Serap Garam Lokal, Industri Gairahkan Produksi Petani
A
A
A
JAKARTA - Pelaku industri nasional mulai menyerap garam lokal yang diproduksi petani. Selain mengurangi garam impor, langkah tersebut juga meningkatkan pendapatan yang berujung makin bergairahnya produksi garam petani.
Hal ini disampaikan Menteri Perindustrian (Menperin), Saleh Husin saat menyaksikan penandatanganan kontrak penyerapan garam lokal antara petani garam dengan industri pengguna garam di Sampang, Madura, Jawa Timur, Sabtu (18/4/2015).
Ada tujuh perusahaan yang melakukan penyerapan yaitu Sumatraco Langgeng Abadi, Cheetam Garam Indonesia, Saltindo, Unichem, Budiono Bangun, Susanti Megah, dan Garindo Sejahtera Abadi.
Menurut Menperin, penyerapan garam lokal merupakan langkah positif bagi para petani garam nasional. Ke depan, pemerintah berharap penyerapan serupa dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Menteri juga optimistis, industri pengguna garam seperti yang bergabung dalam anggota Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) berperan mendukung program produktivitas garam di lahan petani, bermitra dengan petani garam dan terus melakukan penyerapan garam lokal dalam rangka pengembangan garam nasional.
Menurut Ketua AIPGI Tony Tanduk, volume penyerapan tahap pertama ini mencapai 175 ribu ton garam. Ini sekaligus sebagai pembuktian komitmen pelaku bisnis terhadap penggunaan garam lokal.
Dorongan Komisi VI DPR
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Farid Al Fauzi mengungkapkan, penyerapan garam petani oleh industri ini awalnya diinisiasi oleh komisinya.
"Kami prihatin dengan minimnya serapan garam produksi petani. Padahal petani garam di Indonesia sangat banyak, di Madura sendiri ada 12 ribu petani garam atau 43 persen dari seluruh petani garam di Indonesia," ujarnya.
Komisi DPR bidang perindustrian, perdagangan dan BUMN itu lantas aktif mendorong mitra kerjanya agar merealisasikan penyerapan garam oleh industri. "Lewat komunikasi yang intensif dengan pemerintah, termasuk Kementerian Perindustrian, akhirnya sekarang mulai diwujudkan," terang Farid.
Pihaknya juga telah menyetujui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Garam senilai Rp 300 miliar. Untuk itu, imbuh Farid, Komisi 6 akan terus mengawal penggunaan PMN tersebut yang salah satu alokasinya untuk program penyerapan garam petani.
Selain Farid Al Fauzi, kunjungan kerja Menperin ke Sampang ini juga diikuti oleh anggota Komisi 6 lainnya, Kholilurrahman dan Slamet Junaedi. Ketiganya merupakan wakil rakyat asal Madura.
Bupati Sampang A Fannan Hasib mengatakan Sampang merupakan salah satu sentra produksi garam terluas di Indonesia. Rinciannya, lahan milik petani garam 4.200 hektare sedangkan PT Garam memiliki lahan 1100 hektare.
"Produksi setahun mencapai 280 ribu ton sebelum semuanya terserap. Kami berharap program pemerintah termasuk penyerapan garam oleh industri akan meningkatkan produksi dan kualitas garam," ujarnya.
Kebutuhan Garam 2,6 Juta Ton
Kementerian Perindustrian menghitung, kebutuhan garam nasional pada 2015 diperkirakan sekitar 2,6 juta ton dan sektor industri yang paling banyak menggunakan garam adalah industri chlor alkali plant (soda kostik), aneka pangan dan farmasi. Sayangnya, kebutuhan yang tinggi belum dapat dipenuhi produksi dalam negeri dan mesti impor.
"Satu hal yang perlu diluruskan, impor garam tetap dilakukan karena memang industri membutuhkan kualifikasi garam yang lebih tinggi dibanding garam konsumsi," terang Menperin. Sedangkan garam lokal hingga saat ini hanya baru dapat memenuhi untuk kebutuhan konsumsi.
Kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri tidak hanya terbatas pada NaCl yang tinggi (minimal 97%) akan tetapi masih ada syarat batas maksimal kandungan logam berat seperti Kalsium dan Magnesium yang tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan. Sedangkan untuk industri chlor alkali plan (soda kostik) menetapkan ambang batas maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah, sementara itu garam untuk industri farmasi yang digunakan untuk memproduksi infuse dan cairan pembersih darah harus mengandung NaCl 99,9-100%.
"Meski kita mengimpor garam untuk industri, tetapi hal itu memberi benefit atau manfaat pada produksi industri makanan minuman," ujarnya.
Kalkulasi merujuk data tahun 2013, total impor garam senilai USD104 juta. Sedangkan ekspor produk industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku garam telah berkontribusi dalam meningkatkan devisa negara sebesar USD 4,83 miliar, belum termasuk produk PVC dan kertas.
Menyiasati impor garam, lanjut Menperin, dilakukan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan produksi garam. Kegiatan intensifikasi seperti penataan lahan, waduk penampungan, dan perbaikan saluran primer ini telah dilakukan di sentra-sentra produksi garam eksisting dan dilakukan secara bertahap.
