Mana Pernah Pemerintah Bangun Rumah FLPP
A
A
A
Program Sejuta Rumah hanya dalam hitungan minggu akan mulai digulirkan dengan kebijakankebijakan yang seharusnya dapat memberikan solusi bagi konsumen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin memiliki rumah.
Beberapa pihak optimistis program ini dapat berjalan, namun tidak sedikit pula yang meragukan efektivitas dari program ini. Kalau kita sedikit melihat ke belakang bagaimana kondisi target perumahan rakyat di Indonesia, maka dalam 10 tahun terakhir diperkirakan target perumahan nasional tidak pernah tercapai, dan itu dengan target 200.000 unit rumah.
Kalaupun ada realisasi pembangunan, maka yang membangun adalah pihak swasta atau pengembang swasta. Bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah hampir tidak pernah membangun rumah murah. Ironis bukan? Jadi, sampai sejauh ini pemerintah tidak mempunyai pengalaman. Apalagi sumber daya untuk dapat membangun rumah murah.
Kalau kemudian dipasang target 2 juta rumah di mana 1 juta rumah dibangun oleh swasta dan 1 juta rumah oleh pemerintah, maka yang kemudian dipertanyakan adalah sampai sejauh mana kapasitas pemerintah untuk dapat merealisasikan program tersebut.
Beberapa kebijakan populis seperti besaran uang muka yang hanya 1%, suku bunga FLPP yang akan menjadi 5% dari 7,25%, serta bantuan uang muka Rp4 juta akan memberikan stimulus dari sisi permintaan dan akan meningkatkan daya beli. Namun yang menjadi masalah, apakah pemerintah sudah menyiapkan tanah untuk dibangun rumah murah tersebut?
Di mana? Berapa banyak kapasitas yang ada di tiap pemda? Pertanyaan-pertanyaan itu yang sampai saat ini belum terjawab oleh pemerintah. Jika benar demikian, maka program yang ada akan berjalan tanpa arah. Indonesia Property Watch tidak hentihentinya untuk menyuarakan pentingnya bank tanah agar dapat memberikan sebuah kondisi pasar yang pas antara permintaan dan pasokan.
Bila dengan stimulus yang ada, daya beli masyarakat akan naik, maka selama itu tidak ada pasokan rumah yang dibangun, bagaimana mungkin mereka merealisasikan pembeliannya. Benar saat ini pengembang swasta masih dapat membangun meskipun dari data yang ada ternyata 8 dari 10 pengembang perumahan murah sudah beralih ke segmen menengah.
Bukan karena tidak mau, namun tidak bisa karena harga tanah merangkak naik. Karenanya, selama tidak ada instrumen pengendali harga tanah seperti bank tanah milik pemerintah, maka kompleksnya permasalahan perumahan tidak akan berakhir. Saat ini Indonesia Property Watch menilai bahwa kesiapan tata ruang sebuah daerah disertai dengan kesiapan bank tanah milik pemerintah akan menjamin ketersediaan rumah untuk rakyat.
Coba bayangkan bila di tanah pemerintah di patok harga tanah Rp500.000 per meter persegi, sedangkan di sebelahnya tanah komersial, maka tanah komersial yang ada meskipun bisa saja dipatok lebih tinggi dari tanah pemerintah, tapi kenaikannya tidak akan terlalu tinggi lagi. Peran ini yang seharusnya diberlakukan pemerintah terkait konsep bank tanah.
Konsep bank tanah sebenarnya sudah dilakukan zaman Orde Baru dengan konsep Lisiba (lingkungan siap bangun) dan Kasiba (kaveling siap bangun). Peran swasta dalam penyediaan public housing sepertinya tidak boleh terlalu dominan lagi.
Kebijakan bank tanah tidak bisa hanya dibicarakan dan ditetapkan dengan peraturan menteri (permen) melainkan presiden harus turun tangan sehingga tanah-tanah BUMN/BUMD/pemda dapat segera dimanfaatkan dan para pejabat tidak takut untuk bertindak.
Karena tanpa itu, semua takut disalahkan sehingga bank tanah tidak akan pernah ada. Penerapan public housing yang baik dapat belajar juga dari Singapura dengan Housing Development Board (HDB) yang disinergikan dengan Central Provident Fund (CPF).
