Indonesia Akan Sulit Membangun Jika Bergantung pada Utang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembangunan sejumlah sektor di Indonesia masih bergantung pada utang. Sepertinya negeri ini akan kesulitan untuk membangun kalau tidak ada utang.
Selain dari utang, kebutuhan modal untuk pembangunan bergantung pada kredit perbankan. Namun perbankan memiliki keterbatasan likuiditas dalam menyalurkan kreditnya.
Perbankan hanya mampu memberikan kredit maksimal 35% atau Rp4.000 triliun dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp11.000 triliun. Jadi sudah pasti kredit perbankan Indonesia tidak cukup.
Kondisi ini berbeda dengan di negara lain yang perbankannya mampu menyalurkan kredit untuk pembangunan dalam negeri menyamai kebutuhan PDB-nya.
Diketahui, posisi utang Indonesia per akhir Mei 2020 berada di angka Rp5.258,57 triliun. Nilai ini naik dari posisi akhir April 2020 yang berkisar Rp5.172,48 triliun. Rasio utang per akhir Mei 2020 naik di angka 32,09% dari PDB dari bulan sebelumnya di angka 31,78% dari PDB. (Baca: Singapura resesi, Warning Bagi Indonesia)
Adapun komposisi utang pada Mei 2020 terdiri atas Rp4.442,90 triliun Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp815,66 triliun dari pinjaman. Jika diperinci ada SBN senilai Rp3.248,23 triliun dalam bentuk nilai tukar domestik yang terbagi menjadi Rp2.650,69 triliun Surat Utang Negara (SUN) dan Rp597,54 triliun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Lalu Rp1.194,67 triliun berdenominasi valas dengan pembagian Rp970,73 triliun SUN dan Rp223,94 triliun SBSN.
Komposisi pinjaman terbagi menjadi Rp9,94 triliun pinjaman dalam negeri dan Rp805,72 triliun pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri pun terdiri atas Rp316,68 triliun bilateral, Rp446,69 triliun multilateral, dan Rp42,35 triliun dari bank komersial.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti melonjaknya utang pemerintah yang meningkat menjadi 30,23% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama tahun lalu. Adapun nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan 2018 yang hanya mencapai 29,81% dari PDB.
“Selain itu posisi utang pemerintah terhadap PDB pada 2019 mencapai 30,23% atau meningkat jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2018 yang sebesar 29,81%,” ujar Ketua BPK Agung Firman Sampurna saat menyampaikan LKPP 2019 pada rapat paripurna DPR RI kemarin.
Dia memerinci nilai pokok utang pemerintah pada 2019 mencapai Rp4.786 triliun. Perinciannya dari jumlah tersebut sebanyak 58% merupakan utang luar negeri senilai Rp2.783 triliun. “Selebihnya 42% utang dalam negeri senilai Rp2.002 triliun,” jelasnya. (Baca juga: Buwas Sebut Tidak Perlu Terlalu Risau dengan Ancama Krisis Pangan)
Selain itu BPK menyoroti realisasi defisit anggaran 2019 yang sebesar 2,2% terhadap PDB. Angka ini melampaui target dalam UU APBN 2019 yang sebesar 1,84%.
Dia menjelaskan, dengan rasio utang tersebut terjadi defisit mencapai Rp348,65 triliun. Sementara itu realisasi pembiayaan tahun lalu sebesar Rp402,05 triliun atau 115,31% dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp53,39 triliun.
“Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari pembiayaan utang sebesar Rp437,54 triliun. Artinya pengadaan utang tahun 2019 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit,” tandas dia.
Dalam sebuah kesempatan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengakui bahwa utang masih akan menjadi penopang APBN pada 2020. Walaupun begitu tidak sepenuhnya utang itu menjadi pembiayaan utama.
Menkeu mengungkapkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber pembiayaan utang pemerintah dilakukan dalam rangka untuk mendukung program-program pembangunan untuk menjadikan Indonesia lebih maju dan demi perbaikan kesejahteraan masyarakat. (Baca juga: Hagia Sophia dan Masjid-masjid yang Menjadi Gereja)
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, ketergantungan utang luar negeri punya dampak negatif bagi perekonomian. Pertama, pinjaman dalam bentuk valas akan menyedot suplai dolar di dalam negeri.
