Kebocoran di Industri Sawit Rp300 Triliun, Gapki Segera Beri Penjelasan pada Presiden
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendengarkan berbagai masukan dari pemerintah termasuk dugaan adanya pengusaha sawit nakal yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun. Karena itu, mereka berharap segera bisa menghadap Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menjelaskan berbagai potensi strategis, tantangan termasuk tudingan dugaan kebocoran keuangan di industri kelapa sawit tersebut.
Ketua Gapki Eddy Martono mengatakan, pihaknya berharap segera menghadap Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, hingga muncul isu tersebut. Dimana, industri sawit menjadi salah satu industri strategis bagi Indonesia. Industri ini mempunyai kontribusi besar untuk ikut memajukan ekonomi negeri ini. “Bukan hanya persoalan ini saja, kami juga akan menjelaskan kepada Presiden (Presiden terpilih Prabowo Subianto) secara keseluruhan tantangan yang dihadapi industri sawit baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Eddy Martono dalam keterangannya pada akhir pekan lalu.
Baca Juga :Puluhan Hektare Perkebunan Kelapa Sawit Terbakar, Asap Tebal Selimuti Desa Alang Bon-Bon
Menurut Eddy, isu kebocoran ini sebenarnya merupakan kasus keterlanjuran adanya lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Lalu terbitlah Undang-Undang No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan UU tersebut pemerintah akhirnya membentuk Tim Satuan Tugas untuk mempercepat penanganan tata kelola industri kelapa sawit, khususnya yang berada di kawasan hutan.
Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 110A, disebutkan perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki perizinan berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun. Ada pula pasal 110B berisi ketentuan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha, tetap dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif.
Sebenarnya untuk persyaratan yang dikategorikan masuk di pasal 110 A dan sudah mendapatkan surat tagihan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Hampir 90 % lebih perusahaan sudah membayar,” ujar Eddy Martono. Namun, Eddy tidak mengetahui apakah perusahaan yang berbentuk koperasi sudah menyelesaikan ketentuan seperti yang tertuang di pasal 110A.
Terkait ketentuan yang ada pada pasal 110B, kata Eddy, sampai saat ini anggota Gapki belum menerima surat pemberitahuan dan tagihan dari KLHK. ‘’Mungkin ini yang dianggap tidak tertib, padahal sebenarnya tidak seperti itu karena semua sudah masuk dalam pantauan Satgas Tata Kelola Sawit. Karena perusahaan apabila dianggap ada indikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan harus lapor kalau tidak terkena sanksi,” kata Eddy.
Dia menambahkan luas lahan sawit yang masuk dalam katagori pasal 110A sekitar 700 ribu hektar. Sedangkan untuk yang masuk katagori pasal 110B belum diketahui luasnya, karena memang belum ada surat dari KLHK.
Gapki juga belum mengetahui estimasinya, karena memang belum ada tagihan yang terkait dengan ketentuan Pasal 110B. “Penetapan dari KLHK perihal lahan sawit yang masuk katagori 110B dan tagihan denda adminstrasinya akan memperjelas semuanya,” jelas Eddy.
Perlu Penjelasan Menyeluruh
Isu pengusaha sawit ngemplang pajak berhembus setelah Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim S. Djojohadikusumo, yang juga merupakan adik dari Presiden RI terpilih Prabowo Subianto mengatakan, ada dugaan kebocoran penerimaan negara mencapai Rp300 triliun.
Kebocoran tersebut disebabkan karena ada pengusaha-pengusaha sawit yang membuka perkebunan sawit dan belum membayar pajak. Hal ini disampaikan Hashim pada acara Diskusi Ekonomi Kamar Dagang dan Industri bersama Pengusaha Internasional Senior di Menara Kadin, Senin (7/10).
Menurut Hashim, pemerintah baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto akan berupaya memaksimalkan penerimaan negara dari sektor pajak. Salah satu potensi pajak yang akan dikejar pemerintah adalah pajak dari para pengusaha sawit tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad meragukan besarnya pajak yang tidak dibayarkan oleh para pengusaha kelapa sawit hingga mencapai Rp 300 triliun. Menurut dia, data tersebut harus diverifikasi ulang baik kepada Ditjen Pajak, BPKP, Satgas Tata Kelola Industri Sawit, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta para pelaku usaha. Verifikasi dilakukan terutama menyangkut dari mana sumber kebocoran tersebut apakah memang tidak membayar pajak, atau laporannya yang tidak akurat. Jika ada pelanggaran regulasi, bisa disebutkan aturan mana yang dilanggar dan sebagainya.
“Saya meragukan angkanya sebesar itu. Rp300 triliun itu besar sekali. Bahkan hasil dari tax amnesty seluruh perusahaan di Indonesia saja, jauh lebih kecil dari itu,” ujar Tauhid. Dia berharap informasi itu harus diverifikasi secara akurat karena menyangkut status lahan sawit. ‘’Ini bukan hanya menyangkut perusahaan besar saja, ada lahan sawit yang juga dimiliki oleh petani. Lahan sawit siapa yang tidak bayar pajak, harus dipastikan,’’ paparnya.
Dia menduga Hashim memperoleh data yang belum terverifikasi sehingga belum bisa dipastikan kebenarannya. Karena itu, data tersebut memang harus diverifikasi agar tidak membuat miss leading di pemerintahan baru nanti. Apalagi sampai masuk dalam data potensi penerimaan pajak. ‘’Ini bisa menimbulkan ketidakpastian dari para pengusaha dan mereka yang terlibat di industri kelapa sawit,’’ ungkap Tauhid.
