perdagangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Penerapan kebijakan hilirisasi itu harus dijalankan sesuai dengan UU yang telah ditetapkan. Tidak perlu ditunda,” kata Bobby dalam rilisnya di Jakarta, Rabu (8/1/2014).
Bobby meminta pemerintah agar tak perlu takut dengan ancaman perusahaan yang akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Menurut dia, dengan selesainya pembangunan smelter, maka akan menciptakan lapangan kerja.
"Bukan penggangguran yang muncul, melainkan pembukaan lapangan pekerjaan baru,” ujar dia.
Karena itu, dia meminta pemerintah bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak mematuhi aturan, salah satunya dengan mencabut izin usaha pertambangannya.
Meski awal penerapan aturan tersebut, menurut dia, Indonesia akan merasakan ‘demam-demam’ karena menurunnya pendapatan dari nilai ekspor komoditas mineral mentah, namun dalam jangka panjang akan memberikan kesejahteraan rakyat.
“Biasa, seperti setelah divaksin, badan akan demam sementara. Tapi setelah itu akan sehat jangka panjangnya. Juga Indonesia akan banyak diuntungkan dengan menjadi negara industri yang bisa dibuat di berbagai lokasi di seluruh Indonesia, sehingga akan ada pemerataan pembangunan dan penyerapan tenaga kerja,” tutur Bobby.
Menurut dia, bila pemerintah sebelum 12 Januari 2014 merevisi Peraturan Pemerintah (PP ) Nomor23/2010 diharapkan isinya sejalan dengan semangat UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
“Bukannya melegitimasi penundaan pembangunan smelter atau proses tambah nilai dengan alasan apapun. Hal yang paling tepat adalah interpretasi UU Nomor 4 Tahun 2009 dalam Permen ESDM Nomor 7/2012 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Semoga Dirjen Minerba yang baru tidak masuk angin dengan merevisi definisi teknis pengolahan dan pemurnian dalam Permen tersebut,” papar dia.
Sekedar mengingatkan, larangan ekspor mineral mentah sesuai dengan aturan akan diberlakukan mulai 12 Januari 2014. Dengan larangan itu, maka semua produk pertambangan mentah harus diolah di dalam negeri melalui smelter yang wajib dibangun oleh perusahaan yang melakukan penambangan mineral, selanjutnya baru bisa ekspor.
Kendati demikian, hingga saat ini baru sekitar 28 perusahaan yang telah memulai membangun smelter dengan progres sekitar 30 persen.
Di samping itu, banyak muncul tuntutan untuk menunda pemberlakuan aturan tersebut, baik dari kalangan pengusaha pertambangan maupun karyawan. Mereka khawatir penerapan UU Minerba akan menciptakan PHK besar-besaran dan kolapsnya perusahaan pertambangan.
Menanggapi itu, pemerintah sedang mencari solusi atas pro dan kontra yang terjadi, termasuk kemungkinan menunda pemberlakuan UU tersebut.
Dia mengatakan, penerapan regulasi tersebut akan memberi dampak positif terhadap industri pertambangan nasional secara keseluruhan dan dapat meningkatkan nilai tambah ekspor nasional, mengurangi defisit perdagangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Penerapan kebijakan hilirisasi itu harus dijalankan sesuai dengan UU yang telah ditetapkan. Tidak perlu ditunda,” kata Bobby dalam rilisnya di Jakarta, Rabu (8/1/2014).
Bobby meminta pemerintah agar tak perlu takut dengan ancaman perusahaan yang akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Menurut dia, dengan selesainya pembangunan smelter, maka akan menciptakan lapangan kerja.
"Bukan penggangguran yang muncul, melainkan pembukaan lapangan pekerjaan baru,” ujar dia.
Karena itu, dia meminta pemerintah bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak mematuhi aturan, salah satunya dengan mencabut izin usaha pertambangannya.
Meski awal penerapan aturan tersebut, menurut dia, Indonesia akan merasakan ‘demam-demam’ karena menurunnya pendapatan dari nilai ekspor komoditas mineral mentah, namun dalam jangka panjang akan memberikan kesejahteraan rakyat.
“Biasa, seperti setelah divaksin, badan akan demam sementara. Tapi setelah itu akan sehat jangka panjangnya. Juga Indonesia akan banyak diuntungkan dengan menjadi negara industri yang bisa dibuat di berbagai lokasi di seluruh Indonesia, sehingga akan ada pemerataan pembangunan dan penyerapan tenaga kerja,” tutur Bobby.
Menurut dia, bila pemerintah sebelum 12 Januari 2014 merevisi Peraturan Pemerintah (PP ) Nomor23/2010 diharapkan isinya sejalan dengan semangat UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
“Bukannya melegitimasi penundaan pembangunan smelter atau proses tambah nilai dengan alasan apapun. Hal yang paling tepat adalah interpretasi UU Nomor 4 Tahun 2009 dalam Permen ESDM Nomor 7/2012 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Semoga Dirjen Minerba yang baru tidak masuk angin dengan merevisi definisi teknis pengolahan dan pemurnian dalam Permen tersebut,” papar dia.
Sekedar mengingatkan, larangan ekspor mineral mentah sesuai dengan aturan akan diberlakukan mulai 12 Januari 2014. Dengan larangan itu, maka semua produk pertambangan mentah harus diolah di dalam negeri melalui smelter yang wajib dibangun oleh perusahaan yang melakukan penambangan mineral, selanjutnya baru bisa ekspor.
Kendati demikian, hingga saat ini baru sekitar 28 perusahaan yang telah memulai membangun smelter dengan progres sekitar 30 persen.
Di samping itu, banyak muncul tuntutan untuk menunda pemberlakuan aturan tersebut, baik dari kalangan pengusaha pertambangan maupun karyawan. Mereka khawatir penerapan UU Minerba akan menciptakan PHK besar-besaran dan kolapsnya perusahaan pertambangan.
Menanggapi itu, pemerintah sedang mencari solusi atas pro dan kontra yang terjadi, termasuk kemungkinan menunda pemberlakuan UU tersebut.
(rna)