Putusan Pengadilan Pajak Timbulkan Persoalan Hukum
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Perpajakan menilai hakim-hakim di Pengadilan Pajak hendaknya tidak salah menerapkan aturan hukum dalam putusannya demi memberikan keadilan dan kepastian hukum kepada wajib pajak (WP) yang mengajukan banding.
Hal tersebut disampaikan oleh dosen FE Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Wirawan B Ilyas, dalam keterangan tertulisnya terkait putusan majelis hakim PP yang menolak permohonan banding yang diajukan PT Rigunas Agri Utama dan PT Raja Garuda Mas Sejati.
“Dengan mempertimbangkan keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan dalam penerapan hukum pajak, kiranya pemerintah dan penegak hukum perlu lebih bijaksana melihat persoalan penuntasan hukum atas utang pajak untuk kepentingan bersama,” katanya di Jakarta, Kamis (4/12/2014).
Menurutnya, putusan atas permohonan banding dua perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) itu membuat penuntasan kasus AAG kini menjadi semakin rumit. Alasan tidak memenuhi ketentuan formal Pasal 2 huruf e UU No. 5/1986 jo UU No 51/2009 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), menimbulkan persoalan hukum.
“Pertama, apakah Pasal 2 huruf e UU PTUN dapat menjadi dasar penolakan permohonan banding? Kedua, apakah surat ketetapan pajak (SKP) dapat diterbitkan atas dasar putusan MA? Ketiga, apakah Pengadilan Pajak berhak memutus sengketa pajak yang timbul antara Direktorat Jenderal Pajak dan AAG?” ujarnya.
Alasan utamanya, tutur dia, sekarang SKP sudah terbit, dan AAG mempunyai hak mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU KUP setelah upaya keberatan atas SKP ditolak Ditjen Pajak.
“Wajar bila publik menilai kemampuan hukum para hakim dipertanyakan saat penuntasan sengketa pajak masih berkutat pada pemahaman kompetensi absolut penuntasan hukum melalui dua UU yang berbeda tadi,” tegasnya.
Hal tersebut disampaikan oleh dosen FE Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Wirawan B Ilyas, dalam keterangan tertulisnya terkait putusan majelis hakim PP yang menolak permohonan banding yang diajukan PT Rigunas Agri Utama dan PT Raja Garuda Mas Sejati.
“Dengan mempertimbangkan keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan dalam penerapan hukum pajak, kiranya pemerintah dan penegak hukum perlu lebih bijaksana melihat persoalan penuntasan hukum atas utang pajak untuk kepentingan bersama,” katanya di Jakarta, Kamis (4/12/2014).
Menurutnya, putusan atas permohonan banding dua perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) itu membuat penuntasan kasus AAG kini menjadi semakin rumit. Alasan tidak memenuhi ketentuan formal Pasal 2 huruf e UU No. 5/1986 jo UU No 51/2009 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), menimbulkan persoalan hukum.
“Pertama, apakah Pasal 2 huruf e UU PTUN dapat menjadi dasar penolakan permohonan banding? Kedua, apakah surat ketetapan pajak (SKP) dapat diterbitkan atas dasar putusan MA? Ketiga, apakah Pengadilan Pajak berhak memutus sengketa pajak yang timbul antara Direktorat Jenderal Pajak dan AAG?” ujarnya.
Alasan utamanya, tutur dia, sekarang SKP sudah terbit, dan AAG mempunyai hak mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU KUP setelah upaya keberatan atas SKP ditolak Ditjen Pajak.
“Wajar bila publik menilai kemampuan hukum para hakim dipertanyakan saat penuntasan sengketa pajak masih berkutat pada pemahaman kompetensi absolut penuntasan hukum melalui dua UU yang berbeda tadi,” tegasnya.
(gpr)