Kepastian Hukum Momok Industri Sawit Nasional
A
A
A
JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkapkan, kepastian hukum masih menjadi momok menakutkan bagi industri sawit nasional.
Sekretaris Jenderal Gapki, Joko Supriyono mengatakan, masih terdapat kebun-kebun lama yang sudah hak guna usaha (HGU) justru mengalami masalah tumpang tindih dengan kawasan hutan.
"Sejumlah masalah dalam negeri yang dihadapi industri sawit nasional itu masih ada kebun lama yang tumpang tindih dengan kawasan hutan," ujarnya di kantor Gapki, Jakarta, Jumat (30/1/2015).
Joko melanjutkan, kendala lain adalah terbitnya beberapa regulasi baru yang berdampak pada pengembangan industri sawit, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Pengelolaan Lahan Gambut, serta UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Selain itu, lanjut Joko, buruknya infrastruktur menyebabkan biaya transportasi dan logistik industri sawit lebih mahal. "Ini berakibat pada kurangnya daya saing crude palm oil (CPO) Indonesia," imbuhnya.
Di sisi lain, pelaksanaan mandatori bahan bakar nabati (BBN) 10% juga masih belum efektif, sehingga penyerapan di dalam negeri belum maksimal. "Penetapan harga BBN juga masih belum kondusif di sisi produsen, serta semrautnya peraturan di daerah," jelas Joko.
Dia menyebutkan, kampanye negatif dari dalam dan luar negeri terkait informasi produk makanan kepada konsumen, dan pemberlakuan biodiesel anti dumping duty turut menngancam industri sawit nasional. "Kasus kebakaran lahan pun masih menjadi ancaman, karena dianggap masalah pidana," pungkasnya.
Sekretaris Jenderal Gapki, Joko Supriyono mengatakan, masih terdapat kebun-kebun lama yang sudah hak guna usaha (HGU) justru mengalami masalah tumpang tindih dengan kawasan hutan.
"Sejumlah masalah dalam negeri yang dihadapi industri sawit nasional itu masih ada kebun lama yang tumpang tindih dengan kawasan hutan," ujarnya di kantor Gapki, Jakarta, Jumat (30/1/2015).
Joko melanjutkan, kendala lain adalah terbitnya beberapa regulasi baru yang berdampak pada pengembangan industri sawit, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2014 tentang Pengelolaan Lahan Gambut, serta UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Selain itu, lanjut Joko, buruknya infrastruktur menyebabkan biaya transportasi dan logistik industri sawit lebih mahal. "Ini berakibat pada kurangnya daya saing crude palm oil (CPO) Indonesia," imbuhnya.
Di sisi lain, pelaksanaan mandatori bahan bakar nabati (BBN) 10% juga masih belum efektif, sehingga penyerapan di dalam negeri belum maksimal. "Penetapan harga BBN juga masih belum kondusif di sisi produsen, serta semrautnya peraturan di daerah," jelas Joko.
Dia menyebutkan, kampanye negatif dari dalam dan luar negeri terkait informasi produk makanan kepada konsumen, dan pemberlakuan biodiesel anti dumping duty turut menngancam industri sawit nasional. "Kasus kebakaran lahan pun masih menjadi ancaman, karena dianggap masalah pidana," pungkasnya.
(dmd)