PMI Manufaktur RI Juli Naik, Dampak Terburuk Corona Sudah Lewat?
Senin, 03 Agustus 2020 - 13:50 WIB
JAKARTA - IHS Markit mencatat Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia naik hampir delapan poin dari 39,1 pada bulan Juni menjadi 46,9 pada bulan Juli 2020. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak bulan Februari. PMI terus mendapatkan kembali posisi dari rekor terendah bulan April meski data terbaru tetap di bawah level 50.
Setelah empat bulan turun sangat tajam, arus masuk pesanan baru turun marginal pada awal kuartal ketiga. Sementara output turun pada tingkat yang jauh lebih lambat. Kepercayaan bisnis tetap meningkat didasari harapan untuk kembali ke kondisi pasar yang lebih normal. (Baca: Seperti ini Strategi Nyeleneh Korporasi Dunia, Bertahan Di Tengah Pandemi )
Namun perusahaan tetap enggan berinvestasi untuk kapasitas baru, dengan keadaan lapangan kerja yang semakin menurun dan aktivitas pembelian berkurang. Inventaris juga menyusut.
Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw mengatakan, data PMI menunjukkan penurunan di seluruh sektor manufaktur Indonesia selama bulan Juni banyak berkurang. Hal ini menambah harapan bahwa dampak terburuk pandemi corona (Covid-19) telah berlalu.
"Indeks output, permintaan, dan ketenagakerjaan semuanya meningkat dari posisi terendah yang terlihat pada kuartal kedua, terbantu oleh relaksasi tindakan pengamanan Covid-19. Perusahaan juga tetap optimis tentang output mereka dalam waktu satu tahun," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).
Namun, survei juga menunjukkan pemulihan yang menantang di depan. Menurut dia, perusahaan terus mengurangi lapangan kerja pabrik dan berusaha mengendalikan biaya. Penurunan jumlah pekerjaan yang terus menerus juga diperpanjang hingga bulan Juli. (Baca juga: Para Pekerja Malam Kepung Balai Kota, Ini Curhatannya )
"Perlunya social distancing di tempat kerja dan perkumpulan publik, serta potensi lonjakan infeksi baru, juga dapat menunda produksi dan penjualan lebih lanjut dari pemulihan ke tingkat pra-pandemi," jelasnya.
Volume produksi yang lebih rendah sering dikaitkan dengan dampak buruk pandemi Covid-19 pada permintaan, dimana pertumbuhan output dilaporkan perusahaan manufaktur menunjuk pada pembukaan kembali pabrik secara bertahap karena langkah-langkah pengendalian dilonggarkan.
Langkah-langkah bertahap yang dilakukan pemerintah untuk memulai kembali perekonomian juga menyebabkan menurunnya permintaan secara keseluruhan. Penurunan total pesanan baru hanya sedikit pada bulan Juli meskipun ada penurunan besar dalam penjualan ekspor. (Baca juga: Ingin UMKM Bersaing di Pasar Ekspor, Ini Resep dari Kadin Jatim )
Sementara beban biaya rata-rata juga meningkat tajam pada bulan Juli 2020 akibat inflasi yang juga menyebabkan melemahnya rupiah dan kenaikan harga bahan baku. Peningkatan biaya sebagian dibebankan ke pelanggan melalui harga jual yang lebih tinggi.
Dengan menurunnya output pada Juli 2020, sebagian bagian dari upaya untuk menghemat biaya, perusahaan terus mengurangi kegiatan pembelian mereka dan cenderung lebih memilih untuk memanfaatkan investasi sebisa mungkin saat ini untuk memenuhi permintaan produksi. Produsen juga menyoroti kekurangan pasokan dan kurangnya layanan transportasi yang memadai.
Setelah empat bulan turun sangat tajam, arus masuk pesanan baru turun marginal pada awal kuartal ketiga. Sementara output turun pada tingkat yang jauh lebih lambat. Kepercayaan bisnis tetap meningkat didasari harapan untuk kembali ke kondisi pasar yang lebih normal. (Baca: Seperti ini Strategi Nyeleneh Korporasi Dunia, Bertahan Di Tengah Pandemi )
Namun perusahaan tetap enggan berinvestasi untuk kapasitas baru, dengan keadaan lapangan kerja yang semakin menurun dan aktivitas pembelian berkurang. Inventaris juga menyusut.
Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw mengatakan, data PMI menunjukkan penurunan di seluruh sektor manufaktur Indonesia selama bulan Juni banyak berkurang. Hal ini menambah harapan bahwa dampak terburuk pandemi corona (Covid-19) telah berlalu.
"Indeks output, permintaan, dan ketenagakerjaan semuanya meningkat dari posisi terendah yang terlihat pada kuartal kedua, terbantu oleh relaksasi tindakan pengamanan Covid-19. Perusahaan juga tetap optimis tentang output mereka dalam waktu satu tahun," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).
Namun, survei juga menunjukkan pemulihan yang menantang di depan. Menurut dia, perusahaan terus mengurangi lapangan kerja pabrik dan berusaha mengendalikan biaya. Penurunan jumlah pekerjaan yang terus menerus juga diperpanjang hingga bulan Juli. (Baca juga: Para Pekerja Malam Kepung Balai Kota, Ini Curhatannya )
"Perlunya social distancing di tempat kerja dan perkumpulan publik, serta potensi lonjakan infeksi baru, juga dapat menunda produksi dan penjualan lebih lanjut dari pemulihan ke tingkat pra-pandemi," jelasnya.
Volume produksi yang lebih rendah sering dikaitkan dengan dampak buruk pandemi Covid-19 pada permintaan, dimana pertumbuhan output dilaporkan perusahaan manufaktur menunjuk pada pembukaan kembali pabrik secara bertahap karena langkah-langkah pengendalian dilonggarkan.
Langkah-langkah bertahap yang dilakukan pemerintah untuk memulai kembali perekonomian juga menyebabkan menurunnya permintaan secara keseluruhan. Penurunan total pesanan baru hanya sedikit pada bulan Juli meskipun ada penurunan besar dalam penjualan ekspor. (Baca juga: Ingin UMKM Bersaing di Pasar Ekspor, Ini Resep dari Kadin Jatim )
Sementara beban biaya rata-rata juga meningkat tajam pada bulan Juli 2020 akibat inflasi yang juga menyebabkan melemahnya rupiah dan kenaikan harga bahan baku. Peningkatan biaya sebagian dibebankan ke pelanggan melalui harga jual yang lebih tinggi.
Dengan menurunnya output pada Juli 2020, sebagian bagian dari upaya untuk menghemat biaya, perusahaan terus mengurangi kegiatan pembelian mereka dan cenderung lebih memilih untuk memanfaatkan investasi sebisa mungkin saat ini untuk memenuhi permintaan produksi. Produsen juga menyoroti kekurangan pasokan dan kurangnya layanan transportasi yang memadai.
(ind)
tulis komentar anda