Sapu Kotor Ditjen Pajak
A
A
A
BAGI para pejabat di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, menjadi orang nomor satu di kantor mereka bukan sekadar lahan kerja yang basah, tapi juga jaminan karier bakal meroket.
“Yang sudah pernah menjadi Dirjen Pajak bisa menjadi menteri,” kata Mardiasmo, Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pajak sekaligus Wakil Menteri Keuangan, kepada SINDO Weekly saat menjelaskan nilai strategis jabatan itu.
Walhasil, lelang posisi Dirjen Pajak kebanjiran peminat. Setidaknya 28 pejabat eselon dua di lingkungan Kementerian Keuangan ikut mendaftar.
Selepas menjalani saringan administrasi dan penulisan makalah, daftar calon pun menciut menjadi 11 orang. Pada tahap seleksi selanjutnya, wawancara, tersisa tujuh calon yang masih bertahan.
“Pak Menteri akan menyaring menjadi empat orang dan akan diserahkan kepada Presiden,” kata Mardiasmo.
Dari informasi yang beredar di internal Kementerian Keuangan, ada empat calon kuat. Mereka adalah Ken Dwijugiasteadi, Sigit Priadi Pramudito, Suryo Utomo, dan Puspita Wulandari.
***
Dari empat calon tersebut, Ken Dwijugiasteadi layak mendapat sorotan pertama. Bukan hanya paling senior dari segi usia, dia juga paling berpengalaman. Yang unik, karier Ken banyak dijalani di Kantor Wilayah Pajak Jawa Timur.
Pada 2009, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengangkatnya sebagai Kepala Kanwil Pajak Jawa Timur I di Surabaya. Di sini, dia mendapatkan ujian ketika tiga bawahannya dibekuk polisi karena terlibat penggelapan pajak senilai miliaran rupiah pada 2010. Kasus ini menjadi nilai merah bagi karier Ken.
Akibat kasus tersebut, Ken dimutasi menjadi Kepala Kanwil Pajak Jawa Timur III di Malang. Akhir 2010, namanya sempat mencorong ketika disebut-sebut sebagai calon Dirjen Pajak yang akan menggantikan Mochamad Tjiptardjo.
Namun, Menteri Sri Mulyani kala itu lebih memilih Ahmad Fuad Rahmany, kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Berkarier di Malang selama tiga tahun, pada November 2013, Ken dipindah lagi ke Surabaya. Menurut Rahmat Sholeh, Direktur The Jakarta Institute—sebuah lembaga kajian yang dibentuk sejumlah universitas di Jakarta—pada periode kedua di Surabaya, Ken kerap mengeluarkan kebijakan keras terhadap wajib pajak, termasuk melakukan gizjeling (penyanderaan).
“Dia terlalu berani dalam mengeksekusi paksa badan tanpa menganalisis dampaknya,” kata Rahmat.
Menempati urutan kedua adalah Sigit Priadi Pramudito. Berkarier di Ditjen Pajak sejak 1987, Sigit sudah memimpin dua kantor pajak. Pada April 2010, dia menjabat Kepala Kanwil Pajak Banten dan, sejak November 2011, Kepala Kanwil Pajak Wajib Pajak Besar. Posisi terakhir ini membuatnya kerap berurusan dengan wajib-wajib pajak supertajir.
Persoalannya, menurut catatan The Jakarta Institute, Sigit memiliki harta yang tidak biasa dibanding calon lainnya. Dalam dua tahun, 2009-2011, kekayaannya melonjak Rp8 miliar dari Rp13,8 miliar menjadi Rp21,8 miliar.
Dari data Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sigit tampaknya ‘gemar’ mengoleksi tanah dan bangunan.
Koleksinya itu bertebaran di 14 lokasi berbeda di Jakarta, Bogor, dan Bandung, dari yang luasnya hanya 30 meter persegi hingga 4.000 meter persegi. “Dia bahkan memiliki Town House yang disewakan di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan,” papar Rahmat.
Calon kuat berikutnya adalah Suryo Utomo. Dia pernah mengepalai Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing dan Kanwil Pajak Jawa Tengah I. Seperti Ken, Suryo juga pernah masuk dalam bursa calon Dirjen Pajak yang digadang-gadang menggantikan Tjiptardjo pada 2010.
