ARLI Tolak Penetapan BK Rumput Laut

Sabtu, 21 Februari 2015 - 10:28 WIB
ARLI Tolak Penetapan BK Rumput Laut
ARLI Tolak Penetapan BK Rumput Laut
A A A
JAKARTA - Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) mengimbau pemerintah untuk mengkaji lebih jauh kondisi industri rumput laut di lapangan, agar tujuan hilirisasi tidak kontra dengan kesejahteraan petani dan pembudidaya rumput laut.

Hal ini terkait dengan wacana pemberlakuan bea keluar (BK) untuk ekspor rumput laut kering yang dinilai tidak tepat karena akan membawa pengaruh terhadap produktivitas rumput laut nasional.

"Produksi rumput laut cukup baik, namun penyerapan industri nasional untuk rumput laut sebagai bahan baku itu masih sangat rendah. Sehingga para pelaku lebih memilih untuk mengekspornya, terlebih karena harga rumput laut di luar negeri nilainya lebih tinggi dan sistem pembayarannya pun lebih cepat," jelas Ketua ARLI Safari Azis dalam rilisnya, Sabtu (21/2/2015).

Menurutnya, ketersediaan bahan baku rumput laut di tingkat petani masih banyak tersedia. Hal ini terlihat dari data formal KKP yang mencatat bahwa produksi rumput laut mencapai lebih dari 10 juta ton basah jika dikonversi 10:1 menjadi kering, maka angkanya menjadi 1 juta ton kering (2014).

Sementara, kebutuhan Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) hanya mencapai 87.429 ton pada 2015. Ketersediaan bahan baku rumput laut banyak, namun serapan industri nasional masih kecil jumlahnya sehingga banyak diekspor karena tidak ada opsi lain.

"Seharusnya tidak ada istilah industri dalam negeri sulit mendapatkan bahan baku. Selain itu, jika BK diberlakukan, petani tidak lagi berhasrat untuk menanam rumput laut karena keterbatasan serapan pasar," kata Safari.

Rencananya, pemerintah akan menerapkan pengenaan BK sebesar 21% untuk rumput laut jenis E Cottonii, 44% untuk Gracillaria dan 12% untuk E Spinosum.

ARLI menilai penetapan BK ini akan berimbas pada menurunnya produksi dan mengancam komoditas unggulan komparatif sebagai negara maritim. Bahkan adanya isu ini saja, membuat para pedagang cenderung lebih berhati-hati membeli dari petani.

Bahkan, pembeli dari luar negeri pun mulai mengalihkan pengembangan dan pembeliannya ke negara penghasil rumput lainnya. "Bila produksi kita nanti terus turun, bisa saja nanti negara penghasil rumput terbesar dunia akan bergeser ke negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, India, Sri Lanka atau Malaysia," ungkap Safari.

Alih-alih menentukan BK rumput laut, kata dia, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu fokus untuk meningkatkan daya saing industri nasional dan menyiapkan program hilirisasi dengan baik melalui roadmap operasional yang terpadu antar kementerian.

Menurutnya, data yang ada di antara satu kementerian dengan kementerian lainnya seringkali berbeda. Data Kementerian Perindustrian kadang berbeda dengan data Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hal tersebut membuat pihaknya khawatirkan, karena penetapan suatu kebijakan bisa saja kurang tepat karena kurang memperhatikan dimensi-dimensi yang ada.

"Hilirisasi pun sebaiknya didasari pada harmonisasi stakeholder dari hulu sampai hilir, bukan memihak kepentingan suatu golongan tertentu saja. Daya saing industri perlu ditingkatkan, demikian halnya kesejahteraan petani juga harus diperhatikan," pungkas Safari.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4249 seconds (0.1#10.140)