Mengolah Mangga Kopek Jadi Makanan Bernilai Tinggi
A
A
A
CIREBON - Berawal dari iseng, Maftuha, warga Blok Anjun, Desa Tenajar Lor, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu mencoba mengubah nilai ekonomi mangga kopek.
Dari buah kalong (sebangsa kelelawar) saja tidak suka, wanita berjilbab ini mengolahnya menjadi panganan asik.
Mangga kopek dikenal sebagai salah satu jenis mangga yang memiliki banyak serat. Bagi sebagian orang, keberadaan serat ini mengurangi kenikmatan mangga tersebut.
Serupa dengan Maftuha dan keluarganya yang enggan menjadikan mangga kopek vitamin tambahan mereka.
"Mangga ini tumbuh di halaman rumah, ada beberapa pohon. Tapi karena banyak serat, kami tak begitu suka menyantapnya, kalong saja enggak doyan," ungkapnya saat tengah memasarkan dodol mangganya di Cirebon, Minggu (11/1/2015).
Merasa sayang tak dimakan saat musim berbuah di musim kemarau, keluarga Maftuha pernah mencoba menjualnya. Namun dibanding mangga jenis lain seperti gedong gincu khas Indramayu, nilai ekonomi mangga kopek terhitung rendah.
Dari sekitar satu kwintal buah mangga yang tumbuh dalam satu pohon, dirinya hanya memperoleh Rp30 ribu.
Dari situlah kemudian muncul ide iseng mengolah mangga tersebut. Sang ibu, Mutimah mencoba mengubahnya menjadi jenis makanan lain berupa dodol, sekitar tiga tahun lalu.
Semula, dodol buatannya hanya untuk dinikmati keluarga maupun menjadi suguhan saat ada tamu. Dia membeberkan, untuk membuat dodol mangga harus benar-benar matang.
Jika tidak, maka dodol yang dibuat akan terasa asam dan berwarna hitam, tak kuning manis seperti yang dijualnya. Prosesnya sendiri sederhana, mangga cukup dipotong kecil-kecil.
Jika ditemukan banyak serat, sebaiknya buah dikerok menggunakan pisau agar serat terbawa dan terambil sarinya.
Potongan mangga itu selanjutnya dicampur dengan gula pasir, sebelum kemudian dimasak selama empat jam dengan cara diaduk tanpa boleh berhenti.
Menurutnya, proses pemasakan dilakukan dengan api tungku (kayu) dan bukannya gas. "Api dari kompor gas kurang panas, tak sepanas api tungku. Kami sekali buat menghabiskan enam kilogram mangga, tapi tak setiap hari, hanya kalau ada pengajian atau ada acara keluarga," tuturnya.
Suatu kali, seorang teman datang berkunjung ke rumah dan menerima suguhan dodol mangga buatan sang ibu. Tak disangka mereka menyukai dan memesannya untuk dibeli.
Melihat itu, sang suami, Maman Abdurrahman kemudian menganjurkan Maftuha menaikkan nilai ekonomi mangga tersebut dengan menjual dodol olahan Mutimah kepada publik.
Usul tersebut disetujui, dan sebagai langkah awal mereka menawarkannya kepada teman-teman dan kerabat dekat secara langsung.
"Selain itu, kami juga menawarkannya juga di media sosial. Alhamdulillah mulai banyak yang pesan, rata-rata dari Indramayu dan Cirebon," ujar dia.
Saat ide dipasarkan kepada umum dicetuskan, hal pertama yang mereka benahi yakni perbaikan pengemasan. Kuncinya, tentu saja membuat dodol tampak menarik dan menghendaki kemasannya tampak seperti souvenir.
Karena itu, dia memilih plastik transparan bermotif sebagai pembungkus olahan dodol yang kemudian diikat benang wol pada bagian atasnya. Kemudian, 15 buah dodol dimasukkan dalam wadah transparan lain sebelum dijual.
Untuk saat ini, satu paket berisi 15 buah dodol duhargainya Rp10 ribu. "Karena alami, dodol ini bisa tahan sampai setahun meski tak dimasukkan dalam kulkas," ujarnya.
