Kebocoran di Industri Sawit Rp300 Triliun, Gapki Segera Beri Penjelasan pada Presiden
Senin, 14 Oktober 2024 - 11:25 WIB
JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendengarkan berbagai masukan dari pemerintah termasuk dugaan adanya pengusaha sawit nakal yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun. Karena itu, mereka berharap segera bisa menghadap Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menjelaskan berbagai potensi strategis, tantangan termasuk tudingan dugaan kebocoran keuangan di industri kelapa sawit tersebut.
Ketua Gapki Eddy Martono mengatakan, pihaknya berharap segera menghadap Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, hingga muncul isu tersebut. Dimana, industri sawit menjadi salah satu industri strategis bagi Indonesia. Industri ini mempunyai kontribusi besar untuk ikut memajukan ekonomi negeri ini. “Bukan hanya persoalan ini saja, kami juga akan menjelaskan kepada Presiden (Presiden terpilih Prabowo Subianto) secara keseluruhan tantangan yang dihadapi industri sawit baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Eddy Martono dalam keterangannya pada akhir pekan lalu.
Baca Juga :Puluhan Hektare Perkebunan Kelapa Sawit Terbakar, Asap Tebal Selimuti Desa Alang Bon-Bon
Menurut Eddy, isu kebocoran ini sebenarnya merupakan kasus keterlanjuran adanya lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Lalu terbitlah Undang-Undang No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan UU tersebut pemerintah akhirnya membentuk Tim Satuan Tugas untuk mempercepat penanganan tata kelola industri kelapa sawit, khususnya yang berada di kawasan hutan.
Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 110A, disebutkan perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki perizinan berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun. Ada pula pasal 110B berisi ketentuan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha, tetap dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif.
Sebenarnya untuk persyaratan yang dikategorikan masuk di pasal 110 A dan sudah mendapatkan surat tagihan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Hampir 90 % lebih perusahaan sudah membayar,” ujar Eddy Martono. Namun, Eddy tidak mengetahui apakah perusahaan yang berbentuk koperasi sudah menyelesaikan ketentuan seperti yang tertuang di pasal 110A.
Terkait ketentuan yang ada pada pasal 110B, kata Eddy, sampai saat ini anggota Gapki belum menerima surat pemberitahuan dan tagihan dari KLHK. ‘’Mungkin ini yang dianggap tidak tertib, padahal sebenarnya tidak seperti itu karena semua sudah masuk dalam pantauan Satgas Tata Kelola Sawit. Karena perusahaan apabila dianggap ada indikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan harus lapor kalau tidak terkena sanksi,” kata Eddy.
Dia menambahkan luas lahan sawit yang masuk dalam katagori pasal 110A sekitar 700 ribu hektar. Sedangkan untuk yang masuk katagori pasal 110B belum diketahui luasnya, karena memang belum ada surat dari KLHK.
Gapki juga belum mengetahui estimasinya, karena memang belum ada tagihan yang terkait dengan ketentuan Pasal 110B. “Penetapan dari KLHK perihal lahan sawit yang masuk katagori 110B dan tagihan denda adminstrasinya akan memperjelas semuanya,” jelas Eddy.
Ketua Gapki Eddy Martono mengatakan, pihaknya berharap segera menghadap Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, hingga muncul isu tersebut. Dimana, industri sawit menjadi salah satu industri strategis bagi Indonesia. Industri ini mempunyai kontribusi besar untuk ikut memajukan ekonomi negeri ini. “Bukan hanya persoalan ini saja, kami juga akan menjelaskan kepada Presiden (Presiden terpilih Prabowo Subianto) secara keseluruhan tantangan yang dihadapi industri sawit baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Eddy Martono dalam keterangannya pada akhir pekan lalu.
Baca Juga :Puluhan Hektare Perkebunan Kelapa Sawit Terbakar, Asap Tebal Selimuti Desa Alang Bon-Bon
Menurut Eddy, isu kebocoran ini sebenarnya merupakan kasus keterlanjuran adanya lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Lalu terbitlah Undang-Undang No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan UU tersebut pemerintah akhirnya membentuk Tim Satuan Tugas untuk mempercepat penanganan tata kelola industri kelapa sawit, khususnya yang berada di kawasan hutan.
Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 110A, disebutkan perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki perizinan berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun. Ada pula pasal 110B berisi ketentuan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha, tetap dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif.
Sebenarnya untuk persyaratan yang dikategorikan masuk di pasal 110 A dan sudah mendapatkan surat tagihan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Hampir 90 % lebih perusahaan sudah membayar,” ujar Eddy Martono. Namun, Eddy tidak mengetahui apakah perusahaan yang berbentuk koperasi sudah menyelesaikan ketentuan seperti yang tertuang di pasal 110A.
Terkait ketentuan yang ada pada pasal 110B, kata Eddy, sampai saat ini anggota Gapki belum menerima surat pemberitahuan dan tagihan dari KLHK. ‘’Mungkin ini yang dianggap tidak tertib, padahal sebenarnya tidak seperti itu karena semua sudah masuk dalam pantauan Satgas Tata Kelola Sawit. Karena perusahaan apabila dianggap ada indikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan harus lapor kalau tidak terkena sanksi,” kata Eddy.
Dia menambahkan luas lahan sawit yang masuk dalam katagori pasal 110A sekitar 700 ribu hektar. Sedangkan untuk yang masuk katagori pasal 110B belum diketahui luasnya, karena memang belum ada surat dari KLHK.
Gapki juga belum mengetahui estimasinya, karena memang belum ada tagihan yang terkait dengan ketentuan Pasal 110B. “Penetapan dari KLHK perihal lahan sawit yang masuk katagori 110B dan tagihan denda adminstrasinya akan memperjelas semuanya,” jelas Eddy.
Lihat Juga :
tulis komentar anda