Pendapatan pengusaha percetakan anjlok
A
A
A
Sindonews.com - Menjelang pemilihan umum 2014, pengusaha reklame dan percetakan yang terletak di bilangan Senen, Jakarta Pusat justru mengalami kerugian.
Pasalnya, larangan kampanye dengan konvoi dan pawai oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakibatkan para calon legislatif enggan menghabiskan dana kampanyenya untuk membuat atribut kampanye dalam jumlah besar.
Syamsudin, pengusaha percetakan dan reklame di Blok III Proyek Senen mengaku telah mengalami penurunan pendapatan lantaran partai-partai yang berebut kursi legislatif tidak memesan atribut kampanye seperti pemilu 2009.
"Untuk sekarang nggak ada untungnya, partai pada enggak belanja lagi. Malah sudah dibikin dari jauh-jauh hari enggak ada yang beli. Rugi saya," ujarnya kepada Sindonews, Jumat (4/4/2014).
Dia mengatakan, ketika pemilu 2009 percetakannya bisa kebanjiran order dan mendapat untung berlipat. Bahkan menurutnya, dengan untung dari hasil usahanya itu bisa untuk membiayai dua anaknya kuliah.
"Bedanya jauh sekali. Kalau dulu selama partai berjalan, mungkin bisa kasih anak kuliah dua orang. Kalau sekarang untuk satu orang saja enggak bisa dikuliahkan. Peraturan mendadak, terus tidak disosialisasikan kepada masyarakat dulu," ujarnya.
Saat ini, kata dia, yang banyak dipesan partai hanya kartu nama, kalender, dan stiker. Padahal di pemilu 2009, dia mengaku kebanjiran order untuk kaos, bendera, dan jaket.
"Kalo sekarang yang pesan aja. Stiker, kartu nama, sama kalender yang banyak. Kalau kaos ada yang pesan tapi enggak banyak, paling cuma 100 atau 200 potong. Enggak jalan saya, bukan saya saja sebenarnya. Anda lihat sendiri kan toko-toko yang lain juga sepi order," tuturnya.
Namun, ketika ditanya berapa jumlah kerugian yang ditaksir, dia mengaku belum bisa menjawab. Karena masih akan dilihat beberapa hari ke depan setelah pemilu.
"Saya belum tahu, barang belum dihitung. Tapi barangnya bertumpuk, misalnya nanti pemilu sudah selesai ya tidak laku lagi. Tapi begini, ini kan barang jasa. Kalau orang pesan kaos kita beli kaos terus kita sablon, orang beli bendera kita beli kain terus kita sablon," pungkas Syamsudin.
Pasalnya, larangan kampanye dengan konvoi dan pawai oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakibatkan para calon legislatif enggan menghabiskan dana kampanyenya untuk membuat atribut kampanye dalam jumlah besar.
Syamsudin, pengusaha percetakan dan reklame di Blok III Proyek Senen mengaku telah mengalami penurunan pendapatan lantaran partai-partai yang berebut kursi legislatif tidak memesan atribut kampanye seperti pemilu 2009.
"Untuk sekarang nggak ada untungnya, partai pada enggak belanja lagi. Malah sudah dibikin dari jauh-jauh hari enggak ada yang beli. Rugi saya," ujarnya kepada Sindonews, Jumat (4/4/2014).
Dia mengatakan, ketika pemilu 2009 percetakannya bisa kebanjiran order dan mendapat untung berlipat. Bahkan menurutnya, dengan untung dari hasil usahanya itu bisa untuk membiayai dua anaknya kuliah.
"Bedanya jauh sekali. Kalau dulu selama partai berjalan, mungkin bisa kasih anak kuliah dua orang. Kalau sekarang untuk satu orang saja enggak bisa dikuliahkan. Peraturan mendadak, terus tidak disosialisasikan kepada masyarakat dulu," ujarnya.
Saat ini, kata dia, yang banyak dipesan partai hanya kartu nama, kalender, dan stiker. Padahal di pemilu 2009, dia mengaku kebanjiran order untuk kaos, bendera, dan jaket.
"Kalo sekarang yang pesan aja. Stiker, kartu nama, sama kalender yang banyak. Kalau kaos ada yang pesan tapi enggak banyak, paling cuma 100 atau 200 potong. Enggak jalan saya, bukan saya saja sebenarnya. Anda lihat sendiri kan toko-toko yang lain juga sepi order," tuturnya.
Namun, ketika ditanya berapa jumlah kerugian yang ditaksir, dia mengaku belum bisa menjawab. Karena masih akan dilihat beberapa hari ke depan setelah pemilu.
"Saya belum tahu, barang belum dihitung. Tapi barangnya bertumpuk, misalnya nanti pemilu sudah selesai ya tidak laku lagi. Tapi begini, ini kan barang jasa. Kalau orang pesan kaos kita beli kaos terus kita sablon, orang beli bendera kita beli kain terus kita sablon," pungkas Syamsudin.
(izz)