Indonesia Akan Sulit Membangun Jika Bergantung pada Utang

Rabu, 15 Juli 2020 - 09:34 WIB
Dia memerinci nilai pokok utang pemerintah pada 2019 mencapai Rp4.786 triliun. Perinciannya dari jumlah tersebut sebanyak 58% merupakan utang luar negeri senilai Rp2.783 triliun. “Selebihnya 42% utang dalam negeri senilai Rp2.002 triliun,” jelasnya. (Baca juga: Buwas Sebut Tidak Perlu Terlalu Risau dengan Ancama Krisis Pangan)

Selain itu BPK menyoroti realisasi defisit anggaran 2019 yang sebesar 2,2% terhadap PDB. Angka ini melampaui target dalam UU APBN 2019 yang sebesar 1,84%.

Dia menjelaskan, dengan rasio utang tersebut terjadi defisit mencapai Rp348,65 triliun. Sementara itu realisasi pembiayaan tahun lalu sebesar Rp402,05 triliun atau 115,31% dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp53,39 triliun.

“Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari pembiayaan utang sebesar Rp437,54 triliun. Artinya pengadaan utang tahun 2019 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit,” tandas dia.

Dalam sebuah kesempatan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengakui bahwa utang masih akan menjadi penopang APBN pada 2020. Walaupun begitu tidak sepenuhnya utang itu menjadi pembiayaan utama.

Menkeu mengungkapkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber pembiayaan utang pemerintah dilakukan dalam rangka untuk mendukung program-program pembangunan untuk menjadikan Indonesia lebih maju dan demi perbaikan kesejahteraan masyarakat. (Baca juga: Hagia Sophia dan Masjid-masjid yang Menjadi Gereja)

Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, ketergantungan utang luar negeri punya dampak negatif bagi perekonomian. Pertama, pinjaman dalam bentuk valas akan menyedot suplai dolar di dalam negeri.

“Artinya pemerintah harus menyediakan pembayaran bunga utang dan cicilan pokok dengan stok valas yang besar. Wajar jika kurs rupiah menjadi mudah melemah dalam jangka panjang,” katanya saat dihubungi di Jakarta kemarin.

Kedua, pembiayaan utang luar negeri yang cukup dominan membuat rasio debt to service meningkat. “Kalau utangnya valas ya harus dicari sumber valas. Padahal di tengah situasi pandemi kinerja ekspor dan devisa pariwisata sedang melemah. Implikasinya risiko kemampuan bayar utang makin besar,” katanya.

Ketiga, arus utang luar negeri menimbulkan risiko portofolio. Investor asing beli utang easy in dan easy go. Kalau terjadi penurunan minat membeli utang valas bisa terjadi capital outflow besar-besaran. “Ini kan situasinya ada quantitative easing The Fed yang membuat investor berburu surat utang di negara berkembang. Jika terjadi tapering off, apa dananya tidak outflow? Apa antisipasinya? Itu yang perlu dipikirkan pemerintah dan BI,” beber dia.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More