“Artinya pemerintah harus menyediakan pembayaran bunga utang dan cicilan pokok dengan stok valas yang besar. Wajar jika kurs rupiah menjadi mudah melemah dalam jangka panjang,” katanya saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Kedua, pembiayaan utang luar negeri yang cukup dominan membuat rasio debt to service meningkat. “Kalau utangnya valas ya harus dicari sumber valas. Padahal di tengah situasi pandemi kinerja ekspor dan devisa pariwisata sedang melemah. Implikasinya risiko kemampuan bayar utang makin besar,” katanya.
Ketiga, arus utang luar negeri menimbulkan risiko portofolio. Investor asing beli utang easy in dan easy go. Kalau terjadi penurunan minat membeli utang valas bisa terjadi capital outflow besar-besaran. “Ini kan situasinya ada quantitative easing The Fed yang membuat investor berburu surat utang di negara berkembang. Jika terjadi tapering off, apa dananya tidak outflow? Apa antisipasinya? Itu yang perlu dipikirkan pemerintah dan BI,” beber dia.
Pandangan berbeda dikemukakan Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah. Menurutnya, utang pemerintah tidak bisa dipisahkan dari kebijakan APBN yang merupakan produk pemerintah dan DPR. “Kenaikan utang pemerintah adalah konsekuensi dari defisit ABNM yang ditetapkan bersama oleh pemerintah dan DPR,” kata Piter saat dihubungi kemarin. (Lihat videonya: Banjir Bandang di Kabupaten Luwu Hancurkan Akses Jalan Desa)
Di sisi lain defisit APBN terjadi karena terbatasnya pajak yang dibayarkan masyarakat. Di sisi lain belanja pemerintah tinggi untuk proyek-proyek pembangunan, begitu pula faktor besarnya subsidi dan lain-lain.
“Kalau kita memang tidak menginginkan utang pemerintah terus bertambah, pilihannya adalah kita disiplin membayar pajak. Kita juga tidak mendorong pemerintah melakukan pembangunan yang melebihi kemampuan pemerintah. Hilangkan subsidi, hilangkan bantuan sosial dan sebagainya,” ujar dia.
Menurut dia, tidak banyak negara yang terus-menerus mempertanyakan posisi utang pemerintahnya. Sementara itu sesungguhnya utang Pemerintah Indonesia masih jauh di bawah batas yang dianggap tidak aman. (Rina Anggraeni/Kunthi Fahmar Sandy/Oktiani Endarwati)
Selain dari utang, kebutuhan modal untuk pembangunan bergantung pada kredit perbankan. Namun perbankan memiliki keterbatasan likuiditas dalam menyalurkan kreditnya.
Perbankan hanya mampu memberikan kredit maksimal 35% atau Rp4.000 triliun dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp11.000 triliun. Jadi sudah pasti kredit perbankan Indonesia tidak cukup.
Kondisi ini berbeda dengan di negara lain yang perbankannya mampu menyalurkan kredit untuk pembangunan dalam negeri menyamai kebutuhan PDB-nya.
Diketahui, posisi utang Indonesia per akhir Mei 2020 berada di angka Rp5.258,57 triliun. Nilai ini naik dari posisi akhir April 2020 yang berkisar Rp5.172,48 triliun. Rasio utang per akhir Mei 2020 naik di angka 32,09% dari PDB dari bulan sebelumnya di angka 31,78% dari PDB. (Baca: Singapura resesi, Warning Bagi Indonesia)
Adapun komposisi utang pada Mei 2020 terdiri atas Rp4.442,90 triliun Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp815,66 triliun dari pinjaman. Jika diperinci ada SBN senilai Rp3.248,23 triliun dalam bentuk nilai tukar domestik yang terbagi menjadi Rp2.650,69 triliun Surat Utang Negara (SUN) dan Rp597,54 triliun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Lalu Rp1.194,67 triliun berdenominasi valas dengan pembagian Rp970,73 triliun SUN dan Rp223,94 triliun SBSN.
Komposisi pinjaman terbagi menjadi Rp9,94 triliun pinjaman dalam negeri dan Rp805,72 triliun pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri pun terdiri atas Rp316,68 triliun bilateral, Rp446,69 triliun multilateral, dan Rp42,35 triliun dari bank komersial.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti melonjaknya utang pemerintah yang meningkat menjadi 30,23% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama tahun lalu. Adapun nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan 2018 yang hanya mencapai 29,81% dari PDB.
“Selain itu posisi utang pemerintah terhadap PDB pada 2019 mencapai 30,23% atau meningkat jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2018 yang sebesar 29,81%,” ujar Ketua BPK Agung Firman Sampurna saat menyampaikan LKPP 2019 pada rapat paripurna DPR RI kemarin.
