Uang kapitasi daerah terhambat aturan Perda

Jum'at, 10 Januari 2014 - 18:52 WIB
Uang kapitasi daerah terhambat aturan Perda
Uang kapitasi daerah terhambat aturan Perda
A A A
Sindonews.com - Pemberian kapitasi kepada pelayanan primer di beberapa daerah terbentur oleh aturan Perda karena uang yang diterima harus masuk dalam Pendapan Asli Daerah (PAD) atau kas daerah. Hal ini menjadi kendala pemerintah dalam pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung laksono mengatakan, dalam sistem ini diberikan kepercayaan kepada pusat pelayanan tingkat primer untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Namun permasalahan yang dihadapi saat ini, uang kapitasi yang seharusnya diterima masuk kedalam PAD atau kas daerah.

Menurut dia, selanjutnya pemerintah akan segera melakukan singkronisasi terkait Perda yang dibuat beberapa daerah. Kemungkinan diperlukan pembuatan peraturan baru sebagai dasar hukum. Karena saat ini edaran menteri yang tidak tidak berjalan maksimal.

"Kita akan buat dasar hukum kuat, mungkin Kepres, Perpres, atau PP. Sehingga betul terjadi peningkatan kapitasi yang berbuah manfaat. Singkronisasi diberikan sampai 3 minggu mendatang," tandasnya saat ditemui di Kantor Kemenko Kesra, Jumat (10/1/2014).

Agung mengatakan, singkronisasi yang akan dilakukan kepada UU keuangan daerah, UU SJSN, UU BPJS beserta turunannya yaitu 10 PP tersebut. Hal ini dilakukan, jangan sampai Perda yang ada bertentangan dengan aturan pemerintah pusat. Selain itu juga, kemampuan keuangan negara juga harus dilihat jika ingin merubah PBI.

Untuk itu, kemungkinan akan ada kenaikan PBI pada tahun ini. Namun, pememrintah belum menentukan berapa jumlah dan kepastianya.

"Saat ini masih dipikirkan formulasi untuk melakukan perubahan PBI. Tapi tidak mungkin dalam waktu dekat, biarkan ini berjalan. Yang terpenting adalah ada peningkatan manfaat yang diterima," kata Agung.

Dia menambahkan, peningkatan insentif dan kapitasi terjadi dalam sistem Jaminan Kesehatan Kesehatan (JKN) sebelumnya dalam Program Jaminan kesehatan (Jamkesmas) hanya Rp1.000. Namun pada sistem JKN kapitas yang diberikan antara Rp6.000-Rp8.000 bahkan Rp10 ribu.

Untuk itu, sosialisasi tetap harus ditingkatkan untuk mengajak masyarakat mengikuti program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Dalam hal ini, Pemda diharapkan jangan 'berpaku tangan'. Dibutuhkan inisiatif daerah untuk memperluas JKN di masyarakatnya.

"Program kesehatan didaerah lalu kan terbatas baik pelayanan maupun APBD. Kalau JKN kan bisa digunakan dimana-mana dan dapat mengcover berbagai penyakit," ujar nya.

Menko Kesra menerangkan, saat ini belum dapat dikatakan kepuasan yang diterima masyarakat 100 persen. Secara bertahap dilakukan evaluasi dan perbaikan, secepatnya meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk melakukan sosialisasi berjenjang kepada gubernur dan bupati.

Evaluasi kedepan selama 3 bulan dan 6 bulan kita lakukan. Peningkatan sosialisasi berjenjang dan serentak juga akan menjadi priorotas," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin mengatakan, pemerintah harus merubah regulasi yang melibatkan Kemendagri terkait pembuata peraturan baik Perpres maupun PP. Karena dibutuhkan peraturan yang lebih tinggi dari otonomi daerah.

Zainal mengatakan, dana yang dialokasikan BPJS tidak langsung sampai ke puskesmas dan RSUD. Tetapi masuk ke Pemda dalam PAD atau kas daerah.

Hal ini dikhawatirkan Pemda tidak mengalokasikan semuanya. Maka akan berdampak pada pembagian kepada petugas-petugas kesehatan di sana.

Selain itu, perlu ada intensif lebih yang diberikan petugas kesehatan yang ada dipelayanan primer. Dalam hal ini IDI usulkan Rp2-3 juta.

"Agar mereka tidak mengira-ngira sisa uang yang dapat diperoleh. Selain itu hal ini juga bermanfaat untuk peningkatan pelyanan kesehatan yang strategis," kata dia saat ditemui di Kantor IDI.

Kepala Departemen Humas BPJS Irfan Humaidi mengatakan, terkait dengan kapitasi pelayanan primer yang terdapat dokter kapitasi yang diberikan Rp3.000, sedangkan yang tidak ada dokternya sebesar Rp6.000. Pembayaran secara menyeleuruh ini mengharuskan pelayanan primer untuk masyarakatnya tidak gampang sakit, agar banyak surplus yang diterima.

Menurut dia, pendapatan kapitas dari sebuah pelayanan makan tergantung kepada volume pesertanya. Untuk itu, proses untuk menaikan standar dan maping yang dilakukan.

"Ini program yang melibatkan gotong royong untuk menjalankan sistem yang sama. Makanya perlu ada kesadaran dari setiap individu," ujar dia.

Saat ini, lanjut dia, ada sekitar 900 rumah sakit milik pemerintah dan 1.700 rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7069 seconds (0.1#10.140)