LPEI Gelontorkan Rp70,5 M untuk Rumput Laut
A
A
A
JAKARTA - Dalam upaya mendorong perkembangan Industri rumput laut di Indonesia, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp70,5 miliar hingga April 2014.
"Selain melalui jasa konsultasi, kami dapat memberikan dukungan melalui pembinaan kepada pembubidaya agar dapat menghasilkan rumput laut yang sesuai dengan ketentuan pasar dunia serta memberikan pelatihan pengembangan komposisi produk pada calon eksportir," ujar Direktur Eksekutif LPEI I Made Gede Erata di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (3/6/2014).
Menurutnya, di tengah euforia kenaikan rumput laut, sejumlah tantangan industri rumput laut nasional juga harus diatasi. Pertama, belum maksimalnya kegiatan industri pengolahan rumput laut. Kedua, kurangnya diversifikasi produk rumput laut. Ketiga, tersendatnya pengembangan rumput laut akibat terganjal ketentuan tata ruang.
Keempat, lanjut dia, tidak adanya jaminan kualitas produksi. "Jaminan kualitas produksi, khususnya Died Euchema Seaweed (DES) di tingkat pembudidaya, secara umum masih belum memenuhi standar ekspor," kata dia.
Sementara, Communıty Organızer and Dev Programme Kalimajari, LSM yang bergerak dı bıdang pemberdayaan masyarakat, I Gustı Agung Ayu mengatakan, industri rumput laut 30% diserap pasar domestik, sisanya diekspor.
Dia menjelaskan, jika tidak ada serapan maka petani rumput laut tidak akan melakukan kegiatan tanam. "Padahal, pesaing utama komoditas rumput laut terutama produk agar-agar hanya dari Jepang," kata gustı.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Peraikanan (KKP), data produksi budidaya rumput laut Indonesia pada 2013 mencapai 8,2 juta ton lebih besar dari target yang ditetapkan pemerintah yaitu 7,5 ton. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara produsen rumput laut nomro dua di dunia.
"Selain melalui jasa konsultasi, kami dapat memberikan dukungan melalui pembinaan kepada pembubidaya agar dapat menghasilkan rumput laut yang sesuai dengan ketentuan pasar dunia serta memberikan pelatihan pengembangan komposisi produk pada calon eksportir," ujar Direktur Eksekutif LPEI I Made Gede Erata di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (3/6/2014).
Menurutnya, di tengah euforia kenaikan rumput laut, sejumlah tantangan industri rumput laut nasional juga harus diatasi. Pertama, belum maksimalnya kegiatan industri pengolahan rumput laut. Kedua, kurangnya diversifikasi produk rumput laut. Ketiga, tersendatnya pengembangan rumput laut akibat terganjal ketentuan tata ruang.
Keempat, lanjut dia, tidak adanya jaminan kualitas produksi. "Jaminan kualitas produksi, khususnya Died Euchema Seaweed (DES) di tingkat pembudidaya, secara umum masih belum memenuhi standar ekspor," kata dia.
Sementara, Communıty Organızer and Dev Programme Kalimajari, LSM yang bergerak dı bıdang pemberdayaan masyarakat, I Gustı Agung Ayu mengatakan, industri rumput laut 30% diserap pasar domestik, sisanya diekspor.
Dia menjelaskan, jika tidak ada serapan maka petani rumput laut tidak akan melakukan kegiatan tanam. "Padahal, pesaing utama komoditas rumput laut terutama produk agar-agar hanya dari Jepang," kata gustı.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Peraikanan (KKP), data produksi budidaya rumput laut Indonesia pada 2013 mencapai 8,2 juta ton lebih besar dari target yang ditetapkan pemerintah yaitu 7,5 ton. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara produsen rumput laut nomro dua di dunia.
(izz)