Dia memerinci nilai pokok utang pemerintah pada 2019 mencapai Rp4.786 triliun. Perinciannya dari jumlah tersebut sebanyak 58% merupakan utang luar negeri senilai Rp2.783 triliun. “Selebihnya 42% utang dalam negeri senilai Rp2.002 triliun,” jelasnya. (Baca juga: Buwas Sebut Tidak Perlu Terlalu Risau dengan Ancama Krisis Pangan)
Selain itu BPK menyoroti realisasi defisit anggaran 2019 yang sebesar 2,2% terhadap PDB. Angka ini melampaui target dalam UU APBN 2019 yang sebesar 1,84%.
Dia menjelaskan, dengan rasio utang tersebut terjadi defisit mencapai Rp348,65 triliun. Sementara itu realisasi pembiayaan tahun lalu sebesar Rp402,05 triliun atau 115,31% dari nilai defisitnya sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp53,39 triliun.
“Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari pembiayaan utang sebesar Rp437,54 triliun. Artinya pengadaan utang tahun 2019 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit,” tandas dia.
Dalam sebuah kesempatan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengakui bahwa utang masih akan menjadi penopang APBN pada 2020. Walaupun begitu tidak sepenuhnya utang itu menjadi pembiayaan utama.
Menkeu mengungkapkan pengelolaan dan pemanfaatan sumber pembiayaan utang pemerintah dilakukan dalam rangka untuk mendukung program-program pembangunan untuk menjadikan Indonesia lebih maju dan demi perbaikan kesejahteraan masyarakat. (Baca juga: Hagia Sophia dan Masjid-masjid yang Menjadi Gereja)
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, ketergantungan utang luar negeri punya dampak negatif bagi perekonomian. Pertama, pinjaman dalam bentuk valas akan menyedot suplai dolar di dalam negeri.
“Artinya pemerintah harus menyediakan pembayaran bunga utang dan cicilan pokok dengan stok valas yang besar. Wajar jika kurs rupiah menjadi mudah melemah dalam jangka panjang,” katanya saat dihubungi di Jakarta kemarin.
Kedua, pembiayaan utang luar negeri yang cukup dominan membuat rasio debt to service meningkat. “Kalau utangnya valas ya harus dicari sumber valas. Padahal di tengah situasi pandemi kinerja ekspor dan devisa pariwisata sedang melemah. Implikasinya risiko kemampuan bayar utang makin besar,” katanya.
Ketiga, arus utang luar negeri menimbulkan risiko portofolio. Investor asing beli utang easy in dan easy go. Kalau terjadi penurunan minat membeli utang valas bisa terjadi capital outflow besar-besaran. “Ini kan situasinya ada quantitative easing The Fed yang membuat investor berburu surat utang di negara berkembang. Jika terjadi tapering off, apa dananya tidak outflow? Apa antisipasinya? Itu yang perlu dipikirkan pemerintah dan BI,” beber dia.
Pandangan berbeda dikemukakan Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah. Menurutnya, utang pemerintah tidak bisa dipisahkan dari kebijakan APBN yang merupakan produk pemerintah dan DPR. “Kenaikan utang pemerintah adalah konsekuensi dari defisit ABNM yang ditetapkan bersama oleh pemerintah dan DPR,” kata Piter saat dihubungi kemarin. (Lihat videonya: Banjir Bandang di Kabupaten Luwu Hancurkan Akses Jalan Desa)
Di sisi lain defisit APBN terjadi karena terbatasnya pajak yang dibayarkan masyarakat. Di sisi lain belanja pemerintah tinggi untuk proyek-proyek pembangunan, begitu pula faktor besarnya subsidi dan lain-lain.
“Kalau kita memang tidak menginginkan utang pemerintah terus bertambah, pilihannya adalah kita disiplin membayar pajak. Kita juga tidak mendorong pemerintah melakukan pembangunan yang melebihi kemampuan pemerintah. Hilangkan subsidi, hilangkan bantuan sosial dan sebagainya,” ujar dia.
Menurut dia, tidak banyak negara yang terus-menerus mempertanyakan posisi utang pemerintahnya. Sementara itu sesungguhnya utang Pemerintah Indonesia masih jauh di bawah batas yang dianggap tidak aman. (Rina Anggraeni/Kunthi Fahmar Sandy/Oktiani Endarwati)
(ysw)