Krisis Ekonomi Terburuk dalam 70 Tahun Menimpa Sri Lanka, Bank Sentral Blejeti Masalahnya
Selasa, 02 Mei 2023 - 17:47 WIB
KOLOMBO - Bank sentral Sri Lanka memaparkan sejauh mana krisis ekonomi terburuk di negara itu dalam lebih dari 70 tahun. Dalam laporan tahunannya, bank menguraikan bagaimana upah tahun lalu gagal mengimbangi melonjaknya beragam biaya mulai dari makanan hingga bahan bakar.
Beberapa kelemahan melekat dan penyimpangan kebijakan ikut memicu parahnya masalah ekonomi yang melanda di negara Asia Selatan itu, ucap bank sentral . Bank saat ini memperkirakan ekonomi baru bakal kembali ke pertumbuhan pada tahun depan.
Bank Sentral Sri Lanka memprediksi ekonomi akan menyusut sebesar 2% tahun ini, tetapi bakal berkembang sebesar 3,3% pada tahun 2024. Prediksi tersebut lebih optimis dibandingkan Dana Moneter Internasional (IMF), yang memperkirakan kontraksi pada 2023 sekitar 3% dan pertumbuhan 1,5% tahun depan.
Laporan bank sentral juga menguraikan bagaimana inflasi utama mencapai hampir 70% pada bulan September 2022 karena harga buah segar, gandum dan telur bertambah mahal lebih dari dua kali lipat. Pada saat yang sama, biaya transportasi dan utilitas penting seperti listrik dan air turut naik lebih cepat.
Tahun lalu, ekonomi Sri Lanka menyusut 7,8% dan negara itu gagal membayar utang luar negerinya untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948.
Default terjadi ketika pemerintah tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruh pembayaran utang mereka kepada kreditor. Kondisi tersebut merusak reputasinya dengan pemberi pinjaman, membuatnya semakin sulit untuk meminjam uang di pasar internasional.
"Ekonomi Sri Lanka menghadapi tahun yang paling berat dalam sejarah pasca-kemerdekaannya," kata laporan itu.
Model ekonomi "tidak berkelanjutan" "mengarahkan negara menuju bencana multifaset," tambahnya.
Sri Lanka berutang sekitar USD7 miliar atau setara Rp102,6 triliun (Kurs Rp14.659/USD) ke China dan sekitar USD1 miliar ke India. Pada bulan Februari, kedua negara sepakat untuk merestrukturisasi pinjaman mereka, memberi Sri Lanka lebih banyak waktu untuk membayarnya kembali.
Bulan lalu, IMF setuju untuk meminjamkan Sri Lanka sebesar USD3 miliar. Angka tersebut di atas pinjaman USD600 juta dari Bank Dunia tahun lalu. Pemerintah Sri Lanka saat ini sedang menegosiasikan pembayaran utangnya dengan pemegang obligasi dan kreditur sebelum IMF meninjau situasi pada bulan September.
Lihat Juga: Kemenparekraf: Literasi Keuangan dan Bisnis DPUP 2024 Cegah dari Pinjol Ilegal dan Judol
Beberapa kelemahan melekat dan penyimpangan kebijakan ikut memicu parahnya masalah ekonomi yang melanda di negara Asia Selatan itu, ucap bank sentral . Bank saat ini memperkirakan ekonomi baru bakal kembali ke pertumbuhan pada tahun depan.
Bank Sentral Sri Lanka memprediksi ekonomi akan menyusut sebesar 2% tahun ini, tetapi bakal berkembang sebesar 3,3% pada tahun 2024. Prediksi tersebut lebih optimis dibandingkan Dana Moneter Internasional (IMF), yang memperkirakan kontraksi pada 2023 sekitar 3% dan pertumbuhan 1,5% tahun depan.
Laporan bank sentral juga menguraikan bagaimana inflasi utama mencapai hampir 70% pada bulan September 2022 karena harga buah segar, gandum dan telur bertambah mahal lebih dari dua kali lipat. Pada saat yang sama, biaya transportasi dan utilitas penting seperti listrik dan air turut naik lebih cepat.
Tahun lalu, ekonomi Sri Lanka menyusut 7,8% dan negara itu gagal membayar utang luar negerinya untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948.
Default terjadi ketika pemerintah tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruh pembayaran utang mereka kepada kreditor. Kondisi tersebut merusak reputasinya dengan pemberi pinjaman, membuatnya semakin sulit untuk meminjam uang di pasar internasional.
"Ekonomi Sri Lanka menghadapi tahun yang paling berat dalam sejarah pasca-kemerdekaannya," kata laporan itu.
Model ekonomi "tidak berkelanjutan" "mengarahkan negara menuju bencana multifaset," tambahnya.
Sri Lanka berutang sekitar USD7 miliar atau setara Rp102,6 triliun (Kurs Rp14.659/USD) ke China dan sekitar USD1 miliar ke India. Pada bulan Februari, kedua negara sepakat untuk merestrukturisasi pinjaman mereka, memberi Sri Lanka lebih banyak waktu untuk membayarnya kembali.
Bulan lalu, IMF setuju untuk meminjamkan Sri Lanka sebesar USD3 miliar. Angka tersebut di atas pinjaman USD600 juta dari Bank Dunia tahun lalu. Pemerintah Sri Lanka saat ini sedang menegosiasikan pembayaran utangnya dengan pemegang obligasi dan kreditur sebelum IMF meninjau situasi pada bulan September.
Lihat Juga: Kemenparekraf: Literasi Keuangan dan Bisnis DPUP 2024 Cegah dari Pinjol Ilegal dan Judol
(akr)
tulis komentar anda