Namun, seperti dua calon sebelumnya, kabar miring tak ayal juga menerpa Suryo. Seorang sumber mengatakan bahwa Suryo pernah mencoba menghindari penyelidikan kasus pajak Gayus Tambunan dengan mengambil cuti kuliah doktoral di Malaysia pada 2011.
Menurut catatan Forum Pajak Berkeadilan, yang dipaparkan Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo, Suryo diduga masuk dalam daftar pejabat pajak pemilik “rekening gendut” senilai lebih Rp100 miliar yang dirilis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 2011.
Nama terakhir adalah Puspita Wulandari, yang saat ini menjabat Sekretaris Komite Pengawas Perpajakan. Tidak banyak yang mengetahui rekam jejak Puspita. Yang pasti, menurut The Jakarta Institute, perempuan yang memulai karier di Ditjen Pajak sejak 1995 itu minim pengalaman di lapangan karena tidak pernah mengomandani kantor pajak di daerah. Namanya bertahan hingga seleksi tahap akhir lebih karena panitia seleksi ingin memenuhi kuota perempuan.
Menanggapi isu miring yang menggempur para calon, Mardiasmo, yang juga Ketua Panitia Seleksi, menjamin rekam jejak mereka bersih dari masalah.
Selain telah mendapat pertimbangan dari PPATK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Inspektur Jenderal, dan bahkan Badan Intelijen Negara, dalam wawancara, Mardiasmo meminta mereka memaparkan sumber kekayaan masing-masing.
“Ada yang memang dasarnya sudah kaya. Ada yang kaya karena warisan atau karena istrinya kaya,” terangnya
Pajak menjadi pertaruhan Pemerintah. Presiden Joko Widodo sudah memasang target ambisius. Pada masa kekuasaanya, pajak harus mengalami penambahan Rp400 triliun. Jumlah tersebut, menurut Menteri Bambang, bukanlah jumlah penerimaan pajak tapi capaian dari penambahan wajib pajak.
(Baca selengkapnya di SINDO Weekly No 46 Tahun 3, terbit Kamis 15 Januari 2015)
“Yang sudah pernah menjadi Dirjen Pajak bisa menjadi menteri,” kata Mardiasmo, Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pajak sekaligus Wakil Menteri Keuangan, kepada SINDO Weekly saat menjelaskan nilai strategis jabatan itu.
Walhasil, lelang posisi Dirjen Pajak kebanjiran peminat. Setidaknya 28 pejabat eselon dua di lingkungan Kementerian Keuangan ikut mendaftar.
Selepas menjalani saringan administrasi dan penulisan makalah, daftar calon pun menciut menjadi 11 orang. Pada tahap seleksi selanjutnya, wawancara, tersisa tujuh calon yang masih bertahan.
“Pak Menteri akan menyaring menjadi empat orang dan akan diserahkan kepada Presiden,” kata Mardiasmo.
Dari informasi yang beredar di internal Kementerian Keuangan, ada empat calon kuat. Mereka adalah Ken Dwijugiasteadi, Sigit Priadi Pramudito, Suryo Utomo, dan Puspita Wulandari.
***
Dari empat calon tersebut, Ken Dwijugiasteadi layak mendapat sorotan pertama. Bukan hanya paling senior dari segi usia, dia juga paling berpengalaman. Yang unik, karier Ken banyak dijalani di Kantor Wilayah Pajak Jawa Timur.
Pada 2009, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengangkatnya sebagai Kepala Kanwil Pajak Jawa Timur I di Surabaya. Di sini, dia mendapatkan ujian ketika tiga bawahannya dibekuk polisi karena terlibat penggelapan pajak senilai miliaran rupiah pada 2010. Kasus ini menjadi nilai merah bagi karier Ken.
Akibat kasus tersebut, Ken dimutasi menjadi Kepala Kanwil Pajak Jawa Timur III di Malang. Akhir 2010, namanya sempat mencorong ketika disebut-sebut sebagai calon Dirjen Pajak yang akan menggantikan Mochamad Tjiptardjo.
