Rupiah Hari Ini Kembali Terpuruk, Ditutup Nyaris Rp16.000
Kamis, 26 Oktober 2023 - 15:47 WIB
JAKARTA - Nilai tukar (kurs) rupiah sore ini kembali ditutup melemah 49 poin ke level Rp15.919 setelah sebelumnya juga turun ke Rp15.870.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar AS menguat karena kekhawatiran akan potensi eskalasi perang Israel-Hamas masih terus terjadi seiring dengan berlanjutnya serangan rudal ke Gaza, sementara Israel menegaskan kembali komitmennya untuk melakukan serangan darat di wilayah tersebut. Selain itu, suku bunga AS yang lebih tinggi mendorong kenaikan dolar dan imbal hasil Treasury.
"Meskipun tanda-tanda kekuatan ekonomi AS diperkirakan akan meningkatkan selera risiko, hal ini juga diperkirakan akan memberikan ruang bagi Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Data inflasi PCE untuk bulan September ukuran inflasi pilihan The Fed juga akan dirilis pada hari Jumat," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (26/10/2023).
Bank sentral akan mempertahankan suku bunganya pada pertemuan minggu depan. Namun para pejabat The Fed tetap membuka peluang untuk setidaknya satu kali kenaikan suku bunga lagi pada tahun ini, dan memberikan isyarat bahwa suku bunga akan tetap lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama di tengah tingginya inflasi dan kuatnya perekonomian.
Sebelum The Fed, Bank Sentral Eropa akan mengadakan pertemuan pada hari Kamis, dan diperkirakan akan mempertahankan suku bunganya. Namun ECB juga diperkirakan akan memberikan sinyal suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, meskipun ada tanda-tanda resesi zona euro yang akan datang.
Di Asia, Para pedagang berusaha mengukur seberapa besar ledakan ekonomi yang akan dihasilkan oleh rencana penerbitan obligasi pemerintah Tiongkok sebesar 1 triliun yuan ($136 miliar). Mata uang ini masih berada di bawah tekanan akibat keraguan atas pemulihan ekonomi, serta krisis di pasar properti.
Dari sentimen internal, pelaku pasar terus memantau perang yang terjadi antara Israel dan Hamas. Hal tersebut mulai dirasakan dampaknya terhadap harga minyak dunia yang terus merangkak naik. Risiko dan ketidakpastian global semakin meningkat.
"Hal ini dapat memberikan dampak rambatan atau spill over ke dalam negeri yang bisa mempengaruhi nilai tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi," katanya.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengatakan, dolar AS menguat karena kekhawatiran akan potensi eskalasi perang Israel-Hamas masih terus terjadi seiring dengan berlanjutnya serangan rudal ke Gaza, sementara Israel menegaskan kembali komitmennya untuk melakukan serangan darat di wilayah tersebut. Selain itu, suku bunga AS yang lebih tinggi mendorong kenaikan dolar dan imbal hasil Treasury.
"Meskipun tanda-tanda kekuatan ekonomi AS diperkirakan akan meningkatkan selera risiko, hal ini juga diperkirakan akan memberikan ruang bagi Federal Reserve untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Data inflasi PCE untuk bulan September ukuran inflasi pilihan The Fed juga akan dirilis pada hari Jumat," tulis Ibrahim dalam risetnya, Kamis (26/10/2023).
Bank sentral akan mempertahankan suku bunganya pada pertemuan minggu depan. Namun para pejabat The Fed tetap membuka peluang untuk setidaknya satu kali kenaikan suku bunga lagi pada tahun ini, dan memberikan isyarat bahwa suku bunga akan tetap lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama di tengah tingginya inflasi dan kuatnya perekonomian.
Sebelum The Fed, Bank Sentral Eropa akan mengadakan pertemuan pada hari Kamis, dan diperkirakan akan mempertahankan suku bunganya. Namun ECB juga diperkirakan akan memberikan sinyal suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, meskipun ada tanda-tanda resesi zona euro yang akan datang.
Di Asia, Para pedagang berusaha mengukur seberapa besar ledakan ekonomi yang akan dihasilkan oleh rencana penerbitan obligasi pemerintah Tiongkok sebesar 1 triliun yuan ($136 miliar). Mata uang ini masih berada di bawah tekanan akibat keraguan atas pemulihan ekonomi, serta krisis di pasar properti.
Dari sentimen internal, pelaku pasar terus memantau perang yang terjadi antara Israel dan Hamas. Hal tersebut mulai dirasakan dampaknya terhadap harga minyak dunia yang terus merangkak naik. Risiko dan ketidakpastian global semakin meningkat.
"Hal ini dapat memberikan dampak rambatan atau spill over ke dalam negeri yang bisa mempengaruhi nilai tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi," katanya.
tulis komentar anda