Pembangunan Properti di Jateng Tumbuh Terbatas
A
A
A
SEMARANG - Kegiatan usaha sektor pembangunan properti di Jawa Tengah pada triwulan III-2014 diperkirakan tidak akan banyak berubah. Meski tetap tumbuh, namun dalam jumlah terbatas.
Deputi Kepala Bank Indonesia Perwakilan V Semarang, Marlison Hakim menyebutkan, pembangunan Sektor properti pertumbuhannya terbatas, karena pada semester III investasi diprediksi bakal dikuasai investasi non tanah dan bangunan.
“Berdasarkan hasil survai, investasi pada semester III akan didominasi investasi non tanah dan bangunan, terdiri dari Alat angkut/Transportasi 22,16%, Mesin 19,32% dan Peralatan lainnya 21,59%. Sedangkan investasi dalam bentuk tanah dan Bangunan/Pabrik masing-masing 16,48% dan 20,45%,” ujarnya, Kamis (7/8/2014).
Namun demikian, meski pertumbuhan pembangunan sektor properti kurang baik, namun kegiatan usaha di Jateng secara keseluruhan diperkirakan masih berada dalam tren yang meningkat.
Hal ini terindikasi dari capaian Saldo Bersih Tertimbang (SBT) hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia yang meningkat menjadi 39,88% lebih tinggi dari SBT triwulan sebelumnya 35,90%.
“Hanya Kegiatan usaha pada sektor jasa-jasa seperti jasa outsourching, jasa konstruksi dan rumah sakit diprediksikan menurun,” ujarnya.
Dikatakannya, peningkatan kegiatan usaha diperkirakan terjadi baik di sektor penghasil barang maupun jasa. Sektor penghasil barang yang diprediksikan meningkat diantaranya adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan.
Sementara itu, peningkatan kegiatan usaha di sektor penghasil jasa terutama terjadi di sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selain itu, peningkatan juga terjadi di sektor jasa lainnya seperti sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
Menurut Marlison, peningkatan kegiatan usaha tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya konsumsi domestik dan meningkatnya aktivitas menjelang lebaran dan pelaksanaan Pemilu Presiden.
Meningkatnya kegiatan usaha pada triwulan III-2014, diprediksikan juga diikuti dengan peningkatan kegiatan investasi, sebagaimana diindikasikan dari peningkatan SBT triwulan III-2014 menjadi 12,38% lebih tinggi dari triwulan sebelumnya 10,84%.
“Peningkatan kegiatan investasi diperkirakan akan terjadi terutama di sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi,” ujarnya.
Kurang bergairahkan sektor properti, juga tercermin pada melambatnya pertumbuhan KPR di Jateng. Seperti yang terjadi di BNI Kanwil Semarang. Outstanding KPR BNI sampai saat ini sebesar Rp 2,2 triliun. Realisasi tersebut, mengalami kenaikan namun masih kecil dari periode yang sama tahun lalu.
Tahun lalu penyaluran KPR BNI mencapai Rp 2,2 triliun. Sementara ia menargetkan penyaluran KPR BNI sampai akhir tahun ini sebesar Rp 2,6 triliun. ”Peningkatan penyaluran KPR memang ada, tetapi masih sangat kecil,” kata CEO BNI Kanwil Semarang Iwan Abdi.
Dia menuturkan, hal itu dikarenakan untuk rumah dengan tipe bangunan lebih dari 70 meter persegi (m2) yang terkena aturan uang muka atau loan to value (LTV) dari Bank Indonesia (BI). Hal ini mengakibatkan, kemampuan nasabah menyediakan uang muka minimal sebesar 30% menghambat penyaluran KPR.
Deputi Kepala Bank Indonesia Perwakilan V Semarang, Marlison Hakim menyebutkan, pembangunan Sektor properti pertumbuhannya terbatas, karena pada semester III investasi diprediksi bakal dikuasai investasi non tanah dan bangunan.
“Berdasarkan hasil survai, investasi pada semester III akan didominasi investasi non tanah dan bangunan, terdiri dari Alat angkut/Transportasi 22,16%, Mesin 19,32% dan Peralatan lainnya 21,59%. Sedangkan investasi dalam bentuk tanah dan Bangunan/Pabrik masing-masing 16,48% dan 20,45%,” ujarnya, Kamis (7/8/2014).
Namun demikian, meski pertumbuhan pembangunan sektor properti kurang baik, namun kegiatan usaha di Jateng secara keseluruhan diperkirakan masih berada dalam tren yang meningkat.
Hal ini terindikasi dari capaian Saldo Bersih Tertimbang (SBT) hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia yang meningkat menjadi 39,88% lebih tinggi dari SBT triwulan sebelumnya 35,90%.
“Hanya Kegiatan usaha pada sektor jasa-jasa seperti jasa outsourching, jasa konstruksi dan rumah sakit diprediksikan menurun,” ujarnya.
Dikatakannya, peningkatan kegiatan usaha diperkirakan terjadi baik di sektor penghasil barang maupun jasa. Sektor penghasil barang yang diprediksikan meningkat diantaranya adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan.
Sementara itu, peningkatan kegiatan usaha di sektor penghasil jasa terutama terjadi di sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selain itu, peningkatan juga terjadi di sektor jasa lainnya seperti sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
Menurut Marlison, peningkatan kegiatan usaha tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya konsumsi domestik dan meningkatnya aktivitas menjelang lebaran dan pelaksanaan Pemilu Presiden.
Meningkatnya kegiatan usaha pada triwulan III-2014, diprediksikan juga diikuti dengan peningkatan kegiatan investasi, sebagaimana diindikasikan dari peningkatan SBT triwulan III-2014 menjadi 12,38% lebih tinggi dari triwulan sebelumnya 10,84%.
“Peningkatan kegiatan investasi diperkirakan akan terjadi terutama di sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi,” ujarnya.
Kurang bergairahkan sektor properti, juga tercermin pada melambatnya pertumbuhan KPR di Jateng. Seperti yang terjadi di BNI Kanwil Semarang. Outstanding KPR BNI sampai saat ini sebesar Rp 2,2 triliun. Realisasi tersebut, mengalami kenaikan namun masih kecil dari periode yang sama tahun lalu.
Tahun lalu penyaluran KPR BNI mencapai Rp 2,2 triliun. Sementara ia menargetkan penyaluran KPR BNI sampai akhir tahun ini sebesar Rp 2,6 triliun. ”Peningkatan penyaluran KPR memang ada, tetapi masih sangat kecil,” kata CEO BNI Kanwil Semarang Iwan Abdi.
Dia menuturkan, hal itu dikarenakan untuk rumah dengan tipe bangunan lebih dari 70 meter persegi (m2) yang terkena aturan uang muka atau loan to value (LTV) dari Bank Indonesia (BI). Hal ini mengakibatkan, kemampuan nasabah menyediakan uang muka minimal sebesar 30% menghambat penyaluran KPR.
(gpr)