Hal ini juga yang bisa diterapkan di Indonesia dengan memberikan peran yang lebih besar kepada BPJS untuk pembiayaan pembangunan rumah rakyat.
Ali Tranghanda Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW)
Beberapa pihak optimistis program ini dapat berjalan, namun tidak sedikit pula yang meragukan efektivitas dari program ini. Kalau kita sedikit melihat ke belakang bagaimana kondisi target perumahan rakyat di Indonesia, maka dalam 10 tahun terakhir diperkirakan target perumahan nasional tidak pernah tercapai, dan itu dengan target 200.000 unit rumah.
Kalaupun ada realisasi pembangunan, maka yang membangun adalah pihak swasta atau pengembang swasta. Bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah hampir tidak pernah membangun rumah murah. Ironis bukan? Jadi, sampai sejauh ini pemerintah tidak mempunyai pengalaman. Apalagi sumber daya untuk dapat membangun rumah murah.
Kalau kemudian dipasang target 2 juta rumah di mana 1 juta rumah dibangun oleh swasta dan 1 juta rumah oleh pemerintah, maka yang kemudian dipertanyakan adalah sampai sejauh mana kapasitas pemerintah untuk dapat merealisasikan program tersebut.
Beberapa kebijakan populis seperti besaran uang muka yang hanya 1%, suku bunga FLPP yang akan menjadi 5% dari 7,25%, serta bantuan uang muka Rp4 juta akan memberikan stimulus dari sisi permintaan dan akan meningkatkan daya beli. Namun yang menjadi masalah, apakah pemerintah sudah menyiapkan tanah untuk dibangun rumah murah tersebut?
Di mana? Berapa banyak kapasitas yang ada di tiap pemda? Pertanyaan-pertanyaan itu yang sampai saat ini belum terjawab oleh pemerintah. Jika benar demikian, maka program yang ada akan berjalan tanpa arah. Indonesia Property Watch tidak hentihentinya untuk menyuarakan pentingnya bank tanah agar dapat memberikan sebuah kondisi pasar yang pas antara permintaan dan pasokan.
Bila dengan stimulus yang ada, daya beli masyarakat akan naik, maka selama itu tidak ada pasokan rumah yang dibangun, bagaimana mungkin mereka merealisasikan pembeliannya. Benar saat ini pengembang swasta masih dapat membangun meskipun dari data yang ada ternyata 8 dari 10 pengembang perumahan murah sudah beralih ke segmen menengah.
Bukan karena tidak mau, namun tidak bisa karena harga tanah merangkak naik. Karenanya, selama tidak ada instrumen pengendali harga tanah seperti bank tanah milik pemerintah, maka kompleksnya permasalahan perumahan tidak akan berakhir. Saat ini Indonesia Property Watch menilai bahwa kesiapan tata ruang sebuah daerah disertai dengan kesiapan bank tanah milik pemerintah akan menjamin ketersediaan rumah untuk rakyat.
Coba bayangkan bila di tanah pemerintah di patok harga tanah Rp500.000 per meter persegi, sedangkan di sebelahnya tanah komersial, maka tanah komersial yang ada meskipun bisa saja dipatok lebih tinggi dari tanah pemerintah, tapi kenaikannya tidak akan terlalu tinggi lagi. Peran ini yang seharusnya diberlakukan pemerintah terkait konsep bank tanah.
Konsep bank tanah sebenarnya sudah dilakukan zaman Orde Baru dengan konsep Lisiba (lingkungan siap bangun) dan Kasiba (kaveling siap bangun). Peran swasta dalam penyediaan public housing sepertinya tidak boleh terlalu dominan lagi.
Kebijakan bank tanah tidak bisa hanya dibicarakan dan ditetapkan dengan peraturan menteri (permen) melainkan presiden harus turun tangan sehingga tanah-tanah BUMN/BUMD/pemda dapat segera dimanfaatkan dan para pejabat tidak takut untuk bertindak.
Karena tanpa itu, semua takut disalahkan sehingga bank tanah tidak akan pernah ada. Penerapan public housing yang baik dapat belajar juga dari Singapura dengan Housing Development Board (HDB) yang disinergikan dengan Central Provident Fund (CPF).
Hal ini juga yang bisa diterapkan di Indonesia dengan memberikan peran yang lebih besar kepada BPJS untuk pembiayaan pembangunan rumah rakyat.
Ali Tranghanda Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW)
(ftr)