OJK tetap tarik pungutan meski banyak ditentang
A
A
A
Sindonews.com - Meski banyak mendapat tentangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap akan melaksanakan pungutan terhadap industri jasa keuangan baik pasar modal, perbankan dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) lainnya pada 1 Maret 2014.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida beralasan, pungutan tersebut memiliki dasar hukum yang kuat dan mengikat. Sehingga rencana tersebut dapat direalisasikan tepat waktu.
"Soal pungutan kan Peraturan Pemerintah (PP) No 11/2014 sudah keluar, kemudian nanti kita akan sosialisasi lebih lanjut," ujarnya di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (28/2/2014).
Sama halnya yang sering disampaikan OJK, Nurhaida pun menegaskan bahwa pungutan ini diharapkan dapat meningkatkan independensi industri jasa keuangan tanah air. Karena dana pengawasan tak lagi bergantung pada dana APBN.
"Dengan adanya pekerjaan OJK yang maksimal dalam pengaturan pengawasan itu dampaknya ke perekonomian kita semakin besar atau sektor keuangan semakin besar shg pelkau industri mendapat manfaat dalam sektor jasa keuangan dan pihak-pihak lain yang kemudian manfaatnya ada," jelas Nurhaida.
Sebelumnya, dalam ketentuan PP No 11/2014 tentang lembaga jasa keuangan, akan dibebankan biaya tahunan sebesar 0,045 persen dari aset. Adapun, beban 0,045 persen baru akan diberlakukan penuh pada 2016, dan untuk saat ini sebesar 0,03 persen.
Sementara, biaya tahunan ini dikenakan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian OJK. Mengutip dari PP, ada juga manajer investasi yang diharuskan membayar 0,045 persen dari total dana kelolaan.
Sedangkan untuk perusahaan penjamin emisi efek (PEE) dan perantara perdagangan efek (PPE) akan dikenakan 1,2 persen dari pendapatan usaha dan paling sedikit Rp10 juta.
Selain itu, untuk emiten akan dikenakan 0,03 persen dari nilai emisi efek atau nilai outstanding. Bagi emiten, ada ketentuan minimal nilai pungutan, yakni Rp15 juta dan maksimal Rp150 juta. Untuk perusahaan publik akan dikenakan 1,2 persen dari pendapatan usaha atau paling sedikit Rp5 juta.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida beralasan, pungutan tersebut memiliki dasar hukum yang kuat dan mengikat. Sehingga rencana tersebut dapat direalisasikan tepat waktu.
"Soal pungutan kan Peraturan Pemerintah (PP) No 11/2014 sudah keluar, kemudian nanti kita akan sosialisasi lebih lanjut," ujarnya di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (28/2/2014).
Sama halnya yang sering disampaikan OJK, Nurhaida pun menegaskan bahwa pungutan ini diharapkan dapat meningkatkan independensi industri jasa keuangan tanah air. Karena dana pengawasan tak lagi bergantung pada dana APBN.
"Dengan adanya pekerjaan OJK yang maksimal dalam pengaturan pengawasan itu dampaknya ke perekonomian kita semakin besar atau sektor keuangan semakin besar shg pelkau industri mendapat manfaat dalam sektor jasa keuangan dan pihak-pihak lain yang kemudian manfaatnya ada," jelas Nurhaida.
Sebelumnya, dalam ketentuan PP No 11/2014 tentang lembaga jasa keuangan, akan dibebankan biaya tahunan sebesar 0,045 persen dari aset. Adapun, beban 0,045 persen baru akan diberlakukan penuh pada 2016, dan untuk saat ini sebesar 0,03 persen.
Sementara, biaya tahunan ini dikenakan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian OJK. Mengutip dari PP, ada juga manajer investasi yang diharuskan membayar 0,045 persen dari total dana kelolaan.
Sedangkan untuk perusahaan penjamin emisi efek (PEE) dan perantara perdagangan efek (PPE) akan dikenakan 1,2 persen dari pendapatan usaha dan paling sedikit Rp10 juta.
Selain itu, untuk emiten akan dikenakan 0,03 persen dari nilai emisi efek atau nilai outstanding. Bagi emiten, ada ketentuan minimal nilai pungutan, yakni Rp15 juta dan maksimal Rp150 juta. Untuk perusahaan publik akan dikenakan 1,2 persen dari pendapatan usaha atau paling sedikit Rp5 juta.
(izz)