Cara Mencegah Pembengkakan Konsumsi BBM Bersubsidi
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Migas dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES), Kurtubi memandang pembatasan penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dilakukan pemerintah saat ini tidak efektif (mencegah 46 juta kiloliter (kl) BBM bersubsidi tidak jebol).
Menurutnya, solusi yang tepat untuk mengurai masalah tersebut adalah mendorong konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). Cara ini tidak memberatkan rakyat, karena harga gas lebih murah dari BBM.
"Tetapi meskipun saya sudah dianjurkan bangun infrastruktur bertahun-tahun sampai hari ini SPBG sedikit sekali. Konverter kit juga enggak ada," ujarnya kepada Sindonews.
Dia mencontohkan, Pakistan memiliki Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sebanyak 2.500 unit, India 2.000 unit, dan Thailand sebanyak 500 unit. Sementara Indonesia masih kurang dari 50 unit.
"Nah jadi itu cara yang paling bagus mengurangi subsidi. Tetapi infrastrukturnya minim, padahal subsidi di APBN membengkak Rp285 triliun di 2014," jelasnya.
Namun, menurut Kurtubi, program konversi tersebut bukan solusi jangka pendek yang bisa dilakukan di masa transisi ini. Sebab itu, solusi jangka pendeknya adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.
"Kalau pembatasan itu nanti bisa berdampak rakyat ngantre di pom bensin tertentu dan jam tertentu bisa ngantre panjang. Itu bisa mengundang kerawanan baru," katanya.
Dia berpendapat, tidak ada larangan menaikkan harga BBM pada masa transisi seperti sekarang. Setelah harga BBM dinaikkan, perlu diikuti kebijakan lanjutan. Seperti, menginstruksikan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk memperlancar arus barang dan jasa dari produsen kepada konsumen, serta menghilangkan pungutan liar (pungli).
"Sehingga saya imbau ke Presiden, meskipun masa transisi sebagai kepala negara, negarawan, berpikir untuk kepentingan nasional. Tidak untuk pencitraan dan tujuan politik. Saatnya sekarang naikin harga BBM, masa transisi tidak ada larangan," tandasnya.
(Baca: Pemerintah Wariskan Kondisi Buruk di Sektor Migas)
Menurutnya, solusi yang tepat untuk mengurai masalah tersebut adalah mendorong konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). Cara ini tidak memberatkan rakyat, karena harga gas lebih murah dari BBM.
"Tetapi meskipun saya sudah dianjurkan bangun infrastruktur bertahun-tahun sampai hari ini SPBG sedikit sekali. Konverter kit juga enggak ada," ujarnya kepada Sindonews.
Dia mencontohkan, Pakistan memiliki Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sebanyak 2.500 unit, India 2.000 unit, dan Thailand sebanyak 500 unit. Sementara Indonesia masih kurang dari 50 unit.
"Nah jadi itu cara yang paling bagus mengurangi subsidi. Tetapi infrastrukturnya minim, padahal subsidi di APBN membengkak Rp285 triliun di 2014," jelasnya.
Namun, menurut Kurtubi, program konversi tersebut bukan solusi jangka pendek yang bisa dilakukan di masa transisi ini. Sebab itu, solusi jangka pendeknya adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.
"Kalau pembatasan itu nanti bisa berdampak rakyat ngantre di pom bensin tertentu dan jam tertentu bisa ngantre panjang. Itu bisa mengundang kerawanan baru," katanya.
Dia berpendapat, tidak ada larangan menaikkan harga BBM pada masa transisi seperti sekarang. Setelah harga BBM dinaikkan, perlu diikuti kebijakan lanjutan. Seperti, menginstruksikan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk memperlancar arus barang dan jasa dari produsen kepada konsumen, serta menghilangkan pungutan liar (pungli).
"Sehingga saya imbau ke Presiden, meskipun masa transisi sebagai kepala negara, negarawan, berpikir untuk kepentingan nasional. Tidak untuk pencitraan dan tujuan politik. Saatnya sekarang naikin harga BBM, masa transisi tidak ada larangan," tandasnya.
(Baca: Pemerintah Wariskan Kondisi Buruk di Sektor Migas)
(dmd)