Industri Rokok Dinilai Terbebani Kebijakan Restriktif
Senin, 08 Januari 2024 - 21:29 WIB
Misbakhun menilai RPP Kesehatan yang masuk terlalu dalam ke industri tembakau menafikan hak-hak lain yang juga dijamin Konstitusi seperti petani tembakau. Akibatnya para petani dan buruh tembakau dirugikan.
"Saya berharap pemerintah memahami penolakan yang selama ini sudah berjalan sehingga apa yang menjadi inisiasi yang bersifat restriktif itu dikeluarkan dari RPP Kesehatan. Karena penolakan sudah sangat masif dan pandangan yang lebih objektif sudah masuk ke pemerintah dan harusnya pemerintah bisa lebih adil karena ini tidak hanya menyangkut sektor kesehatan semata," tandasnya.
Sementara, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar mengatakan, selama ini industri hasil tembakau telah berusaha semaksimal mungkin.
"Intinya kami menolak dengan RPP yang sangat eksesif. Harapan kami tidak ada perubahan, kalau alasannya rokok elektrik balum ada regulasinya, ya buatkan regulasi sendiri jangan mengubah regulasi yang telah ada. Artinya PP 109 tetap jalan dan rokok elektrik diatur sendiri," tegas Sulami.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, dalam penyusunan RPP sebagai aturan pelaksana Undang Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, sinergi antar kementerian dan lembaga adalah hal yang utama.
"Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU Cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” kata Nirwala.
Nirwala juga mengatakan, sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012.
"Apakah benar PP 109 perlu direvisi? Apa yang membuatnya perlu direvisi, apakah dari sisi substansi atau dari sisi implementasi? Sebagai contoh, mengenai aturan kemasan yang terkait erat dengan wacana perluasan peringatan kesehatan 90%, apakah ada penelitian bahwa hal tersebut akan menurunkan angka perokok. Lalu mengenai uji nikotin, dimana, siapa dan bagaimana implementasinya," katanya.
"Saya berharap pemerintah memahami penolakan yang selama ini sudah berjalan sehingga apa yang menjadi inisiasi yang bersifat restriktif itu dikeluarkan dari RPP Kesehatan. Karena penolakan sudah sangat masif dan pandangan yang lebih objektif sudah masuk ke pemerintah dan harusnya pemerintah bisa lebih adil karena ini tidak hanya menyangkut sektor kesehatan semata," tandasnya.
Sementara, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar mengatakan, selama ini industri hasil tembakau telah berusaha semaksimal mungkin.
"Intinya kami menolak dengan RPP yang sangat eksesif. Harapan kami tidak ada perubahan, kalau alasannya rokok elektrik balum ada regulasinya, ya buatkan regulasi sendiri jangan mengubah regulasi yang telah ada. Artinya PP 109 tetap jalan dan rokok elektrik diatur sendiri," tegas Sulami.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, dalam penyusunan RPP sebagai aturan pelaksana Undang Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, sinergi antar kementerian dan lembaga adalah hal yang utama.
"Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU Cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” kata Nirwala.
Nirwala juga mengatakan, sebelum menciptakan peraturan baru, seperti RPP terkait pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012.
"Apakah benar PP 109 perlu direvisi? Apa yang membuatnya perlu direvisi, apakah dari sisi substansi atau dari sisi implementasi? Sebagai contoh, mengenai aturan kemasan yang terkait erat dengan wacana perluasan peringatan kesehatan 90%, apakah ada penelitian bahwa hal tersebut akan menurunkan angka perokok. Lalu mengenai uji nikotin, dimana, siapa dan bagaimana implementasinya," katanya.
(nng)
tulis komentar anda