Tapera Diminta Ditinjau Kembali, Begini Saran Para Pengamat
Minggu, 02 Juni 2024 - 13:20 WIB
JAKARTA - Masyarakat dan pengamat kebijakan publik dari berbagai daerah angkat suara terkait kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera yang baru-baru ini diresmikan pemerintah melalui PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Berbagai elemen tersebut menilai bahwa kebijakan ini akan memberatkan rakyat di berbagai lapisan.
Kekhawatiran utama terletak pada besaran iuran Tapera yang mencapai 2,5% dari gaji pekerja, bahkan bagi yang telah memiliki rumah. Menurut pengamat kebijakan publik dari Nusantara Foundation, Imam Rozikin, kebijakan ini tentu memberatkan pekerja dengan penghasilan minimum, pemotongan ini dikhawatirkan akan semakin mempersempit ruang fiskal mereka.
“Bisa kita bayangkan, sebelum ada Tapera, gaji pekerja yang setara UMR (upah minimum regional) telah dipotong untuk iuran BPJS. Belum lagi ketika masyarakat spending, akan ada pajak pertambahan nilai. Kebijakan Tapera ini dinilai perlu dikonfigurasi ulang, khususnya bagaimana memastikan kebijakan itu rasional dan sesuai kebutuhan," ungkap Imam.
Selain itu, skema Tapera yang bersifat wajib juga menuai kritik. Imam Rozikin berpendapat bahwa partisipasi dalam program ini seharusnya bersifat sukarela, mengingat kondisi keuangan masyarakat yang beragam.
“Sebelum membuat kebijakan, pemerintah diharuskan memikirkan proses partisipasi secara konkret. Yang pertama kali perlu dilakukan adalah pemetaan kebutuhan riil masyarakat. Kemudian, apakah masyarakat setuju opsi terkait perumahan difasilitasi oleh negara. Baru kemudian setelah itu formulasi kebijakan yang berbasiskan Pancasila, atau gotong-royong," terkait
Kekhawatiran lainnya adalah terkait pengelolaan dana Tapera. Belum ada kejelasan yang memadai mengenai mekanisme investasi dan imbal hasil yang akan diterima oleh peserta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa dana Tapera akan disalahgunakan atau tidak dikelola secara optimal.
“Kekhawatiran publik terkait pengelolaan dana itu beralasan. Sebab, dari refleksi kasus-kasus korupsi yang terjadi dalam 2 dekade terakhir, banyak kasus korupsi yang berkaitan dengan skema yang serupa. Belum lagi nanti pegawai-pegawainya yang mungkin saja flexing seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Saya rasa ini berbahaya dan cukup melenceng dari falsafah Pancasila. Kita itu hidup bernegara untuk selama-lamanya, bukan hanya untuk sewindu atau dua windu saja,” jelas Imam.
Kekhawatiran utama terletak pada besaran iuran Tapera yang mencapai 2,5% dari gaji pekerja, bahkan bagi yang telah memiliki rumah. Menurut pengamat kebijakan publik dari Nusantara Foundation, Imam Rozikin, kebijakan ini tentu memberatkan pekerja dengan penghasilan minimum, pemotongan ini dikhawatirkan akan semakin mempersempit ruang fiskal mereka.
“Bisa kita bayangkan, sebelum ada Tapera, gaji pekerja yang setara UMR (upah minimum regional) telah dipotong untuk iuran BPJS. Belum lagi ketika masyarakat spending, akan ada pajak pertambahan nilai. Kebijakan Tapera ini dinilai perlu dikonfigurasi ulang, khususnya bagaimana memastikan kebijakan itu rasional dan sesuai kebutuhan," ungkap Imam.
Baca Juga
Selain itu, skema Tapera yang bersifat wajib juga menuai kritik. Imam Rozikin berpendapat bahwa partisipasi dalam program ini seharusnya bersifat sukarela, mengingat kondisi keuangan masyarakat yang beragam.
“Sebelum membuat kebijakan, pemerintah diharuskan memikirkan proses partisipasi secara konkret. Yang pertama kali perlu dilakukan adalah pemetaan kebutuhan riil masyarakat. Kemudian, apakah masyarakat setuju opsi terkait perumahan difasilitasi oleh negara. Baru kemudian setelah itu formulasi kebijakan yang berbasiskan Pancasila, atau gotong-royong," terkait
Kekhawatiran lainnya adalah terkait pengelolaan dana Tapera. Belum ada kejelasan yang memadai mengenai mekanisme investasi dan imbal hasil yang akan diterima oleh peserta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa dana Tapera akan disalahgunakan atau tidak dikelola secara optimal.
“Kekhawatiran publik terkait pengelolaan dana itu beralasan. Sebab, dari refleksi kasus-kasus korupsi yang terjadi dalam 2 dekade terakhir, banyak kasus korupsi yang berkaitan dengan skema yang serupa. Belum lagi nanti pegawai-pegawainya yang mungkin saja flexing seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Saya rasa ini berbahaya dan cukup melenceng dari falsafah Pancasila. Kita itu hidup bernegara untuk selama-lamanya, bukan hanya untuk sewindu atau dua windu saja,” jelas Imam.
tulis komentar anda