Inflasi 2015 Lebih Stabil Jika Pemerintah Turun Tangan
A
A
A
SEJUMLAH kalangan meyakini inflasi pada tahun depan akan lebih stabil, jika pemerintah turun tangan secara aktif dalam melakukan pengendalian harga pangan.
Indikator inflasi pada 2015 masih akan bergantung pada peran pemerintah sebagai pengendali inflasi terkait dengan penetapan tingkat suku bunga (BI rate), pembangunan infrastruktur, rencana pemberlakuan subsidi tetap (fix subsidy) bahan bakar minyak (BBM).
Selain itu, respon terhadap keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), yang diproyeksikan akan menaikkan tingkat suku bunganya pada 2015.Indikator-indikator ini bakal menjadi faktor penting yang akan mempengaruhi laju inflasi di tahun depan.
Pemerintah, selain melakukan kalkulasi kenaikan inflasi berdasarkan indikator tersebut, juga mempertimbangkan rancangan ekonomi pada 2015 yang telah disahkan melalui rapat paripurna DPR RI terkait perubahan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2015 menjadi APBN.
APBN 2015 yang disepakati sebagai rencana skala makro, yaitu pertumbuhan ekonomi 5,8%, inflasi 4,4%, nilai tukar rupiah Rp11.900/USD, tingkat Suku Bunga SPN 3 bulan 6%, ICP USD105/barel, lifting minyak bumi 900 ribu barel per hari (bph), dan lifting gas bumi 1,248 juta bph.
Ekonom Standard Charetered Bank Fauzi Ichsan memprediksi, inflasi pada 2015 berpotensi turun ke level 4,5%. Akan tetapi, menurut dia, jika Bank Sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunganya di semester II/2015, maka BI terpaksa akan menaikan BI rate lagi. Bukan itu saja, BI juga akan menaikkan Facility Bank Indonesia (Fasbi).
"Tahun depan, kalau Fed rate naik, maka BI rate atau Fasility Bank Indonesia (Fasbi) juga ikut naik atau kalau BI rate tidak naik, maka Fasbi harus naik," kata Fauzi.
Sementara Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini memprediksi laju inflasi 2015 berada pada kisaran 5%-6%. Sejumlah faktor akan mendorong inflasi di 2015, di antaranya kenaikan harga elpiji 3 kilogram (kg), penyesuaian tarif dasar listrik, seasonal round effect kenaikan harga BBM.
Di sisi lain, rencana pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengkaji penerapan subsidi tetap terhadap BBM akan berpengaruh ke inflasi.
Sejumlah kalangan memandang berbeda kebijakan ini. Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, jika hal tersebut diterapkan, maka harga BBM bersubsidi akan mengikuti frekuensi harga minyak dunia, nilai tukar, dan inflasi.
Dia memproyeksikan, dalam jangka sekitar tiga bulan, inflasi akan naik 2% tambah 1,5% pada tahun depan.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Yudha Agung menilai sebaliknya. Dia meyakini bahwa subsidi tetap untuk BBM akan menyebabkan deflasi.
"Jika asumsinya harga minyak terus turun, kemungkinan deflasi akan besar," prediksi dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa deflasi akan terjadi secepatnya setelah pemerintah menetapkan subsidi.
"Ya misal diterapkan Januari, maka bulan depan akan langsung terjadi deflasi dengan catatan harga minyak terus turun," pungkas Yudha.
Sementara itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dinilai cukup agresif merespon gejolak ekonomi yang mempengaruhi inflasi. Keputusan pemerintah untuk memotong subsidi BBM pada pertengahan November 2014 menstimulasi kenaikan harga-harga bahan pokok di pasar.
Meski dampak baru dirasakan pada Desember, BI telah melakukan langkah antisipasi dengan menaikkan BI rate dari 7,50% menjadi 7,75% pada pertengahan November atau mengalami kenaikan 25 basis points (bps).
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan BI rate ini bisa mendorong hal-hal positif, seperti pengendalian ekspektasi inflasi, kecukupan likuiditas, serta kenaikan kredit dari 13% ke 15%-17%. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai kisaran 5,4%-5,8%.
"Secara keseluruhan, Bank Indonesia meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2015 dapat mencapai 5,4%-5,8% dan akan lebih tinggi dalam jangka menengah-panjang dengan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan yang tetap terjaga," kata Perry.
Namun erbicara inflasi tidak sesederhana mengatur tingkat suku bunga. Sejumlah indikator internal maupun eksternal akan tetap mendorong kanaikan inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi kumulatif Januari-November sebesar 5,75%.
Jika dilihat rata-rata per bulan, maka inflasi selama 2014 relatif tinggi, meski akan lebih rendah dari 2013 pada tutup tahun ini. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo yakin inflasi akan sebesar 2,0-%2,2% pada Desember. Karena itu, Bank Indonesia tetap optimistis inflasi 2014 akan terjaga di bawah 8%.
