Pelemahan Rupiah Bebani Industri Baja Nasional
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Irvan K Hakim mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) membebankan industri baja nasional.
Menurutnya, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD akan menekan pendapatan perusahaan baja. Hal ini disebabkan biaya operasional yang melonjak seiring peningkatan mata uang dolar AS. Sehingga margin perusahaan akan terus tergerus.
"Rupiah terus melemah dan fluktuatif, sementara bahan baku dan energi dalam dolar AS, padahal komponen energi dan bahan baku sebesar 80% dari total biaya produksi," kata dia saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/3/3015).
Direktur Utama Krakatau Steel itu juga menjelaskan, dalam membayar penggunaan gas sebagai energi listrik, perseroan juga harus menggunakan USD. Beban perseroan juga ikut bertambah, seiring kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL) industri dan meningkatnya upah minimum regional.
"Idealnya kenaikan harga produksi dibebankan ke konsumen, namun kenyataannya tidak demikian karena konsumen mempunyai daya beli terbatas," ungkapnya.
Perusahaan baja nasional juga mengalami persaingan dari baja impor yang diproduksi dari China. Belum lagi, penurunan harga baja dunia yang disebabkan kelebihan pasokan atau meningkat 1,1% menjadi 1,637 miliar metrik ton.
"Dari asosias kami sudah mengusulkan meminta dukungan dari pemerintah seperti kenaikan tarif bea masuk, penerapan bea masuk anti dumping dan penurunan harga gas alam maupun TDL," papar dia.
Upaya perusahaan baja untuk melakukan lindung nilai (hedging), kata dia, tidak cukup menolong menyelamatkan arus keuangan. Pasalnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah meningkat cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya.
"Kita sudah lama hedging untuk transaksi penjualan sebesar 50%, tapi hedging ini kan ada biayanya dan tidak menutup risiko dari kenaikan dolar AS," pungkas Irvan.
Menurutnya, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD akan menekan pendapatan perusahaan baja. Hal ini disebabkan biaya operasional yang melonjak seiring peningkatan mata uang dolar AS. Sehingga margin perusahaan akan terus tergerus.
"Rupiah terus melemah dan fluktuatif, sementara bahan baku dan energi dalam dolar AS, padahal komponen energi dan bahan baku sebesar 80% dari total biaya produksi," kata dia saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/3/3015).
Direktur Utama Krakatau Steel itu juga menjelaskan, dalam membayar penggunaan gas sebagai energi listrik, perseroan juga harus menggunakan USD. Beban perseroan juga ikut bertambah, seiring kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL) industri dan meningkatnya upah minimum regional.
"Idealnya kenaikan harga produksi dibebankan ke konsumen, namun kenyataannya tidak demikian karena konsumen mempunyai daya beli terbatas," ungkapnya.
Perusahaan baja nasional juga mengalami persaingan dari baja impor yang diproduksi dari China. Belum lagi, penurunan harga baja dunia yang disebabkan kelebihan pasokan atau meningkat 1,1% menjadi 1,637 miliar metrik ton.
"Dari asosias kami sudah mengusulkan meminta dukungan dari pemerintah seperti kenaikan tarif bea masuk, penerapan bea masuk anti dumping dan penurunan harga gas alam maupun TDL," papar dia.
Upaya perusahaan baja untuk melakukan lindung nilai (hedging), kata dia, tidak cukup menolong menyelamatkan arus keuangan. Pasalnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah meningkat cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya.
"Kita sudah lama hedging untuk transaksi penjualan sebesar 50%, tapi hedging ini kan ada biayanya dan tidak menutup risiko dari kenaikan dolar AS," pungkas Irvan.
(izz)