Pemerintah jangan gegabah setujui qanun pertambangan
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah Provinsi Aceh telah menerbitkan qanun atau peraturan daerah tentang tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Namun, pengamat pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengingatkan pemerintah pusat, yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk tidak gegabah menyetujui qanun ini.
Jika Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi setuju dengan qanun ini, bisa dipastikan akan menimbulkan polemik. Selain kontraproduktif terhadap upaya menarik investor guna menggerakkan ekonomi Aceh, qanun itu juga bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Marwan menilai, salah satu pasal yang menabrak UU Minerba terkait dengan penetapan dana kompensasi sumber daya alam untuk pemerintah Aceh yang besarnya antara 2,5 persen hingga 6,6 persen. Selain itu pengusaha juga masih dibebani dana pengembangan masyarakat yang ditetapkan paling sedikit 2 persen.
Jika pasal-pasal dalam qanun tersebut diberlakukan, maka pengusaha tambang di Aceh harus menyediakan dana untuk royalti dan kompensasi sebesar 12 persen. “Ini jelas memberatkan para pengusaha tambang,” ujar Marwan, kepada wartawan, Rabu (5/2/2014).
Mengacu pada fakta tersebut, Marwan menegaskan, setiap aturan daerah yang berkaitan dengan mineral atau batu bara harus selalu merujuk pada UU Minerba. Tak ada pengecualian terhadap daerah manapun, termasuk Aceh. Bagaimanapun Aceh masih menjadi bagian dari Republik Indonesia.
“Misal Papua juga memiliki Undang-Undang Otonomi Khusus, namun soal minerba meski di sana ada Freeport, mereka tetap mengikuti aturan yang ada di UU Minerba,” ujarnya.
Ia mengingatkan, sudah banyak peraturan daerah dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena bertentangan dengan undang-undang dan tidak sesuai dengan semangat desentralisasi daerah.
“Harus diperhatikan juga oleh Aceh atau daerah manapun yang akan memberlakukan tarif baru, harus selalu merujuk undang-undang. Kemudian juga pusat harus mengendalikan mengatur aturan-aturan di daerah yang bertentangan itu," imbuhnya.
Ia mengingatkan, jangan karena semata hendak menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) kemudian tidak memperhatikan undang-undang yang ada di atasnya.
Marwan menggambarkan, jika ada aturan otonomi khusus (otsus), seperti Aceh dan Papua, tetap berlaku mana yang boleh dijalankan daerah otsus itu dan mana yang tidak boleh. Apalagi dalam UU Minerba tidak ada pengecualian untuk daerah otsus atau tidak.
Sebelumnya, pengamat pertambangan Simon F Sembiring juga menegaskan bahwa qanun di Aceh itu tidak bisa lebih tinggi atau melebihi apa yang sudah ditetapkan di Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah (PP). “Misal yang sudah ditentukan royalti ditetapkan 5 persen, tidak bisa melebihi itu. Itu dasarnya,” ujar Simon.
Ia mengingatkan, khusus minerba, termasuk pertambangan batu bara, sudah diatur dalam UU Minerba sedangkan terkait dengan pajak sudah ada UU Pajak dan UU PNBP. Jadi, setiap pungutan di daerah mengacu ke sana.
“Setiap aturan di daerah, harus disetujui dulu oleh pemerintah pusat apalagi jika menyangkut keuangan,” tegas Simon.
Namun, pengamat pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengingatkan pemerintah pusat, yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk tidak gegabah menyetujui qanun ini.
Jika Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi setuju dengan qanun ini, bisa dipastikan akan menimbulkan polemik. Selain kontraproduktif terhadap upaya menarik investor guna menggerakkan ekonomi Aceh, qanun itu juga bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Marwan menilai, salah satu pasal yang menabrak UU Minerba terkait dengan penetapan dana kompensasi sumber daya alam untuk pemerintah Aceh yang besarnya antara 2,5 persen hingga 6,6 persen. Selain itu pengusaha juga masih dibebani dana pengembangan masyarakat yang ditetapkan paling sedikit 2 persen.
Jika pasal-pasal dalam qanun tersebut diberlakukan, maka pengusaha tambang di Aceh harus menyediakan dana untuk royalti dan kompensasi sebesar 12 persen. “Ini jelas memberatkan para pengusaha tambang,” ujar Marwan, kepada wartawan, Rabu (5/2/2014).
Mengacu pada fakta tersebut, Marwan menegaskan, setiap aturan daerah yang berkaitan dengan mineral atau batu bara harus selalu merujuk pada UU Minerba. Tak ada pengecualian terhadap daerah manapun, termasuk Aceh. Bagaimanapun Aceh masih menjadi bagian dari Republik Indonesia.
“Misal Papua juga memiliki Undang-Undang Otonomi Khusus, namun soal minerba meski di sana ada Freeport, mereka tetap mengikuti aturan yang ada di UU Minerba,” ujarnya.
Ia mengingatkan, sudah banyak peraturan daerah dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena bertentangan dengan undang-undang dan tidak sesuai dengan semangat desentralisasi daerah.
“Harus diperhatikan juga oleh Aceh atau daerah manapun yang akan memberlakukan tarif baru, harus selalu merujuk undang-undang. Kemudian juga pusat harus mengendalikan mengatur aturan-aturan di daerah yang bertentangan itu," imbuhnya.
Ia mengingatkan, jangan karena semata hendak menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) kemudian tidak memperhatikan undang-undang yang ada di atasnya.
Marwan menggambarkan, jika ada aturan otonomi khusus (otsus), seperti Aceh dan Papua, tetap berlaku mana yang boleh dijalankan daerah otsus itu dan mana yang tidak boleh. Apalagi dalam UU Minerba tidak ada pengecualian untuk daerah otsus atau tidak.
Sebelumnya, pengamat pertambangan Simon F Sembiring juga menegaskan bahwa qanun di Aceh itu tidak bisa lebih tinggi atau melebihi apa yang sudah ditetapkan di Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah (PP). “Misal yang sudah ditentukan royalti ditetapkan 5 persen, tidak bisa melebihi itu. Itu dasarnya,” ujar Simon.
Ia mengingatkan, khusus minerba, termasuk pertambangan batu bara, sudah diatur dalam UU Minerba sedangkan terkait dengan pajak sudah ada UU Pajak dan UU PNBP. Jadi, setiap pungutan di daerah mengacu ke sana.
“Setiap aturan di daerah, harus disetujui dulu oleh pemerintah pusat apalagi jika menyangkut keuangan,” tegas Simon.
(gpr)