Inflasi pada Februari 2014 relatif rendah sebesar 0,26%, turun dibanding tahun lalu 0,75%. Begitu pula dengan inflasi pada Maret yang menurun 55 bps dibanding 2013 menjadi 0,08%.
Sementara pada April 2014, inflasi terhenti, dan terjadi deflasi pada level 0,02%. Kendati demikian, deflasi ini relatif jauh lebih rendah dibanding tahun lalu, yang berada di kisaran 0,10%. Pada November 2014, BPS kembali mencatat inflasi naik tajam hingga 1,50% dari bulan sebelumnya sebesar 0,47%.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, inflasi November terjadi karena pengaruh kenaikan harga BBM. Kendati demikian, dia memproyeksikan puncak inflasi akan terjadi pada Desember, mengingat keputusan untuk menaikkan harga BBM dilakukan pada pertengahan bulan.
"November belum terkena dampak lantaran naiknya baru pada 18 November, hanya 12 hari terakhir harga baru naik. Ada pengaruhnya, tapi tidak signifikan, kita lihat Desember nanti untuk sepenuhnya," kata Suryamin.
Sejumlah kenaikan harga komoditas di pasar disinyalir sebagai penyebab tingginya inflasi pada akhir tahun, selain dampak kenaikan BBM, kenaikan harga komoditas seperti bawang merah, bawah putih, dan cabai, juga disebabkan oleh pengaruh cuaca yang menyebabkan gagal panen di sejumlah daerah pemasok.
Asisten Manajer Pasar Induk Kramat Jati H. Sugiono menjelaskan bahwa pasokan cabai ke pasar induk menurun hingga 50% terhitung sejak November 2014, sehingga harga meningkat tajam.
"Sekitar satu bulanan (harga naik). Cabai ini kan produk yang sangat bergantung pada cuaca, sementara kita belum punya alat pengawet semacam pendingin," kata dia.
Bank Indonesia (BI) optimistis tingkat inflasi tahun ini akan tetap berada di bawah 8% setelah Rapat Dewan Gubernur BI menahan suku bunga acuan (BI Rate) di level 7,75% pada Desember 2014.
Kendati demikian, sejumlah pengamat ekonomi menilai tingkat inflasi bisa mencapai 8,25% atau jauh lebih tinggi dari target BI sebesar 4,5 plus minus 1%. kenaikan ini dinilai sebagai dampak kenaikan BBM pada pertengahan November 2014.
Indikator inflasi pada 2015 masih akan bergantung pada peran pemerintah sebagai pengendali inflasi terkait dengan penetapan tingkat suku bunga (BI rate), pembangunan infrastruktur, rencana pemberlakuan subsidi tetap (fix subsidy) bahan bakar minyak (BBM).
Selain itu, respon terhadap keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), yang diproyeksikan akan menaikkan tingkat suku bunganya pada 2015.Indikator-indikator ini bakal menjadi faktor penting yang akan mempengaruhi laju inflasi di tahun depan.
Pemerintah, selain melakukan kalkulasi kenaikan inflasi berdasarkan indikator tersebut, juga mempertimbangkan rancangan ekonomi pada 2015 yang telah disahkan melalui rapat paripurna DPR RI terkait perubahan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2015 menjadi APBN.
APBN 2015 yang disepakati sebagai rencana skala makro, yaitu pertumbuhan ekonomi 5,8%, inflasi 4,4%, nilai tukar rupiah Rp11.900/USD, tingkat Suku Bunga SPN 3 bulan 6%, ICP USD105/barel, lifting minyak bumi 900 ribu barel per hari (bph), dan lifting gas bumi 1,248 juta bph.
Ekonom Standard Charetered Bank Fauzi Ichsan memprediksi, inflasi pada 2015 berpotensi turun ke level 4,5%. Akan tetapi, menurut dia, jika Bank Sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunganya di semester II/2015, maka BI terpaksa akan menaikan BI rate lagi. Bukan itu saja, BI juga akan menaikkan Facility Bank Indonesia (Fasbi).
"Tahun depan, kalau Fed rate naik, maka BI rate atau Fasility Bank Indonesia (Fasbi) juga ikut naik atau kalau BI rate tidak naik, maka Fasbi harus naik," kata Fauzi.
Sementara Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini memprediksi laju inflasi 2015 berada pada kisaran 5%-6%. Sejumlah faktor akan mendorong inflasi di 2015, di antaranya kenaikan harga elpiji 3 kilogram (kg), penyesuaian tarif dasar listrik, seasonal round effect kenaikan harga BBM.
Di sisi lain, rencana pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengkaji penerapan subsidi tetap terhadap BBM akan berpengaruh ke inflasi.
