Pengusaha Kesulitan Peroleh Bahan Baku Impor
A
A
A
JAKARTA - Para pelaku usaha mengaku kesulitan memperoleh bahan baku impor akibat adanya aturan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dinilai belum tersosialisasikan dengan baik.
Hal tersebut diyakini akan mengancam kegiatan produksi dan mengganggu perekonomian nasional. Salah satu perusahaan yang mengeluhkan kondisi ini adalah PT Cheil Jedang Indonesia (CJI), perusahaan yang bergerak di bidang produksi asam amino.
Sulitnya memperoleh bahan baku impor jenis asam sulfat diyakini akan mengancam kegiatan produski dalam negeri.
Hal ini terjadi setelah pemerintah memberlakukan SNI untuk asam sulfat teknis berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No 63/M-IND/PER/12/2013 yang direvisi dengan Peraturan Menteri Perindustrian no 19/M-IND/PER/4/2014 yang secara teknis wajib berlaku per 12 Juni 2014.
"Waktu antara keluarnya peraturan akhir Desember 2013 dengan deadline 12 Juni 2014, kami rasakan sangat sempit. Apalagi kami justru mendapatkan informasi ini dari simpang siur berita dan bukan dari sosialisasi resmi. Aturan ini sangat memberatkan," kata Direktur PT CJI, Agus Sutijono di Jakarta, Rabu (11/6/2014).
Menurutnya, PT CJI memerlukan asam sulfat sebagai salah satu bahan produksi utama yang kebutuhannya mencapai 7.500 ton per bulan. Besarnya kebutuhan ini tidak mampu tercukupi oleh produsen lokal, sehingga mengancam kemampuan bertahan perusahaan dalam meneruskan produksi.
Ketidaksiapan pihak regulator dalam menyiapkan perangkat peraturan guna mendukung pelaksanaan di lapangan juga dinilai lambat. Untuk target waktu penetapan peraturan 12 Juni 2014, peraturan tekhnisnya baru keluar 23 Mei 2014.
Selain itu, penunjukan laboratorium penguji yang belum ditetapkan menteri terkait secara cepat. Kedua hal ini yang menyebabkan terjadinya ketidaksiapan perusahaan dalam menyiapkan data dan dokumen.
"Serta kebingungan di pihak lembaga yang berada dalam naungan Kementerian Perindustrian seperti LSPRO (Lembaga Sertifikasi Produk) dalam melakukan proses registrasi SNI," jelas Agus.
Sempitnya waktu dan kurangnya sosialisasi, menjadikan perusahaan yang bergerak di bidang food additive, feed additive dan bidang kimia lainnya, dipastikan mengalami hambatan yang sama dalam memperoleh asam sulfat khususnya dari impor.
Padahal untuk mendapatkan SNI, perusahaan juga dihadapkan pada persoalan teknis birokrasi dan durasi terbit SPPT SNI yang bisa memakan waktu hingga tiga bulan lebih.
Menurut dia, jika sampai batas waktu perusahaan belum mendapatkan SNI, maka sudah dipastikan perusahaan tidak dapat melakukan impor untuk kebutuhan produksi.
Agus mengatakan, pasokan asam sulfat lokal pun belum tentu memiliki SNI, sehingga tidak bisa dijual. Kalaupun ada SNI, jumlah suplainya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok perusahaan.
"Kami sangat berharap, pemerintah mau mengerti dengan kendala yang kami hadapi. Karena ini mengancam produksi dan tentunya berkaitan dengan nasib sekitar 3 ribu lebih karyawan, kami khususnya di Jawa Timur. Jika tidak mendapatkan pasokan bahan baku utama, tentu kami dalam waktu dekat bisa berhenti beroperasi," pungkas Agus.
Hal tersebut diyakini akan mengancam kegiatan produksi dan mengganggu perekonomian nasional. Salah satu perusahaan yang mengeluhkan kondisi ini adalah PT Cheil Jedang Indonesia (CJI), perusahaan yang bergerak di bidang produksi asam amino.
Sulitnya memperoleh bahan baku impor jenis asam sulfat diyakini akan mengancam kegiatan produski dalam negeri.
Hal ini terjadi setelah pemerintah memberlakukan SNI untuk asam sulfat teknis berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No 63/M-IND/PER/12/2013 yang direvisi dengan Peraturan Menteri Perindustrian no 19/M-IND/PER/4/2014 yang secara teknis wajib berlaku per 12 Juni 2014.
"Waktu antara keluarnya peraturan akhir Desember 2013 dengan deadline 12 Juni 2014, kami rasakan sangat sempit. Apalagi kami justru mendapatkan informasi ini dari simpang siur berita dan bukan dari sosialisasi resmi. Aturan ini sangat memberatkan," kata Direktur PT CJI, Agus Sutijono di Jakarta, Rabu (11/6/2014).
Menurutnya, PT CJI memerlukan asam sulfat sebagai salah satu bahan produksi utama yang kebutuhannya mencapai 7.500 ton per bulan. Besarnya kebutuhan ini tidak mampu tercukupi oleh produsen lokal, sehingga mengancam kemampuan bertahan perusahaan dalam meneruskan produksi.
Ketidaksiapan pihak regulator dalam menyiapkan perangkat peraturan guna mendukung pelaksanaan di lapangan juga dinilai lambat. Untuk target waktu penetapan peraturan 12 Juni 2014, peraturan tekhnisnya baru keluar 23 Mei 2014.
Selain itu, penunjukan laboratorium penguji yang belum ditetapkan menteri terkait secara cepat. Kedua hal ini yang menyebabkan terjadinya ketidaksiapan perusahaan dalam menyiapkan data dan dokumen.
"Serta kebingungan di pihak lembaga yang berada dalam naungan Kementerian Perindustrian seperti LSPRO (Lembaga Sertifikasi Produk) dalam melakukan proses registrasi SNI," jelas Agus.
Sempitnya waktu dan kurangnya sosialisasi, menjadikan perusahaan yang bergerak di bidang food additive, feed additive dan bidang kimia lainnya, dipastikan mengalami hambatan yang sama dalam memperoleh asam sulfat khususnya dari impor.
Padahal untuk mendapatkan SNI, perusahaan juga dihadapkan pada persoalan teknis birokrasi dan durasi terbit SPPT SNI yang bisa memakan waktu hingga tiga bulan lebih.
Menurut dia, jika sampai batas waktu perusahaan belum mendapatkan SNI, maka sudah dipastikan perusahaan tidak dapat melakukan impor untuk kebutuhan produksi.
Agus mengatakan, pasokan asam sulfat lokal pun belum tentu memiliki SNI, sehingga tidak bisa dijual. Kalaupun ada SNI, jumlah suplainya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok perusahaan.
"Kami sangat berharap, pemerintah mau mengerti dengan kendala yang kami hadapi. Karena ini mengancam produksi dan tentunya berkaitan dengan nasib sekitar 3 ribu lebih karyawan, kami khususnya di Jawa Timur. Jika tidak mendapatkan pasokan bahan baku utama, tentu kami dalam waktu dekat bisa berhenti beroperasi," pungkas Agus.
(izz)