Jokowi Sebut Berbelitnya Perizinan sebagai 'Penyakit'
A
A
A
JAKARTA - Proses perizinan dan birokrasi di Indonesia sering mendapat cap buruk di mata investor. Pasalnya, perizinan yang berbelit serta birokrasi yang menyulitkan membuat para pengusaha, baik dalam dan luar negeri urung menanamkan modalnya di Indonesia.
Menanggapi hal itu, presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) mengaku memang sering mendapat keluhan dari para investor mengenai sulitnya proses perizinan di Indonesia. Bahkan, dia menyebut bahwa berbelitnya birokrasi di Indonesia sebagai 'penyakit' yang menyebabkan investor enggan masuk ke Indonesia.
"Banyak tamu yang mau investasi, keluhannya mirip, yaitu soal pertama, perizinan. Ini penyakit," ujarnya di Hotel Fous Season, Jakarta Selatan, Kamis (18/9/2014) malam.
Jokowi merasa perlu untuk membereskan hal tersebut. Hal ini diakuinya akan dilakukan melalui pelayanan satu pintu atau one service, yang telah dilakukan oleh pemerintahan pendahulunya di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
"Tadinya mau buat one service, tapi belum bisa sempurna. Tapi kalau itu diawasi terus, itu bisa jadi budaya kerja asal ada sistemnya. Saya tidak pintar buat program itu, nyatanya bisa, IMB (izin mendirikan bangunan) online bisa. Hanya masalah niat, mau atau tidak mau," lanjutnya.
Selain itu, dia menambahkan, masalah lain yang kerap dikeluhkan investor terkait kebijakan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah, serta di setiap kementerian.
"Pernah gubernur di wilayah Kalimantan bilang ke saya, di sana sengketa sekitar 857 kasus, itu soal tambang dan perkebunan, tambang dengan rakyat, perkebunan dengan rakyat, macam-macam. Ini karena kita tidak punya policy yang jelas, semua harus pada peta yang sama. Itu baru satu provinsi, kita ada berapa provinsi? Tidak bisa seperti ini diteruskan," jelasnya.
Didasari hal tersebut, mantan Wali Kota Solo ini berjanji akan memperbaiki sistem birokrasi agar tidak rumit dan lebih sederhana.
"Semua memang harus dikerjakan, yang rumit disimpelkan, bukan dibalik-balik, yang harusnya mudah malah dipersulit. Kita tidak bisa lincah karena mentok pada aturan-aturan. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kita. Revisi juga perlu kuat di dewan (DPR). Yang punya uang digunakan untuk investasi. Kalau (masalah) yang kecil-kecil jangan ke kita, yang besar-besar baru ke kita," tandasnya.
Menanggapi hal itu, presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) mengaku memang sering mendapat keluhan dari para investor mengenai sulitnya proses perizinan di Indonesia. Bahkan, dia menyebut bahwa berbelitnya birokrasi di Indonesia sebagai 'penyakit' yang menyebabkan investor enggan masuk ke Indonesia.
"Banyak tamu yang mau investasi, keluhannya mirip, yaitu soal pertama, perizinan. Ini penyakit," ujarnya di Hotel Fous Season, Jakarta Selatan, Kamis (18/9/2014) malam.
Jokowi merasa perlu untuk membereskan hal tersebut. Hal ini diakuinya akan dilakukan melalui pelayanan satu pintu atau one service, yang telah dilakukan oleh pemerintahan pendahulunya di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
"Tadinya mau buat one service, tapi belum bisa sempurna. Tapi kalau itu diawasi terus, itu bisa jadi budaya kerja asal ada sistemnya. Saya tidak pintar buat program itu, nyatanya bisa, IMB (izin mendirikan bangunan) online bisa. Hanya masalah niat, mau atau tidak mau," lanjutnya.
Selain itu, dia menambahkan, masalah lain yang kerap dikeluhkan investor terkait kebijakan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah, serta di setiap kementerian.
"Pernah gubernur di wilayah Kalimantan bilang ke saya, di sana sengketa sekitar 857 kasus, itu soal tambang dan perkebunan, tambang dengan rakyat, perkebunan dengan rakyat, macam-macam. Ini karena kita tidak punya policy yang jelas, semua harus pada peta yang sama. Itu baru satu provinsi, kita ada berapa provinsi? Tidak bisa seperti ini diteruskan," jelasnya.
Didasari hal tersebut, mantan Wali Kota Solo ini berjanji akan memperbaiki sistem birokrasi agar tidak rumit dan lebih sederhana.
"Semua memang harus dikerjakan, yang rumit disimpelkan, bukan dibalik-balik, yang harusnya mudah malah dipersulit. Kita tidak bisa lincah karena mentok pada aturan-aturan. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kita. Revisi juga perlu kuat di dewan (DPR). Yang punya uang digunakan untuk investasi. Kalau (masalah) yang kecil-kecil jangan ke kita, yang besar-besar baru ke kita," tandasnya.
(rna)