Namun, Menteri Sri Mulyani kala itu lebih memilih Ahmad Fuad Rahmany, kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Berkarier di Malang selama tiga tahun, pada November 2013, Ken dipindah lagi ke Surabaya. Menurut Rahmat Sholeh, Direktur The Jakarta Institute—sebuah lembaga kajian yang dibentuk sejumlah universitas di Jakarta—pada periode kedua di Surabaya, Ken kerap mengeluarkan kebijakan keras terhadap wajib pajak, termasuk melakukan gizjeling (penyanderaan).
“Dia terlalu berani dalam mengeksekusi paksa badan tanpa menganalisis dampaknya,” kata Rahmat.
Menempati urutan kedua adalah Sigit Priadi Pramudito. Berkarier di Ditjen Pajak sejak 1987, Sigit sudah memimpin dua kantor pajak. Pada April 2010, dia menjabat Kepala Kanwil Pajak Banten dan, sejak November 2011, Kepala Kanwil Pajak Wajib Pajak Besar. Posisi terakhir ini membuatnya kerap berurusan dengan wajib-wajib pajak supertajir.
Persoalannya, menurut catatan The Jakarta Institute, Sigit memiliki harta yang tidak biasa dibanding calon lainnya. Dalam dua tahun, 2009-2011, kekayaannya melonjak Rp8 miliar dari Rp13,8 miliar menjadi Rp21,8 miliar.
Dari data Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sigit tampaknya ‘gemar’ mengoleksi tanah dan bangunan.
Koleksinya itu bertebaran di 14 lokasi berbeda di Jakarta, Bogor, dan Bandung, dari yang luasnya hanya 30 meter persegi hingga 4.000 meter persegi. “Dia bahkan memiliki Town House yang disewakan di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan,” papar Rahmat.
Calon kuat berikutnya adalah Suryo Utomo. Dia pernah mengepalai Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing dan Kanwil Pajak Jawa Tengah I. Seperti Ken, Suryo juga pernah masuk dalam bursa calon Dirjen Pajak yang digadang-gadang menggantikan Tjiptardjo pada 2010.
Namun, seperti dua calon sebelumnya, kabar miring tak ayal juga menerpa Suryo. Seorang sumber mengatakan bahwa Suryo pernah mencoba menghindari penyelidikan kasus pajak Gayus Tambunan dengan mengambil cuti kuliah doktoral di Malaysia pada 2011.
Menurut catatan Forum Pajak Berkeadilan, yang dipaparkan Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo, Suryo diduga masuk dalam daftar pejabat pajak pemilik “rekening gendut” senilai lebih Rp100 miliar yang dirilis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 2011.
Nama terakhir adalah Puspita Wulandari, yang saat ini menjabat Sekretaris Komite Pengawas Perpajakan. Tidak banyak yang mengetahui rekam jejak Puspita. Yang pasti, menurut The Jakarta Institute, perempuan yang memulai karier di Ditjen Pajak sejak 1995 itu minim pengalaman di lapangan karena tidak pernah mengomandani kantor pajak di daerah. Namanya bertahan hingga seleksi tahap akhir lebih karena panitia seleksi ingin memenuhi kuota perempuan.
Menanggapi isu miring yang menggempur para calon, Mardiasmo, yang juga Ketua Panitia Seleksi, menjamin rekam jejak mereka bersih dari masalah.
Selain telah mendapat pertimbangan dari PPATK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Inspektur Jenderal, dan bahkan Badan Intelijen Negara, dalam wawancara, Mardiasmo meminta mereka memaparkan sumber kekayaan masing-masing.
“Ada yang memang dasarnya sudah kaya. Ada yang kaya karena warisan atau karena istrinya kaya,” terangnya
Pajak menjadi pertaruhan Pemerintah. Presiden Joko Widodo sudah memasang target ambisius. Pada masa kekuasaanya, pajak harus mengalami penambahan Rp400 triliun. Jumlah tersebut, menurut Menteri Bambang, bukanlah jumlah penerimaan pajak tapi capaian dari penambahan wajib pajak.
(Baca selengkapnya di SINDO Weekly No 46 Tahun 3, terbit Kamis 15 Januari 2015)
(dmd)