Ketua Gapki Eddy Martono mengatakan, pihaknya berharap segera menghadap Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, hingga muncul isu tersebut. Dimana, industri sawit menjadi salah satu industri strategis bagi Indonesia. Industri ini mempunyai kontribusi besar untuk ikut memajukan ekonomi negeri ini. “Bukan hanya persoalan ini saja, kami juga akan menjelaskan kepada Presiden (Presiden terpilih Prabowo Subianto) secara keseluruhan tantangan yang dihadapi industri sawit baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Eddy Martono dalam keterangannya pada akhir pekan lalu.
Baca Juga :Puluhan Hektare Perkebunan Kelapa Sawit Terbakar, Asap Tebal Selimuti Desa Alang Bon-Bon
Menurut Eddy, isu kebocoran ini sebenarnya merupakan kasus keterlanjuran adanya lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Lalu terbitlah Undang-Undang No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan UU tersebut pemerintah akhirnya membentuk Tim Satuan Tugas untuk mempercepat penanganan tata kelola industri kelapa sawit, khususnya yang berada di kawasan hutan.
Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 110A, disebutkan perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki perizinan berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun. Ada pula pasal 110B berisi ketentuan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha, tetap dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif.
Sebenarnya untuk persyaratan yang dikategorikan masuk di pasal 110 A dan sudah mendapatkan surat tagihan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Hampir 90 % lebih perusahaan sudah membayar,” ujar Eddy Martono. Namun, Eddy tidak mengetahui apakah perusahaan yang berbentuk koperasi sudah menyelesaikan ketentuan seperti yang tertuang di pasal 110A.
Terkait ketentuan yang ada pada pasal 110B, kata Eddy, sampai saat ini anggota Gapki belum menerima surat pemberitahuan dan tagihan dari KLHK. ‘’Mungkin ini yang dianggap tidak tertib, padahal sebenarnya tidak seperti itu karena semua sudah masuk dalam pantauan Satgas Tata Kelola Sawit. Karena perusahaan apabila dianggap ada indikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan harus lapor kalau tidak terkena sanksi,” kata Eddy.
Dia menambahkan luas lahan sawit yang masuk dalam katagori pasal 110A sekitar 700 ribu hektar. Sedangkan untuk yang masuk katagori pasal 110B belum diketahui luasnya, karena memang belum ada surat dari KLHK.
Gapki juga belum mengetahui estimasinya, karena memang belum ada tagihan yang terkait dengan ketentuan Pasal 110B. “Penetapan dari KLHK perihal lahan sawit yang masuk katagori 110B dan tagihan denda adminstrasinya akan memperjelas semuanya,” jelas Eddy.
Perlu Penjelasan Menyeluruh
Isu pengusaha sawit ngemplang pajak berhembus setelah Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim S. Djojohadikusumo, yang juga merupakan adik dari Presiden RI terpilih Prabowo Subianto mengatakan, ada dugaan kebocoran penerimaan negara mencapai Rp300 triliun.
Kebocoran tersebut disebabkan karena ada pengusaha-pengusaha sawit yang membuka perkebunan sawit dan belum membayar pajak. Hal ini disampaikan Hashim pada acara Diskusi Ekonomi Kamar Dagang dan Industri bersama Pengusaha Internasional Senior di Menara Kadin, Senin (7/10).
Menurut Hashim, pemerintah baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto akan berupaya memaksimalkan penerimaan negara dari sektor pajak. Salah satu potensi pajak yang akan dikejar pemerintah adalah pajak dari para pengusaha sawit tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad meragukan besarnya pajak yang tidak dibayarkan oleh para pengusaha kelapa sawit hingga mencapai Rp 300 triliun. Menurut dia, data tersebut harus diverifikasi ulang baik kepada Ditjen Pajak, BPKP, Satgas Tata Kelola Industri Sawit, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta para pelaku usaha. Verifikasi dilakukan terutama menyangkut dari mana sumber kebocoran tersebut apakah memang tidak membayar pajak, atau laporannya yang tidak akurat. Jika ada pelanggaran regulasi, bisa disebutkan aturan mana yang dilanggar dan sebagainya.
“Saya meragukan angkanya sebesar itu. Rp300 triliun itu besar sekali. Bahkan hasil dari tax amnesty seluruh perusahaan di Indonesia saja, jauh lebih kecil dari itu,” ujar Tauhid. Dia berharap informasi itu harus diverifikasi secara akurat karena menyangkut status lahan sawit. ‘’Ini bukan hanya menyangkut perusahaan besar saja, ada lahan sawit yang juga dimiliki oleh petani. Lahan sawit siapa yang tidak bayar pajak, harus dipastikan,’’ paparnya.
Dia menduga Hashim memperoleh data yang belum terverifikasi sehingga belum bisa dipastikan kebenarannya. Karena itu, data tersebut memang harus diverifikasi agar tidak membuat miss leading di pemerintahan baru nanti. Apalagi sampai masuk dalam data potensi penerimaan pajak. ‘’Ini bisa menimbulkan ketidakpastian dari para pengusaha dan mereka yang terlibat di industri kelapa sawit,’’ ungkap Tauhid.
(edc)