Ekonomi Minus dan Presiden Marah-marah, Ekonom Sebut Pemerintah Biang Kerok Krisis
Kamis, 06 Agustus 2020 - 15:01 WIB
JAKARTA - Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut, pertumbuhan ekonomi yang mengalami minus 5,3% disebabkan oleh kinerja pemerintah yang masih amburadul terutama dalam menangani pandemi covid-19. Seharusnya terang dia, banyak peluang yang bisa digenjot supaya ekonomi tidak terperosok semakin jauh.
"Sebetulnya Pemerintah diharapkan menjadi pengendali supaya tidak terjadi resesi terlalu dalam. Namun ternyata berdasarkan data BPS, ekonomi kita minus sangat dalam dan Presidennya marah-marah jadi fungsi pemerintah menahan pertumbuhan ekonomi yang minus itu tidak berjalan," kata Ekonom Senior Indef Didik J. Rachbini saat diskusi online di Jakarta, Kamis (6/8/2020).
(Baca Juga: Pengumuman! Ekonomi Indonesia Resmi Minus 5,32% di Kuartal II/2020 )
Menurut dia, justru pemerintah yang menjadi sumber kontribusi negatif. Bahkan dia meyakini pada kuartal III dan IV Indonesia masih akan resesi. "Jadi justru yang penyelamat utamanya itu ambruk. Sebab pemerintah tidak bisa atasi pandemic karena angka positif corona terus naik dan ekonomi kita juga tidak bisa diatasi makanya resesi," ungkap Didik.
Hampir semua dari sektor mengalami pertumbuhan negatif. Padahal sebenarnya krisis itu bisa ciptakan peluang. Namun kenyataanya, justru saat ini sektor potensial tidak digarap dengan kebijakan yang memadai. "Bahkan sektor kesehatan seperti drakula penghisap darah devisa. Rakyat tidak bisa ada indikasi monopoli, makanya harus segera dirubah," beber dia.
(Baca Juga: Tegur Lagi Menterinya, Jokowi: Nggak Tahu Prioritas! )
Menurut Didik, strategi selamatkan rakyat terlebih dahulu adalah cara terbaik untuk bisa membuat ekonomi menjadi optimis. Terbukti negara-negara yang berhasil mengatasi atau mengendalikan pandemi seperti di China dan Vietnam lebih cepat pulih ekonominya daripada Indonesia saat ini.
Peningkatan kapasitas testing PCR per hari dan penyiapan fasilitas kesehatan untuk merawat pasien Covid-19 (khususnya ruang isolasi dan ventilator) perlu diakselerasi. Kapasitas testing PCR Indonesia tidak berbeda jauh dengan Malaysia yang penduduknya hanya seperdelapan. "Ketimpangan kapasitas fasilitas kesehatan antar kota-desa dan Jawa-Luar Jawa perlu di kurangi dari sekarang," ungkap dia.
"Sebetulnya Pemerintah diharapkan menjadi pengendali supaya tidak terjadi resesi terlalu dalam. Namun ternyata berdasarkan data BPS, ekonomi kita minus sangat dalam dan Presidennya marah-marah jadi fungsi pemerintah menahan pertumbuhan ekonomi yang minus itu tidak berjalan," kata Ekonom Senior Indef Didik J. Rachbini saat diskusi online di Jakarta, Kamis (6/8/2020).
(Baca Juga: Pengumuman! Ekonomi Indonesia Resmi Minus 5,32% di Kuartal II/2020 )
Menurut dia, justru pemerintah yang menjadi sumber kontribusi negatif. Bahkan dia meyakini pada kuartal III dan IV Indonesia masih akan resesi. "Jadi justru yang penyelamat utamanya itu ambruk. Sebab pemerintah tidak bisa atasi pandemic karena angka positif corona terus naik dan ekonomi kita juga tidak bisa diatasi makanya resesi," ungkap Didik.
Hampir semua dari sektor mengalami pertumbuhan negatif. Padahal sebenarnya krisis itu bisa ciptakan peluang. Namun kenyataanya, justru saat ini sektor potensial tidak digarap dengan kebijakan yang memadai. "Bahkan sektor kesehatan seperti drakula penghisap darah devisa. Rakyat tidak bisa ada indikasi monopoli, makanya harus segera dirubah," beber dia.
(Baca Juga: Tegur Lagi Menterinya, Jokowi: Nggak Tahu Prioritas! )
Menurut Didik, strategi selamatkan rakyat terlebih dahulu adalah cara terbaik untuk bisa membuat ekonomi menjadi optimis. Terbukti negara-negara yang berhasil mengatasi atau mengendalikan pandemi seperti di China dan Vietnam lebih cepat pulih ekonominya daripada Indonesia saat ini.
Peningkatan kapasitas testing PCR per hari dan penyiapan fasilitas kesehatan untuk merawat pasien Covid-19 (khususnya ruang isolasi dan ventilator) perlu diakselerasi. Kapasitas testing PCR Indonesia tidak berbeda jauh dengan Malaysia yang penduduknya hanya seperdelapan. "Ketimpangan kapasitas fasilitas kesehatan antar kota-desa dan Jawa-Luar Jawa perlu di kurangi dari sekarang," ungkap dia.
(akr)
tulis komentar anda