Pembebasan bea masuk kakao harus pertimbangkan petani
A
A
A
Sindonews.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah sepakat untuk mengusulkan pembebasan bea masuk bagi impor kakao. Usulan tersebut tinggal menunggu persetujuan Kementerian Pertanian untuk kemudian diajukan kepada Kementerian Keuangan.
Menanggapi usulan Kemperin dan Kemendag, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto mengingatkan, pembebasan bea masuk harus mempertimbangkan keuntungan/kerugian petani.
Dia mengingatkan, pemberlakuan bea masuk 0 persen terhadap impor kakao bisa mendorong petani kakao untuk tidak menanam kakao lagi dan beralih ke tanaman lain. Pasalnya, melimpahnya kakao impor bisa menurunkan harga kakao mereka. Kondisi tersebut bisa mengakibatkan produksi kakao dalam negeri makin turun.
“Kalau dibebaskan malah petani tidak dapat insentif, produksi turun, kembali ke industrinya kekurangan bahan. Memang kita harus lihat petani. Kalau pedagang okelah selalu ada margin,” tutur Andin di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jln Jenderal Gatot Subroto No 40-42, Jakarta, Selasa (8/4/2014) malam.
Sebagai informasi, saat ini impor kakao dikenai tariff bea masuk 5 persen. Impor kakao Indonesia sebagian besar dari Pantai Gading, Papua Nugini, dan Ekuador.
Kemenperin dan Kemendag mengajukan pembebasan bea masuk impor kakao dengan alasan industri kakao kekurangan pasokan. Padahal, mereka ingin meningkatkan produksi.
“Dari sisi industri memang akan mengurangi costnya, karena impor jadi lebih murah,” imbuhnya.
Karena itulah, menurutnya, perlu dikaji lebih lanjut apakah pasokan kakao dalam negeri memang tidak mencukup atau karena banyak kakao yang diekspor daripada diolah dalam negeri.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kakao Indonesia pada Januari-Februari 2014 mencapai USD51,36 juta, meningkat 27,68 persen dibandingkan Januari-Februari 2013. Sementara itu, secara kumulatif ekspor kakao 2013 menembus USD1,15 miliar.
“Impor apakah karena tidak cukup sama sekali, kalau itu salah satu pertimbangannya bisa dibebaskan. Tapi kalau masih ada yang diekspor, kita lihat lagi,” tandasnya.
Menanggapi usulan Kemperin dan Kemendag, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto mengingatkan, pembebasan bea masuk harus mempertimbangkan keuntungan/kerugian petani.
Dia mengingatkan, pemberlakuan bea masuk 0 persen terhadap impor kakao bisa mendorong petani kakao untuk tidak menanam kakao lagi dan beralih ke tanaman lain. Pasalnya, melimpahnya kakao impor bisa menurunkan harga kakao mereka. Kondisi tersebut bisa mengakibatkan produksi kakao dalam negeri makin turun.
“Kalau dibebaskan malah petani tidak dapat insentif, produksi turun, kembali ke industrinya kekurangan bahan. Memang kita harus lihat petani. Kalau pedagang okelah selalu ada margin,” tutur Andin di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jln Jenderal Gatot Subroto No 40-42, Jakarta, Selasa (8/4/2014) malam.
Sebagai informasi, saat ini impor kakao dikenai tariff bea masuk 5 persen. Impor kakao Indonesia sebagian besar dari Pantai Gading, Papua Nugini, dan Ekuador.
Kemenperin dan Kemendag mengajukan pembebasan bea masuk impor kakao dengan alasan industri kakao kekurangan pasokan. Padahal, mereka ingin meningkatkan produksi.
“Dari sisi industri memang akan mengurangi costnya, karena impor jadi lebih murah,” imbuhnya.
Karena itulah, menurutnya, perlu dikaji lebih lanjut apakah pasokan kakao dalam negeri memang tidak mencukup atau karena banyak kakao yang diekspor daripada diolah dalam negeri.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kakao Indonesia pada Januari-Februari 2014 mencapai USD51,36 juta, meningkat 27,68 persen dibandingkan Januari-Februari 2013. Sementara itu, secara kumulatif ekspor kakao 2013 menembus USD1,15 miliar.
“Impor apakah karena tidak cukup sama sekali, kalau itu salah satu pertimbangannya bisa dibebaskan. Tapi kalau masih ada yang diekspor, kita lihat lagi,” tandasnya.
(gpr)