Izin ekspor Freeport dan Newmont menyimpang UU Minerba
A
A
A
Sindonews.com - Rekomendasi Surat Persetujuan Ekspor (SPE) yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terhadap PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara memunculkan banyak pertanyaan besar.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM tidak konsisten menerapkan Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batuibara (Minerba).
Menurut Marwan, ketidakkonsistenan tersebut dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2014 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2014, yang tidak sejalan dengan UU Minerba.
"Ya, kan itu sebetulnya sesuai dengan ketentuan yang ada di PP No 1 tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 tahun 2014, yang isinya mineral masih boleh diekspor untuk jenis dan kadar tertentu sampai 2017. Meskipun kalau mau bicara konsisten dengan UU Minerba, itu namanya ekspor mineral mentah sudah tidak boleh. Tapi adanya PP ini sebetulnya menyimpang," ungkapnya ketika dihubungi Sindonews, Sabtu (26/4/2014).
Menurut Marwan, kedua peraturan tersebut menyebabkan relaksasi untuk para kontraktor dapat mengekspor mineral mentah. Padahal, dalam UU Minerba disebutkan para pemegang Kontrak Karya (KK) diwajibkan melakukan pemurnian hingga kadar di atas 68 persen untuk diperbolehkan ekspor. Namun, karena adanya peraturan tersebut, kadar diturunkan menjadi di atas 15 persen.
"Maka untuk pemegang IUP (izin usaha pertambangan) sebetulnya kadar yang masih di bawah 68 persen itu masih dibolehkan. Jadi, yang menjadi masalah ya itu. Kan PP-nya sudah terbit. Artinya, ya mereka punya dasar. Jadi PP-nya bilang boleh ekspor, asalkan bayar pajak ekspor," imbuhnya.
Permasalahan dalam dua bulan terakhir, lanjut Marwan, Freeport dan Newmont berkeberatan dengan pajak ekspornya. Jadi, jika sekarang sudah dapat rekomendasi izin ekspor, maka berarti mereka sudah ada kesepakatan, meskipun pembangunan smelter belum dilaksanakan.
"Yang jelas pajak ekspornya progresif dari 20 persen pada tahun ini naik sampai ke 60 persen di 2017. Jadi ketentuannya sudah ada," jelasnya.
Seperti diketahui, Freeport dan Newmont akhirnya mengantongi rekomendasi izin ekspor (SPE) dari Kementerian ESDM. Kedua perusahaan tambang kelas kakap itu juga sudah bersedia membangun smelter dan uang jaminan telah diserahkan ke bank.
Selain Freeport dan Newmont, tiga perusahaan tambang lainnya yang sudah mendapatkan rekomendasi izin ekspor adalah PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), PT Lumbung Mineral Sentosa, dan PT Damar Narmada Bakti. Kini, surat izin ekspor tinggal menunggu keputusan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM tidak konsisten menerapkan Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batuibara (Minerba).
Menurut Marwan, ketidakkonsistenan tersebut dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2014 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2014, yang tidak sejalan dengan UU Minerba.
"Ya, kan itu sebetulnya sesuai dengan ketentuan yang ada di PP No 1 tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 tahun 2014, yang isinya mineral masih boleh diekspor untuk jenis dan kadar tertentu sampai 2017. Meskipun kalau mau bicara konsisten dengan UU Minerba, itu namanya ekspor mineral mentah sudah tidak boleh. Tapi adanya PP ini sebetulnya menyimpang," ungkapnya ketika dihubungi Sindonews, Sabtu (26/4/2014).
Menurut Marwan, kedua peraturan tersebut menyebabkan relaksasi untuk para kontraktor dapat mengekspor mineral mentah. Padahal, dalam UU Minerba disebutkan para pemegang Kontrak Karya (KK) diwajibkan melakukan pemurnian hingga kadar di atas 68 persen untuk diperbolehkan ekspor. Namun, karena adanya peraturan tersebut, kadar diturunkan menjadi di atas 15 persen.
"Maka untuk pemegang IUP (izin usaha pertambangan) sebetulnya kadar yang masih di bawah 68 persen itu masih dibolehkan. Jadi, yang menjadi masalah ya itu. Kan PP-nya sudah terbit. Artinya, ya mereka punya dasar. Jadi PP-nya bilang boleh ekspor, asalkan bayar pajak ekspor," imbuhnya.
Permasalahan dalam dua bulan terakhir, lanjut Marwan, Freeport dan Newmont berkeberatan dengan pajak ekspornya. Jadi, jika sekarang sudah dapat rekomendasi izin ekspor, maka berarti mereka sudah ada kesepakatan, meskipun pembangunan smelter belum dilaksanakan.
"Yang jelas pajak ekspornya progresif dari 20 persen pada tahun ini naik sampai ke 60 persen di 2017. Jadi ketentuannya sudah ada," jelasnya.
Seperti diketahui, Freeport dan Newmont akhirnya mengantongi rekomendasi izin ekspor (SPE) dari Kementerian ESDM. Kedua perusahaan tambang kelas kakap itu juga sudah bersedia membangun smelter dan uang jaminan telah diserahkan ke bank.
Selain Freeport dan Newmont, tiga perusahaan tambang lainnya yang sudah mendapatkan rekomendasi izin ekspor adalah PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), PT Lumbung Mineral Sentosa, dan PT Damar Narmada Bakti. Kini, surat izin ekspor tinggal menunggu keputusan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).
(dmd)