Investasi di Sektor Pertanian Melambat

Rabu, 07 Januari 2015 - 10:01 WIB
Investasi di Sektor Pertanian Melambat
Investasi di Sektor Pertanian Melambat
A A A
JAKARTA - Pertumbuhan investasi di sektor hilirisasi pertanian, peternakan sapi, dan hortikultura selama 10 tahun terakhir lebih rendah dibanding pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Kondisi ini bertolak belakang dengan program pemerintah yang menempatkan sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang strategis. “Pekerjaan ini serius karena pemerintah menempatkan pertanian sebagai salah satu sektor strategis,” ujar Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani di Jakarta kemarin. Franky memaparkan, tahun lalu realisasi investasi untuk ketiga sektor tersebut terjadi penurunan.

Total realisasi investasi untuk industri hilir pertanian yaitu sawit, kakao dan karet pada kuartal III/2014 untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) hanya Rp6,6 triliun atau turun dibandingkan 2013 yang mencapai Rp10,1 triliun. Sementara, penanaman modal asing (PMA) mencapai Rp24,1 triliun, sedikit lebih rendah dibanding 2013 yang mencapai Rp25,2 triliun.

Pada Oktober hingga Desember 2014 ada tiga perusahaan yang berminat menanamkan investasinya senilai USD258 juta. Selama periode 2010 hingga kuartal III/2014 realisasi investasi mencapai Rp136,2 triliun terdiri dari PMDNsebesarRp35,1triliun dan PMA mencapai USD10,1 miliar. Sebesar 71% dari nilai investasi tersebut disumbang oleh industri pengolahan kelapa sawit, industri pengolahan karet 18%, dan kakao 11%.

Jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri pengolahan tersebut mencapai lebih dari 788.000 orang, 70% di antaranya diserap oleh PMA. Investasi PMDN dan PMA yang telah memperoleh izin prinsip (pipeline projects) dalam periode yang sama nilainya cukup besar yaitu PMDN sebesar Rp172,2 triliun dan PMA sebesar USD22,4 miliar.

“Namun, patut dicermati adanya penurunan minat investasi di tahun 2015,” kata Franky. Sementara, total realisasi investasi di sektor peternakan sapi serta industri daging dan susu pada kuartal III/2014 mencapai Rp832 miliar dari rencana Rp2,4 triliun. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan realisasi 2013 yang mencapai Rp2,7 triliun. Mengingat penurunan investasinya sangat dalam, Franky berjanji meningkatkan nilai investasi di sektor peternakan ini.

Di sektor hortikultura realisasi investasi pada 2010 hingga kuartal III/2014 mencapai Rp3,1 triliun. Investasi tersebut terdiri atas PMDN sebesar Rp823 miliar dan PMA USD225 juta. Tenaga kerja yang terserap di sektor ini mencapai lebih dari 38.000 orang. “Kami melakukan temu investor. Harapannya, investasi yang sekarang dari pelaku yang hadir ini kita minta ditingkatkan lagi,” kata dia.

Menurut Franky, dalam pertemuan tersebut para pengusaha mengungkapkan beberapa kendala yang menghambat investasi. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut serta Undang-Undang Hortikultura yang menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Franky menegaskan, kendala di bidang kebijakan bukan menjadi kewenangan BKPM.

Meski begitu, BKPM akan memperhatikan permasalahan perundangan yang menghambat investasi tersebut. Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura mengatur pembatasan PMA maksimal 30%. Aturan tersebut juga berlaku surut. Hal tersebut menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Perbenihan Hortikultura Indonesia (Hortindo) Afrizal Gindow menyulitkan bagi para penanam modal.

“UU Hortikultura memberi dampak langsung pada penurunan minat investor asing,” kata Gindow. Dengan ketidakpastian tersebut, investor masih menunggu. Padahal, kebutuhan sayuran terus meningkat dan hal ini berakibat pada kenaikan impor sayur mayur. Sementara, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, di tengah situasi defisit neraca perdagangan, industri sawit sangat tepat untuk membantu mengurangi defisit.

Namun, ada beberapa kendala dalam investasi di sektor sawit. Joko mengakui, investasi di sektor sawit melambat karena adanya kendala-kendala tersebut. Kendala yang membatasi investasi adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98/Permentan/- OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Aturan ini membatasi kepemilikan grup atas perkebunan sawit sebesar 100.000 hektare (ha).

“Ini mengganggu karena investasi dikuasai pemainpemain besar. Kalau industri besar didorong, efeknya besar ke petani, karena 25% adalah di plasma. Jadi kalau dipacu, pasti 25% plasma petani ini ikut berkembang,” kata Joko. Ia juga meminta penghentian moratorium pemanfaatan lahan gambut seperti yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2013. Gapki menilai moratorium yang telah diperpanjang dua kali tersebut tidak perlu diperpanjang lagi.

Gapki juga menyoroti PP No 71 tentang lahan gambut. Kalau PP tersebut dilaksanakan, kata Joko, maka akan banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak sesuai dengan aturan tersebut. Menurut Joko, penggunaan lahan gambut ini masih menjadi perdebatan. Namun apabila PP ini dipaksa untuk dilaksanakan, maka potensi investasi sekitar Rp256 triliun bisa batal.

“Angka ini cukup besar dalam konteks penyediaan lapangan kerja dan pembangunan daerah. Isu mengenai keberlanjutan lahan gambut saya yakin bisa berjalan bersama dengan kepentingan investasi,” tambah dia.

Ria martati
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6192 seconds (0.1#10.140)