"Untuk meningkatkan produksi, intensifikasi sebagian besar akan dilakukan di Nusa Tenggara Timur yang memiliki lahan yang sangat luas," kata Saleh Husin. Faktor iklim juga mendukung karena musim kemarau yang sangat panjang sekitar 7-8 bulan.
Hal ini disampaikan Menteri Perindustrian (Menperin), Saleh Husin saat menyaksikan penandatanganan kontrak penyerapan garam lokal antara petani garam dengan industri pengguna garam di Sampang, Madura, Jawa Timur, Sabtu (18/4/2015).
Ada tujuh perusahaan yang melakukan penyerapan yaitu Sumatraco Langgeng Abadi, Cheetam Garam Indonesia, Saltindo, Unichem, Budiono Bangun, Susanti Megah, dan Garindo Sejahtera Abadi.
Menurut Menperin, penyerapan garam lokal merupakan langkah positif bagi para petani garam nasional. Ke depan, pemerintah berharap penyerapan serupa dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Menteri juga optimistis, industri pengguna garam seperti yang bergabung dalam anggota Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) berperan mendukung program produktivitas garam di lahan petani, bermitra dengan petani garam dan terus melakukan penyerapan garam lokal dalam rangka pengembangan garam nasional.
Menurut Ketua AIPGI Tony Tanduk, volume penyerapan tahap pertama ini mencapai 175 ribu ton garam. Ini sekaligus sebagai pembuktian komitmen pelaku bisnis terhadap penggunaan garam lokal.
Dorongan Komisi VI DPR
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Farid Al Fauzi mengungkapkan, penyerapan garam petani oleh industri ini awalnya diinisiasi oleh komisinya.
"Kami prihatin dengan minimnya serapan garam produksi petani. Padahal petani garam di Indonesia sangat banyak, di Madura sendiri ada 12 ribu petani garam atau 43 persen dari seluruh petani garam di Indonesia," ujarnya.
Komisi DPR bidang perindustrian, perdagangan dan BUMN itu lantas aktif mendorong mitra kerjanya agar merealisasikan penyerapan garam oleh industri. "Lewat komunikasi yang intensif dengan pemerintah, termasuk Kementerian Perindustrian, akhirnya sekarang mulai diwujudkan," terang Farid.
Pihaknya juga telah menyetujui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Garam senilai Rp 300 miliar. Untuk itu, imbuh Farid, Komisi 6 akan terus mengawal penggunaan PMN tersebut yang salah satu alokasinya untuk program penyerapan garam petani.
Selain Farid Al Fauzi, kunjungan kerja Menperin ke Sampang ini juga diikuti oleh anggota Komisi 6 lainnya, Kholilurrahman dan Slamet Junaedi. Ketiganya merupakan wakil rakyat asal Madura.
Bupati Sampang A Fannan Hasib mengatakan Sampang merupakan salah satu sentra produksi garam terluas di Indonesia. Rinciannya, lahan milik petani garam 4.200 hektare sedangkan PT Garam memiliki lahan 1100 hektare.
"Produksi setahun mencapai 280 ribu ton sebelum semuanya terserap. Kami berharap program pemerintah termasuk penyerapan garam oleh industri akan meningkatkan produksi dan kualitas garam," ujarnya.
Kebutuhan Garam 2,6 Juta Ton
Kementerian Perindustrian menghitung, kebutuhan garam nasional pada 2015 diperkirakan sekitar 2,6 juta ton dan sektor industri yang paling banyak menggunakan garam adalah industri chlor alkali plant (soda kostik), aneka pangan dan farmasi. Sayangnya, kebutuhan yang tinggi belum dapat dipenuhi produksi dalam negeri dan mesti impor.
"Satu hal yang perlu diluruskan, impor garam tetap dilakukan karena memang industri membutuhkan kualifikasi garam yang lebih tinggi dibanding garam konsumsi," terang Menperin. Sedangkan garam lokal hingga saat ini hanya baru dapat memenuhi untuk kebutuhan konsumsi.
Kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri tidak hanya terbatas pada NaCl yang tinggi (minimal 97%) akan tetapi masih ada syarat batas maksimal kandungan logam berat seperti Kalsium dan Magnesium yang tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan. Sedangkan untuk industri chlor alkali plan (soda kostik) menetapkan ambang batas maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah, sementara itu garam untuk industri farmasi yang digunakan untuk memproduksi infuse dan cairan pembersih darah harus mengandung NaCl 99,9-100%.
"Meski kita mengimpor garam untuk industri, tetapi hal itu memberi benefit atau manfaat pada produksi industri makanan minuman," ujarnya.
Kalkulasi merujuk data tahun 2013, total impor garam senilai USD104 juta. Sedangkan ekspor produk industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku garam telah berkontribusi dalam meningkatkan devisa negara sebesar USD 4,83 miliar, belum termasuk produk PVC dan kertas.
Menyiasati impor garam, lanjut Menperin, dilakukan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan produksi garam. Kegiatan intensifikasi seperti penataan lahan, waduk penampungan, dan perbaikan saluran primer ini telah dilakukan di sentra-sentra produksi garam eksisting dan dilakukan secara bertahap.
"Untuk meningkatkan produksi, intensifikasi sebagian besar akan dilakukan di Nusa Tenggara Timur yang memiliki lahan yang sangat luas," kata Saleh Husin. Faktor iklim juga mendukung karena musim kemarau yang sangat panjang sekitar 7-8 bulan.
(dmd)