Rokok Disamakan dengan Narkoba, Bagaimana Nasib Industri Hasil Tembakau?

Kamis, 13 April 2023 - 21:30 WIB
Rencana pengelompokan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan berpolemik. Foto DOK ist
JAKARTA - Rencana pengelompokan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan berpolemik. Para pelaku Industri Hasil Tembakau, mulai dari petani, pekerja, pedagang, hingga konsumen dapat menghadapi konsekuensi hukum yang serius jika RUU ini disahkan.

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Aris Arif Mundayat, menjelaskan RUU ini dapat memangkas hak-hak konstitusional para pelaku usaha tembakau sampai para konsumen produk tembakau.



“Konsumen dan produk tembakau bisa tidak terlindungi secara konstitusional. Bahkan petani tembakau dapat kehilangan komoditas tembakau jika dipersepsikan sama dengan narkoba oleh aparat hukum. Perlindungan konstitusional mestinya harus jelas dan tegas agar tidak ada yang dirugikan,” kata Aris Arif Mundayat dalam siaran tertulisnya, Kamis (13/4/2023).

Merujuk draf RUU Kesehatan, pasal 154 ayat (3) berbunyi: zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya. Dengan ketentuan tersebut, maka akan timbul konsekuensi hukum yang akan menyamakan proses produksi dan distribusi dari jenis-jenis barang adiktif tersebut. Untuk para pelaku Industri Hasil Tembakau, ini tentu akan sangat merugikan.



Alih-alih menyetarakan tembakau yang merupakan produk legal dengan narkotika dan psikotropika yang merupakan produk ilegal, Aris berpendapat agar RUU Kesehatan ini seharusnya dapat memberikan perlindungan konstitusional kepada ekosistem industri hasil tembakau, termasuk juga soal aspek pengendalian tembakau untuk tidak dikonsumsi oleh anak di bawah umur 18 tahun.

“Akibatnya bisa buruk terhadap petani tembakau. RUU ini harusnya dapat memberikan perlindungan konstitusional terhadap perokok dewasa serta anak di bawah umur,” ungkapnya.

Aris menambahkan DPR harusnya lebih memprioritaskan regulasi krusial lainnya yang sedang dibahas, misalnya RUU Perampasan Aset Koruptor. Selain soal faedah yang lebih besar, ini juga untuk memangkas kapitalisme politik dari demokrasi nasional.

“Menurut saya UU perampasan aset koruptor yang semestinya untuk didahulukan mengingat indeks persepsi korupsi Indonesia salah satu yang terburuk. Dari 180 negara, Indonesia merupakan peringkat 110 negara paling korup di dunia pada 2022,” tutupnya.
(bim)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Terpopuler
Berita Terkini More