Pihaknya berharap, dodol mangga kopek ini bisa menjadi souvenir khas Indramayu dan meningkatkan ekonomi masyarakat di desanya.
Dari buah kalong (sebangsa kelelawar) saja tidak suka, wanita berjilbab ini mengolahnya menjadi panganan asik.
Mangga kopek dikenal sebagai salah satu jenis mangga yang memiliki banyak serat. Bagi sebagian orang, keberadaan serat ini mengurangi kenikmatan mangga tersebut.
Serupa dengan Maftuha dan keluarganya yang enggan menjadikan mangga kopek vitamin tambahan mereka.
"Mangga ini tumbuh di halaman rumah, ada beberapa pohon. Tapi karena banyak serat, kami tak begitu suka menyantapnya, kalong saja enggak doyan," ungkapnya saat tengah memasarkan dodol mangganya di Cirebon, Minggu (11/1/2015).
Merasa sayang tak dimakan saat musim berbuah di musim kemarau, keluarga Maftuha pernah mencoba menjualnya. Namun dibanding mangga jenis lain seperti gedong gincu khas Indramayu, nilai ekonomi mangga kopek terhitung rendah.
Dari sekitar satu kwintal buah mangga yang tumbuh dalam satu pohon, dirinya hanya memperoleh Rp30 ribu.
Dari situlah kemudian muncul ide iseng mengolah mangga tersebut. Sang ibu, Mutimah mencoba mengubahnya menjadi jenis makanan lain berupa dodol, sekitar tiga tahun lalu.
Semula, dodol buatannya hanya untuk dinikmati keluarga maupun menjadi suguhan saat ada tamu. Dia membeberkan, untuk membuat dodol mangga harus benar-benar matang.
Jika tidak, maka dodol yang dibuat akan terasa asam dan berwarna hitam, tak kuning manis seperti yang dijualnya. Prosesnya sendiri sederhana, mangga cukup dipotong kecil-kecil.
Jika ditemukan banyak serat, sebaiknya buah dikerok menggunakan pisau agar serat terbawa dan terambil sarinya.
Potongan mangga itu selanjutnya dicampur dengan gula pasir, sebelum kemudian dimasak selama empat jam dengan cara diaduk tanpa boleh berhenti.
Menurutnya, proses pemasakan dilakukan dengan api tungku (kayu) dan bukannya gas. "Api dari kompor gas kurang panas, tak sepanas api tungku. Kami sekali buat menghabiskan enam kilogram mangga, tapi tak setiap hari, hanya kalau ada pengajian atau ada acara keluarga," tuturnya.
Suatu kali, seorang teman datang berkunjung ke rumah dan menerima suguhan dodol mangga buatan sang ibu. Tak disangka mereka menyukai dan memesannya untuk dibeli.
Melihat itu, sang suami, Maman Abdurrahman kemudian menganjurkan Maftuha menaikkan nilai ekonomi mangga tersebut dengan menjual dodol olahan Mutimah kepada publik.
Usul tersebut disetujui, dan sebagai langkah awal mereka menawarkannya kepada teman-teman dan kerabat dekat secara langsung.
"Selain itu, kami juga menawarkannya juga di media sosial. Alhamdulillah mulai banyak yang pesan, rata-rata dari Indramayu dan Cirebon," ujar dia.
Saat ide dipasarkan kepada umum dicetuskan, hal pertama yang mereka benahi yakni perbaikan pengemasan. Kuncinya, tentu saja membuat dodol tampak menarik dan menghendaki kemasannya tampak seperti souvenir.
Karena itu, dia memilih plastik transparan bermotif sebagai pembungkus olahan dodol yang kemudian diikat benang wol pada bagian atasnya. Kemudian, 15 buah dodol dimasukkan dalam wadah transparan lain sebelum dijual.
Untuk saat ini, satu paket berisi 15 buah dodol duhargainya Rp10 ribu. "Karena alami, dodol ini bisa tahan sampai setahun meski tak dimasukkan dalam kulkas," ujarnya.
Pihaknya berharap, dodol mangga kopek ini bisa menjadi souvenir khas Indramayu dan meningkatkan ekonomi masyarakat di desanya.
(izz)