Sejumlah kalangan memandang berbeda kebijakan ini. Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, jika hal tersebut diterapkan, maka harga BBM bersubsidi akan mengikuti frekuensi harga minyak dunia, nilai tukar, dan inflasi.
Dia memproyeksikan, dalam jangka sekitar tiga bulan, inflasi akan naik 2% tambah 1,5% pada tahun depan.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Yudha Agung menilai sebaliknya. Dia meyakini bahwa subsidi tetap untuk BBM akan menyebabkan deflasi.
"Jika asumsinya harga minyak terus turun, kemungkinan deflasi akan besar," prediksi dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa deflasi akan terjadi secepatnya setelah pemerintah menetapkan subsidi.
"Ya misal diterapkan Januari, maka bulan depan akan langsung terjadi deflasi dengan catatan harga minyak terus turun," pungkas Yudha.
Sementara itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dinilai cukup agresif merespon gejolak ekonomi yang mempengaruhi inflasi. Keputusan pemerintah untuk memotong subsidi BBM pada pertengahan November 2014 menstimulasi kenaikan harga-harga bahan pokok di pasar.
Meski dampak baru dirasakan pada Desember, BI telah melakukan langkah antisipasi dengan menaikkan BI rate dari 7,50% menjadi 7,75% pada pertengahan November atau mengalami kenaikan 25 basis points (bps).
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan BI rate ini bisa mendorong hal-hal positif, seperti pengendalian ekspektasi inflasi, kecukupan likuiditas, serta kenaikan kredit dari 13% ke 15%-17%. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai kisaran 5,4%-5,8%.
"Secara keseluruhan, Bank Indonesia meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2015 dapat mencapai 5,4%-5,8% dan akan lebih tinggi dalam jangka menengah-panjang dengan stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan yang tetap terjaga," kata Perry.
Namun erbicara inflasi tidak sesederhana mengatur tingkat suku bunga. Sejumlah indikator internal maupun eksternal akan tetap mendorong kanaikan inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi kumulatif Januari-November sebesar 5,75%.
Jika dilihat rata-rata per bulan, maka inflasi selama 2014 relatif tinggi, meski akan lebih rendah dari 2013 pada tutup tahun ini. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo yakin inflasi akan sebesar 2,0-%2,2% pada Desember. Karena itu, Bank Indonesia tetap optimistis inflasi 2014 akan terjaga di bawah 8%.
Inflasi pada Februari 2014 relatif rendah sebesar 0,26%, turun dibanding tahun lalu 0,75%. Begitu pula dengan inflasi pada Maret yang menurun 55 bps dibanding 2013 menjadi 0,08%.
Sementara pada April 2014, inflasi terhenti, dan terjadi deflasi pada level 0,02%. Kendati demikian, deflasi ini relatif jauh lebih rendah dibanding tahun lalu, yang berada di kisaran 0,10%. Pada November 2014, BPS kembali mencatat inflasi naik tajam hingga 1,50% dari bulan sebelumnya sebesar 0,47%.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, inflasi November terjadi karena pengaruh kenaikan harga BBM. Kendati demikian, dia memproyeksikan puncak inflasi akan terjadi pada Desember, mengingat keputusan untuk menaikkan harga BBM dilakukan pada pertengahan bulan.
"November belum terkena dampak lantaran naiknya baru pada 18 November, hanya 12 hari terakhir harga baru naik. Ada pengaruhnya, tapi tidak signifikan, kita lihat Desember nanti untuk sepenuhnya," kata Suryamin.
Sejumlah kenaikan harga komoditas di pasar disinyalir sebagai penyebab tingginya inflasi pada akhir tahun, selain dampak kenaikan BBM, kenaikan harga komoditas seperti bawang merah, bawah putih, dan cabai, juga disebabkan oleh pengaruh cuaca yang menyebabkan gagal panen di sejumlah daerah pemasok.
Asisten Manajer Pasar Induk Kramat Jati H. Sugiono menjelaskan bahwa pasokan cabai ke pasar induk menurun hingga 50% terhitung sejak November 2014, sehingga harga meningkat tajam.
"Sekitar satu bulanan (harga naik). Cabai ini kan produk yang sangat bergantung pada cuaca, sementara kita belum punya alat pengawet semacam pendingin," kata dia.
Bank Indonesia (BI) optimistis tingkat inflasi tahun ini akan tetap berada di bawah 8% setelah Rapat Dewan Gubernur BI menahan suku bunga acuan (BI Rate) di level 7,75% pada Desember 2014.
Kendati demikian, sejumlah pengamat ekonomi menilai tingkat inflasi bisa mencapai 8,25% atau jauh lebih tinggi dari target BI sebesar 4,5 plus minus 1%. kenaikan ini dinilai sebagai dampak kenaikan BBM pada pertengahan November 2014.
(rna)