Mengintip Krisis Properti China: Terbelit Utang Rp180.000 Triliun hingga 3 Miliar Apartemen Hantu

Kamis, 28 September 2023 - 11:30 WIB
Para ahli mememperkirakan, angka itu belum termasuk sejumlah proyek perumahan yang telah terjual namun belum selesai karena masalah arus kas. Pun beberapa rumah yang dibeli oleh spekulan pada kenaikan pasar terakhir di tahun 2016 yang masih kosong, yang secara keseluruhan merupakan sebagian besar rumah yang tidak terpakai.

“Berapa banyak rumah kosong yang ada saat ini? Masing-masing ahli memberikan angka yang berbeda-beda, dan yang paling ekstrim percaya bahwa jumlah rumah kosong saat ini cukup untuk 3 miliar orang,” kata He Keng, mantan Wakil Kepala Biro Statistik China.

“Perkiraan itu mungkin agak berlebihan, tetapi 1,4 miliar orang mungkin tidak dapat memenuhinya,” katanya di sebuah forum di Kota Dongguan, China selatan, menurut sebuah video yang dirilis oleh media resmi China News Service.

Berserakannya properti kosong di China memang tak lepas dari pertumbuhan ekonomi negara itu yang stabil setelah periode 1990, selalu di atas 7% bahkan sempat menyentuh 14% di 1992 dan 2007. Plus, target pemerintah daerah untuk menyediakan hunian dan properti menjadi ladangn investasi yang menguntungkan.

Seiring bubblenya properti di China adalah terkuaknya praktik shadow banking yang mulai meresahkan. Sektor properti di China terjebak dalam aktivitas shadow banking yang nilainya mencapai USD3 triliun, kira-kira sebesar ekonomi Inggris.

Kalau dirupiahkan setara Rp45.000 triliun (kurs Rp15.000). Bandingkan dengan total PDB Indonesia yang sebesar Rp19.000 triliun.

Praktik shadow banking begitu marak di properti China lantaran dalam beberapa tahun ke belakang pertumbuhannya luar biasa. Pemerintah daerah dan pengembang mencari celah untuk mendapatkan pendanaan karena Pusat membatasi bank dalam penyaluran kredit ke sektor properti.

Financial Review, pada 25 Agustus 2023 melaporkan, properti telah menjadi pendorong utama perekonomian China sejak negara tersebut membuka pasarnya dan mengadopsi kapitalisme pada tahun 1980an di bawah kepemimpinan mantan pemimpin Deng Xiaoping. Sebelumnya, warga negara China tidak memiliki hak atas tanah dan biasanya ditampung oleh majikan.

Booming properti dimulai pada tahun 1998 ketika China mengizinkan warganya untuk membeli dan menjual apartemen. Pada saat yang sama, terjadi migrasi massal dari pedesaan ke kota-kota besar sehingga menyebababkan permintaan properti yang tinggi. Pemerintah daerah tiba-tiba memperoleh keuntungan dari penjualan tanah dan mendorong pengembangan properti.

Seperti warga Australia, banyak warga China yang terobsesi dengan properti karena banyaknya kekayaan yang mereka peroleh di masa lalu seiring dengan melonjaknya harga properti. Apartemen kecil di kota-kota seperti Shanghai tiba-tiba bernilai sama dengan apartemen di Sydney, London atau New York meskipun upah rata-rata di kota-kota tersebut jauh di bawah upah rata-rata di negara-negara maju.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More