Awas, Gempuran Asing Caplok Bank Lokal Bisa Bikin Arus Modal Kabur
Senin, 20 Juli 2020 - 19:21 WIB
JAKARTA - Banyaknya bank asing yang melakukan ekspansi di Indonesia membuat arus modal keluar, apalagi jika terjadi shock pada ekonomi sangat berisiko. Di satu sisi bank lokal sedang membutuhkan suntikan modal baru untuk penyehatan likuiditas.
"Di sisi yang lain masuknya bank asing khususnya dari Korea dan Jepang dalam beberapa tahun terakhir memiliki beberapa implikasi," kata Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira di Jakarta, Senin (20/7/2020).
(Baca Juga: Kemenkeu Tegaskan Penempatan Dana Pemerintah untuk Bank Sehat )
Ekspansi bank asing di Indonesia sepertinya berada dalam tahap yang mengkhawatirkan jika dilihat dari kacamata kepentingan ekonomi nasional. Problem lain adanya potensi transfer pricing antara anak dan induk bank, baik dalam bentuk pengalihan dana simpanan, penempatan tenaga kerja dan pembelian barang dari negara asal.
Selain itu, sambung Bhima, ada faktor risiko soal penggunaan data nasabah bank di Indonesia untuk kepentingan induk bank asing. Indonesia soal perlindungan data nasabah tergolong lemah. "Padahal “data is the new oil”, komoditas yang mungkin nilainya kedepan lebih bernilai dari bisnis simpan-meminjam itu sendiri," ungkap dia.
(Baca Juga: OJK Keluarkan Paket Stimulus Lanjutan Bagi Perbankan )
Jelas ada konsekuensi dari liberalnya aturan perbankan terkait kepemilikan asing di perbankan lokal. Regulasi nya bisa di lihat dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1999, dan Peraturan BI No. 14/8/PBI/2012 tahun 2012. Dari aturan itu bisa disimpulkan kepemilikan saham oleh asing bisa sampai 99%.
Menurut Bhima, Indonesia ini cukup aneh, di China misalnya kalau bank lokal kita mau buka cabang harus joint ventures dengan pemain lokal China, porsinya bisa diatas 60%. Buka layanan ATM saja izinnya susah. Regulator China anggap sektor jasa keuangan merupakan sektor yang strategis, dari banyak sisi termasuk keamanan.
"Sedangkan di Indonesia paska reformasi 1998 justru semakin liberal, padahal kalau ada tekanan krisis ekonomi, dana asing akan lebih mudah keluar ketika bank asing terlalu dominan. Ini berkaitan dengan kekuatan devisa Indonesia juga," beber Bhima.
Dia pun menyarankan Pemerintah, BI, dan OJK perlu mendorong revisi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Amandemen UU itu sangat mendesak, tapi mangkrak di DPR. Poinnya adalah pembatasan kepemilikan saham asing dalam perbankan nasional. "Besaran kepemilikan asing idealnya di bawah 40%. Kedua, perketat pengawasan mengenai transfer pricing dan perlindungan data nasabah," katanya.
"Di sisi yang lain masuknya bank asing khususnya dari Korea dan Jepang dalam beberapa tahun terakhir memiliki beberapa implikasi," kata Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira di Jakarta, Senin (20/7/2020).
(Baca Juga: Kemenkeu Tegaskan Penempatan Dana Pemerintah untuk Bank Sehat )
Ekspansi bank asing di Indonesia sepertinya berada dalam tahap yang mengkhawatirkan jika dilihat dari kacamata kepentingan ekonomi nasional. Problem lain adanya potensi transfer pricing antara anak dan induk bank, baik dalam bentuk pengalihan dana simpanan, penempatan tenaga kerja dan pembelian barang dari negara asal.
Selain itu, sambung Bhima, ada faktor risiko soal penggunaan data nasabah bank di Indonesia untuk kepentingan induk bank asing. Indonesia soal perlindungan data nasabah tergolong lemah. "Padahal “data is the new oil”, komoditas yang mungkin nilainya kedepan lebih bernilai dari bisnis simpan-meminjam itu sendiri," ungkap dia.
(Baca Juga: OJK Keluarkan Paket Stimulus Lanjutan Bagi Perbankan )
Jelas ada konsekuensi dari liberalnya aturan perbankan terkait kepemilikan asing di perbankan lokal. Regulasi nya bisa di lihat dalam Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1999, dan Peraturan BI No. 14/8/PBI/2012 tahun 2012. Dari aturan itu bisa disimpulkan kepemilikan saham oleh asing bisa sampai 99%.
Menurut Bhima, Indonesia ini cukup aneh, di China misalnya kalau bank lokal kita mau buka cabang harus joint ventures dengan pemain lokal China, porsinya bisa diatas 60%. Buka layanan ATM saja izinnya susah. Regulator China anggap sektor jasa keuangan merupakan sektor yang strategis, dari banyak sisi termasuk keamanan.
"Sedangkan di Indonesia paska reformasi 1998 justru semakin liberal, padahal kalau ada tekanan krisis ekonomi, dana asing akan lebih mudah keluar ketika bank asing terlalu dominan. Ini berkaitan dengan kekuatan devisa Indonesia juga," beber Bhima.
Dia pun menyarankan Pemerintah, BI, dan OJK perlu mendorong revisi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Amandemen UU itu sangat mendesak, tapi mangkrak di DPR. Poinnya adalah pembatasan kepemilikan saham asing dalam perbankan nasional. "Besaran kepemilikan asing idealnya di bawah 40%. Kedua, perketat pengawasan mengenai transfer pricing dan perlindungan data nasabah," katanya.
(akr)
tulis komentar anda