Qanun Pertambangan wajib merujuk aturan di atasnya
A
A
A
Sindonews.com - Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara di Aceh kini menjadi resah. Pasalnya, Pemerintah Provinsi Aceh mengundangkan Qanun Pertambangan. Dengan terbitnya Qanun tersebut, pemegang IUP harus membayar pajak ganda kepada pemerintah.
Salah satu isi Qanun ini, mengatur dana kompensasi yang harus diberikan pengusaha tambang yang besarnya mulai dari 2,5 persen untuk batu bara di bawah 5.100 kalori per kilogram (kg) hingga sebesar 6,6 persen untuk batu bara di atas 6.100 kalori per kg.
Dana kompensasi itu jelas memberatkan pengusaha. Maklum, dengan terbitnya Qanun tersebut, pengusaha harus setor dana ke pemerintah pusat maupun ke pemerintah Aceh lebih dari 12 persen, termasuk di dalamnya dana corporate social responsibility (CSR) sebesar 1-2 persen.
Keberatan pengusaha itu tentu bisa dimaklumi. Seperti diketahui, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah mengharuskan pengusaha tambang batu bara membayar royalti sebesar 5 persen.
Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kini menjadi pengamat pertambangan, Simon F Sembiring menilai, penerapan aturan di daerah terutama berkaitan dengan keuangan, tidak bisa lebih tinggi atau melebihi apa yang sudah ditetapkan di undang-undang maupun peraturan pemerintah.
“Perda itu tidak bisa melebihi angka yang sudah ditentukan di PP, misal yang sudah ditentukan royalti ditetapkan 5 persen, tidak bisa melebihi itu. Itu dasarnya,” tegas Simon, kepada wartawan akhir minggu lalu.
Ia mengingatkan, khusus minerba, termasuk pertambangan batu bara, sudah diatur dalam UU Minerba. Sementara dalam urusan pajak sudah ada UU Pajak, UU PNBP. Jadi, setiap pungutan di daerah mengacu ke sana.
“Setiap aturan di daerah, harus disetujui dulu pemerintah pusat apalagi jika menyangkut keuangan. Saya tidak bisa bicara besaran angka dulu tapi dari substansinya begitu,” tegas Simon.
Alhasil, jika belum disetujui pemerintah pusat, maka setiap aturan di daerah yang berkaitan dengan keuangan tidak bisa dilaksanakan. Dia menyebut, selama ini produk turunan dari undang-undang memang selalu bermasalah, mulai dari sisi PP, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah.
“UU tidak pernah ada salah, selalu turunannya yang salah. Implementasi tingkat Permen, Perda. Soal yang ini juga belum tentu disetujui pemerintah pusat karena urusan pertambangan nanti akan dibahas Menteri Dalam Negeri, Menteri ESDM, juga Menteri Keuangan. Kalau belum disetujui, perda itu tentu tidak sah,” tandasnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi Aceh dalam Rancangan Qanun (Raqan) Pertambangan. Di Pasal 62 ayat (1) Raqan Pertambangan disebutkan, Pemerintah Aceh menetapkan dana kompensasi atas operasi produksi sumber daya mineral logam dan batu bara pada pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi.
Sementara di ayat (4) disebutkan Besaran Dana Kompensasi atas operasi produksi Sumber Daya Alam Mineral dan Batubara dibagi masing-masing: (a) Pemerintah Aceh sebesar 40 persen; (b) Pemerintah Kabupaten/Kota penghasil sebesar 40 persen; dan (c) Pemerintah Kabupaten/Kota bukan penghasil sebesar 20 persen.
Di ayat (5) disebutkan, Besaran Dana Kompensasi untuk Pemerintah Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dibagi sebesar 25 persen kepada kecamatan penghasil. Kemudian ayat (6) Besaran Dana Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan dalam bentuk program/kegiatan.
Salah satu isi Qanun ini, mengatur dana kompensasi yang harus diberikan pengusaha tambang yang besarnya mulai dari 2,5 persen untuk batu bara di bawah 5.100 kalori per kilogram (kg) hingga sebesar 6,6 persen untuk batu bara di atas 6.100 kalori per kg.
Dana kompensasi itu jelas memberatkan pengusaha. Maklum, dengan terbitnya Qanun tersebut, pengusaha harus setor dana ke pemerintah pusat maupun ke pemerintah Aceh lebih dari 12 persen, termasuk di dalamnya dana corporate social responsibility (CSR) sebesar 1-2 persen.
Keberatan pengusaha itu tentu bisa dimaklumi. Seperti diketahui, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah mengharuskan pengusaha tambang batu bara membayar royalti sebesar 5 persen.
Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kini menjadi pengamat pertambangan, Simon F Sembiring menilai, penerapan aturan di daerah terutama berkaitan dengan keuangan, tidak bisa lebih tinggi atau melebihi apa yang sudah ditetapkan di undang-undang maupun peraturan pemerintah.
“Perda itu tidak bisa melebihi angka yang sudah ditentukan di PP, misal yang sudah ditentukan royalti ditetapkan 5 persen, tidak bisa melebihi itu. Itu dasarnya,” tegas Simon, kepada wartawan akhir minggu lalu.
Ia mengingatkan, khusus minerba, termasuk pertambangan batu bara, sudah diatur dalam UU Minerba. Sementara dalam urusan pajak sudah ada UU Pajak, UU PNBP. Jadi, setiap pungutan di daerah mengacu ke sana.
“Setiap aturan di daerah, harus disetujui dulu pemerintah pusat apalagi jika menyangkut keuangan. Saya tidak bisa bicara besaran angka dulu tapi dari substansinya begitu,” tegas Simon.
Alhasil, jika belum disetujui pemerintah pusat, maka setiap aturan di daerah yang berkaitan dengan keuangan tidak bisa dilaksanakan. Dia menyebut, selama ini produk turunan dari undang-undang memang selalu bermasalah, mulai dari sisi PP, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah.
“UU tidak pernah ada salah, selalu turunannya yang salah. Implementasi tingkat Permen, Perda. Soal yang ini juga belum tentu disetujui pemerintah pusat karena urusan pertambangan nanti akan dibahas Menteri Dalam Negeri, Menteri ESDM, juga Menteri Keuangan. Kalau belum disetujui, perda itu tentu tidak sah,” tandasnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi Aceh dalam Rancangan Qanun (Raqan) Pertambangan. Di Pasal 62 ayat (1) Raqan Pertambangan disebutkan, Pemerintah Aceh menetapkan dana kompensasi atas operasi produksi sumber daya mineral logam dan batu bara pada pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi.
Sementara di ayat (4) disebutkan Besaran Dana Kompensasi atas operasi produksi Sumber Daya Alam Mineral dan Batubara dibagi masing-masing: (a) Pemerintah Aceh sebesar 40 persen; (b) Pemerintah Kabupaten/Kota penghasil sebesar 40 persen; dan (c) Pemerintah Kabupaten/Kota bukan penghasil sebesar 20 persen.
Di ayat (5) disebutkan, Besaran Dana Kompensasi untuk Pemerintah Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dibagi sebesar 25 persen kepada kecamatan penghasil. Kemudian ayat (6) Besaran Dana Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan dalam bentuk program/kegiatan.
(gpr)