Kementerian ESDM Dinilai Tidak Transparan Kelola BBM
A
A
A
JAKARTA - Kwik Kian Gie School Of Business menilai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak transparan dalam mengelola Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Rektor Kwik Kian Gie School of Business Anthony Budiawan memaparkan, sejak Februari 2009 Kementerian ESDM menutupi besaran biaya produksi bersubsidi.
Padahal, sebelumnya transparansi mengenai beban biaya produksi ini dibuka secara luas melalui situs Kementerian ESDM.
"Ironi yang terjadi saat ini pemerintah tidak ada transparansi dan melakukan pembodohan publik," katanya di Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Menurutnya, sejak 2005 saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat, harga keekonomian dari produk BBM jenis premium dipatok sebesar Rp5.000 per liter.
Kemudian, subsidi pemerintah dari produk BBM jenis premium hanya Rp1.000 per liter dengan harga jual ke masyarakat Rp4.000 per liter.
"15 Januari 2009, harga BBM jenis premium keekonomiannya Rp5.000 per liter dan dijual ke masyarakat Rp4.500 per liter. Kemudian harga solar keekonomiannya turun dari Rp4.800 per liter menjadi Rp4.500 per liter," ucapnya.
Melalui masa pemerintahan SBY, Anthony menuturkan, pemerintah pernah menurunkan BBM bersubsidi. Padahal, saat itu harga keekonomian dari produk BBM memang tengah mengalami penurunan bila berkaca dari situasi global.
"Dapat katakan penurunan BBM itu merupakan suatu alat politik yang dipakai pemerintah," ujar dia.
Karena itu, pemerintah khsusnya Kementerian ESDM diminta membuka beban biaya produksi dari keekonomian BBM bersubsidi.
Hal ini bisa dimulai dengan melihat harga keekonomian BBM bersubsidi yang ditetapkan negara tetangga Malaysia.
"Kami menuntut berapa harga keekonomian dan publikasi secara luas, sehingga tidak ada lagi politisasi BBM. Transparansi harus dijalankan," pungkasnya.
Rektor Kwik Kian Gie School of Business Anthony Budiawan memaparkan, sejak Februari 2009 Kementerian ESDM menutupi besaran biaya produksi bersubsidi.
Padahal, sebelumnya transparansi mengenai beban biaya produksi ini dibuka secara luas melalui situs Kementerian ESDM.
"Ironi yang terjadi saat ini pemerintah tidak ada transparansi dan melakukan pembodohan publik," katanya di Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Menurutnya, sejak 2005 saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat, harga keekonomian dari produk BBM jenis premium dipatok sebesar Rp5.000 per liter.
Kemudian, subsidi pemerintah dari produk BBM jenis premium hanya Rp1.000 per liter dengan harga jual ke masyarakat Rp4.000 per liter.
"15 Januari 2009, harga BBM jenis premium keekonomiannya Rp5.000 per liter dan dijual ke masyarakat Rp4.500 per liter. Kemudian harga solar keekonomiannya turun dari Rp4.800 per liter menjadi Rp4.500 per liter," ucapnya.
Melalui masa pemerintahan SBY, Anthony menuturkan, pemerintah pernah menurunkan BBM bersubsidi. Padahal, saat itu harga keekonomian dari produk BBM memang tengah mengalami penurunan bila berkaca dari situasi global.
"Dapat katakan penurunan BBM itu merupakan suatu alat politik yang dipakai pemerintah," ujar dia.
Karena itu, pemerintah khsusnya Kementerian ESDM diminta membuka beban biaya produksi dari keekonomian BBM bersubsidi.
Hal ini bisa dimulai dengan melihat harga keekonomian BBM bersubsidi yang ditetapkan negara tetangga Malaysia.
"Kami menuntut berapa harga keekonomian dan publikasi secara luas, sehingga tidak ada lagi politisasi BBM. Transparansi harus dijalankan," pungkasnya.
(izz)