Pedoman Hedging Telah Disetujui Semua Pihak
A
A
A
JAKARTA - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil mengatakan, semua pihak terkait telah menyetujui pedoman lindung nilai (hedging) tukar rupiah, yang menjadi acuan semua entitas pemerintah baik BUMN maupun lembaga-lembaga terkait lainnya.
"Pedoman ini sudah kami sepakati dan selanjutnya kami akan menghadap presiden dan mudah-mudahan hedging ini bisa diimplementasikan khususnya BUMN yang banyak membutuhkan valas dalam waktu dekat," ujarnya di kantor BPK, Jakarta, Rabu (17/9/2014).
Di tempat yang sama, Gubernur Bank Indonesia BI Agus Martowardoyo menjelaskan, secara umum SOP (standard operating procedure) ini menerangkan jika perusahaan baik swasta maupun BUMN yang melakukan hedging, jika terjadi selisih nilai tukar tehadap dolar tidak dihitung sebagai kerugian negara, namun akan dimasukkan sebagai beban perusahaan.
"Begitupun jika perusahaan memperoleh pendapatan dari selisih nilai tukar, tidak dihitung sebagai keuntungan tetapi sebagai kelebihan pendapatan," ujarnya.
Menurut Agus, secara umum SOP ini lebih mengatur juga mengenai pelaksanaan hedging, ruang lingkup hedging, struktur lembaga kelola bisnis, strategi dan risiko serta tahap monitoring pelaksanaan hedging.
Adapun untuk aturan yang mengatur secara teknis pelaksanaan hedging, akan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang akan keluar dalam waktu dekat. Kemudian Menteri Keuangan juga akan membuat Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
"Dan selanjutnya Kementerian BUMN juga akan mengeluarkan SOP yang merujuk pada SOP yang sudah kami sepakati ini," kata Agus.
Agus berharap dengan adanya kesepakatan SOP hedging ini dan dikeluarkanya PBI, akan membuat transaksi hedging lebih fleksibel tetapi tetap bertanggung jawab. Hal ini juga akan membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.
"Semua bank BUMN dan swasta sudah menyiapkan infrastruktur untuk menawarkan hedging. Nantinya bank-bank ini akan langsung menawarkan hedging kepada perusahaan, apakah berjangka waktu satu bulan atau dua bulan. Ini untuk mengantisipasi melonjaknya permintaan untuk hedging," ujarnya.
Menurut dia, yang selama ini menjadi penghambat bukan karena infrastruktur bank untuk melaksanakan hedging, tetapi memang ada ketakutan bagi perusahaan BUMN karena dianggap sebagai kerugian negara.
"Pedoman ini sudah kami sepakati dan selanjutnya kami akan menghadap presiden dan mudah-mudahan hedging ini bisa diimplementasikan khususnya BUMN yang banyak membutuhkan valas dalam waktu dekat," ujarnya di kantor BPK, Jakarta, Rabu (17/9/2014).
Di tempat yang sama, Gubernur Bank Indonesia BI Agus Martowardoyo menjelaskan, secara umum SOP (standard operating procedure) ini menerangkan jika perusahaan baik swasta maupun BUMN yang melakukan hedging, jika terjadi selisih nilai tukar tehadap dolar tidak dihitung sebagai kerugian negara, namun akan dimasukkan sebagai beban perusahaan.
"Begitupun jika perusahaan memperoleh pendapatan dari selisih nilai tukar, tidak dihitung sebagai keuntungan tetapi sebagai kelebihan pendapatan," ujarnya.
Menurut Agus, secara umum SOP ini lebih mengatur juga mengenai pelaksanaan hedging, ruang lingkup hedging, struktur lembaga kelola bisnis, strategi dan risiko serta tahap monitoring pelaksanaan hedging.
Adapun untuk aturan yang mengatur secara teknis pelaksanaan hedging, akan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang akan keluar dalam waktu dekat. Kemudian Menteri Keuangan juga akan membuat Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
"Dan selanjutnya Kementerian BUMN juga akan mengeluarkan SOP yang merujuk pada SOP yang sudah kami sepakati ini," kata Agus.
Agus berharap dengan adanya kesepakatan SOP hedging ini dan dikeluarkanya PBI, akan membuat transaksi hedging lebih fleksibel tetapi tetap bertanggung jawab. Hal ini juga akan membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.
"Semua bank BUMN dan swasta sudah menyiapkan infrastruktur untuk menawarkan hedging. Nantinya bank-bank ini akan langsung menawarkan hedging kepada perusahaan, apakah berjangka waktu satu bulan atau dua bulan. Ini untuk mengantisipasi melonjaknya permintaan untuk hedging," ujarnya.
Menurut dia, yang selama ini menjadi penghambat bukan karena infrastruktur bank untuk melaksanakan hedging, tetapi memang ada ketakutan bagi perusahaan BUMN karena dianggap sebagai kerugian negara.
(gpr)